PART 1

1358 Words
Kehilanganmu membuatku lebih menghargai waktu. Namun, aku tetap memilih kembali ke masa lalu untuk memperbaiki kesalahanku. Maaf, Dee….    *** Mungkin, Nara terlalu mencintai Deeka. Itulah alasan satu-satunya, kenapa Nara masih berduka walau sudah satu bulan berlalu sejak kepergian Deeka. Nara masih sering memandang kosong ke luar jendela kelasnya, duduk di tengah lapangan seorang diri saat jam istirahat, tidak nafsu makan sampai-sampai berat badannya turun drastis, bicara seperlunya, dan tidak bisa fokus saat belajar. Kadang semuanya terdengar hening, Nara malah terbayang Deeka duduk di sampingnya. Duduk dan pura-pura menyatat pelajaran, seperti dulu. Nara merasa tidak boleh terus seperti sekarang, tapi apa lagi yang bisa ia lakukan? Sulit menjalani hidup di saat orang yang sangat mengubah hidupnya sudah tidak ada. "Ra, lo kayaknya butuh refreshing. Serius, gue takut lo jadi gila kalau kayak gini terus." Siska memang sering bicara tanpa berpikir, tapi kali ini Sandra dan Roni setuju dengannya. Nara benar-benar seperti orang yang tidak semangat hidup. "Kita tau lo masih berduka, Ra. Tapi lo juga harus sadar, Deeka sekarang udah lebih tenang. Lo harusnya tabah dan ikhlas...." Sandra merangkul Nara. "Deeka juga nggak pengin ninggalin lo, tapi dia udah cukup berjuang untuk melawan penyakitnya. Dia nggak menyerah, itu yang paling penting." "Setelah baca surat-surat dari Deeka, seharusnya lo bangkit. Bukannya semakin terpuruk, Ra. Deeka pasti jadi nyesel nulis semua surat itu, kalau ternyata lo malah jadi kayak gini." Roni akhirnya bersuara. "Dia pasti nyesel! Lo denger gue, kan? Jangan diem terus, Ra!" Nara menunduk tiba-tiba, bahkan sesedih apa pun dia sekarang, air matanya tidak bisa keluar. "Terus, gue harus gimana? Gue kangen Deeka, makanya gue kayak gini. Gue sadar dia udah meninggal, tapi gue juga nggak ngerti ... kenapa gue nggak bisa berhenti mikirin dia. Surat-surat itu ... bikin gue menyesali banyak hal, Ron." "Apa maksud lo?" "Perasaan Deeka. Gue terlambat sadar. Kalau tau dia sesayang itu sama gue sejak lama, gue akan bersikap lebih baik...." "Lo udah sangat amat baik, Ra! Deeka nggak pernah bilang lo jahat!" Entah mengapa, Roni merasa kesal. "Lo nggak ngerti, Ron!" Nara jadi ikut berteriak. "Just leave me alone. Hari ini aja, gue mau sendirian." Siska, Sandra dan Roni menghela napas. Mereka bangkit berdiri dan meninggalkan Nara, sesuai permintaan sahabat mereka itu. Mungkin Nara memang butuh waktu sendirian, begitu pikir mereka. Namun sebenarnya, Nara sedikit merasa kesepian setelah mereka pergi. Di kafe yang sepi, Nara hanya mengaduk jus stroberinya dengan lemas. Ia memandang ke luar kafe, hujan mulai turun tiba-tiba. Semoga mereka bawa payung. "Hujan selalu berkaitan dengan kesedihan." Nara menoleh ke sumber suara, seorang kakek tua berkacamata duduk di hadapannya. Beliau ikut memandang hujan dari dalam kafe. Pandangannya terlihat sangat sedih. "Maaf, Anda siapa?" "Hanya manusia dari masa depan." Kakek itu tersenyum lembut, wajahnya memang terlihat berpendidikan, tapi kata-katanya sangat aneh. "Ah, pasti kamu tidak percaya, ya?" "Saya bukan anak kecil, Kek." Nara meminum jus stroberinya untuk mengurangi canggung. "Arloji ini bisa memutar ulang waktu. Kamu mau coba?" Kakek itu menunjukkan arloji berwarna keemasan. "Ini ciptaan saya." "Anda pasti penipu. Maaf, saya bukan orang kaya." Saat Nara hendak bangkit berdiri, tangannya ditahan oleh kakek itu. "Apa lagi, Kek?" "Kamu tidak mau bertemu lagi dengannya?" Deg. "Siapa maksudnya?" Nara berdecak. "Deeka? Itu kamu menulis namanya banyak sekali di tissue. Malang sekali nasib kamu, Nak. Kamu masih muda, tapi sudah merasakan kehilangan yang dalam." "Tunggu, dari mana Anda tau kalau dia sudah meninggal?" "Kalau dia masih hidup, kamu nggak akan terlihat sesedih tadi saat saya bertanya. Bagaimana? Arloji ini akan sangat membantu kamu. Ambil, dan putarlah jarum jamnya sambil memikirkan waktu yang tepat untuk kembali. Kalau ternyata tidak berhasil, kamu hanya akan merasa dibohongi oleh orang gila. Itu saja." "Fine. Kalau ternyata nggak berhasil, arloji ini akan saya buang sejauh mungkin." "Silakan." Kakek itu tersenyum tipis. "Kalau berhasil, kamu harus menjaga aroji itu baik-baik, ya. Sampai waktunya kamu kembali." "Oke. Nanti akan saya coba." Nara pun pamit pergi dengan mengantungi arloji 'ajaib' itu. Sepanjang jalan, gerimis membasahi Nara. Kalau ada Deeka, mungkin Deeka akan mengajak Nara lomba lari, bukannya mengajak Nara berteduh. Pikiran itu membuat Nara semakin merindukan Deeka. Haruskah ia coba arlojinya sekarang? Aneh sekali, ia mulai percaya arloji itu benar-benar bisa memutar waktu. Wow. "Nggak mungkin. Tapi, apa untungnya kakek itu bohong? Dia nggak minta uang sama sekali." Nara terus berpikir, hingga ia mengeluarkan arloji itu saat ia mau menyebrang jalan. Ia memandangi arloji itu penuh harap dan cemas. "Kalau ternyata arloji ini benar ajaib, aku akan memperbaiki segalanya. Aku akan membuat Deeka jauh lebih bahagia sampai detik terakhirnya. Aku akan ... terus ada di sisinya." Nara menggenggam erat arloji itu sambil memutar waktu pada arlojinya, ia memejamkan mata dan berdoa dalam hati agar bisa kembali ke masa lalu. Untuk bertemu lagi dengan Deeka dan memulai semuanya dari awal. Nara menghitung dalam hati satu sampai sepuluh, ia membuka mata, tapi tidak terjadi apa-apa. Semuanya masih sama. "Dasar arloji sialan." Nara mulai merasa bodoh karena sempat berharap begitu banyak. Ternyata ... tidak terjadi apa-apa. Bagus sekali. Nara pun menghela napas dan mulai menyebrang jalan dengan santai, saat ia menoleh ke kanan, ada mobil hitam yang tiba-tiba melaju begitu kencang. Harusnya Nara lari, ia bisa lari dan menghindar dari mobil itu. Namun, kakinya seolah menempel pada aspal. Ia tidak bisa berlari. Ia hanya bisa memejamkan mata sambil berteriak sekeras mungkin. Brukk! Setelah menabrak Nara, mobil itu melaju terus hingga meninggalkan Nara yang tergeletak di jalan raya dengan kepala yang berlinang darah. "Argh, sakit. Mama... sakit." Nara mulai kehilangan kesadaran saat orang-orang mulai menghampirinya. Semua gelap, kepalanya terasa pusing sekali, apa ia akan mati? "Gadis yang malang...." Kakek tua yang memberi Nara arloji tadi memandang kecelakaan itu sambil membenarkan kacamatanya. "Harusnya dia tidak memutar arloji itu sebelum menyebrang. Maaf, Nak. Saya lupa bilang ... memutar waktu harus mengorbankan sesuatu. Yaitu waktu kamu di masa sekarang." Suara ambulans terdengar nyaring, semua orang memberi jalan untuk tim medis membawa korban kecelakaan ke rumah sakit. "Permisi, maaf! Saya mau melihat korban lebih jelas! Saya sepertinya mengenal korban!" Seorang wanita paruh baya memaksa untuk masuk ke ambulans untuk melihat korban kecelakaan. Setelah diizinkan, wanita itu berteriak histeris dengan air mata yang mengalir deras. "Ya Allah, Nara! Ini bener Nara ... anak saya!" "Baiklah, ikut kami ke rumah sakit ya, Bu. Silakan duduk, dan tenangkan diri Ibu," ujar salah satu perawat pria. "Astaga, kenapa ini bisa terjadi? Nara, bangun, Nara!"   *** "Nara! Bangun! Nanti kamu terlambat ke sekolah!" Mata Nara terbuka. Napasnya sedikit terengah, tapi ia tidak merasa sakit sama sekali. Saat ia bangkit duduk, ia ternyata tersadar bukan di rumah sakit. Melainkan, di kamarnya. "Kok? Bukan di rumah sakit?" Nara turun dari tempat tidur dan langsung bercermin di kamar mandi. "Rambut aku ... masih panjang? Kayak pas ... kelas sepuluh." "Nara! Udah bangun belom, sih? Cepat mandi terus sarapan!" "Mama...." Nara keluar dari kamar dan menghampiri mamanya yang sedang sibuk memasak di dapur. "Sekarang hari apa, Ma?" "Hari Senin. Hari pertama kamu MOS. Masa kamu lupa?" Mama sedikit terkekeh. "Hari pertama MOS? Mama nggak bercanda, kan?" Nara mulai bingung. "Aku habis kecelakaan loh, Ma. Aku udah kelas dua belas!" "Aduh, kamu habis mimpi, ya? Kamu sehat gini, mana mungkin habis kecelakaan? Terus, kamu baru lulus SMP, Nara. Jangan ngaco, deh. Mama nggak pikun." Mama bicara sambil memandang putrinya dengan geli. "Tunggu dulu...." Nara mulai berpikir dan mengingat sesuatu. Arloji! Apa ini artinya ia berhasil memutar waktu? Nara tiba-tiba tersenyum lebar. "Ih, ih, kamu kenapa tiba-tiba senyum gitu? Bikin Mama ngeri aja." Mama memilih kembali memasak. "Yes! Berhasil! Aaaakk, makasih Kakek!" Nara meloncat, lalu berlari kembali ke kamarnya. Ia langsung mandi dengan cepat, lalu bersiap ke sekolah. Ia mengucir rambutnya, memakai bedak tipis dan lipbalm. Ia tersenyum di depan cermin. "Kamu cantik, Nara." Dulu, mungkin Nara tidak akan sepercaya diri itu mengatakan dirinya cantik di depan cermin. Namun, mengenal Deeka membuat Nara lebih percaya diri. Deeka juga yang menyuruh Nara untuk tidak boleh menunduk dan harus sering tersenyum. Itulah yang Deeka katakan lewat surat terakhirnya, dan akan Nara lakukan mulai hari ini. Sekarang, Nara tidak mau menjadi Nara yang pemalu dan rendah diri lagi. Ia akan menjadi Nara yang lebih baik, demi Deeka. "Deeka, semuanya akan lebih baik sekarang. Aku janji."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD