Bab 1

1152 Words
Namaku Aira Haira Putri, banyak teman-teman yang meledek namaku. Alasannya sangat simple, karena nama panjangku cuma nambahin huruf H dari nama depanku. Apa aku kesal? Jelas dong aku suka kesal dengan apa yang mereka katakan karena mereka seperti tak menghargai nama pemberian orang tuaku. Jika tanya aku, apa aku suka namaku? Tentu aku sangat suka dengan namaku. Selain karena ini adalah nama pemberian orang tuaku, artinya pun sangat bagus. Aira berarti hasil yang baik, Haira berarti intan dan Putri tentu saja menandakan kalau aku adalah seorang perempuan, putri dari Ayah dan Bundaku. Aku selalu berharap jika namaku selalu memberiku keberuntungan dalam segala hal yang aku kerjakan. Tapi sayang, sepertinya untuk kali ini namaku benar-benar tak dapat memberiku keberuntungan. Bagaimana tidak, aku mendapat tempat KKN yang amat sangat jauh dari rumah. Aku tidak dapat membayangkan bagaimana aku bisa hidup di sana tanpa Ayah dan Bunda, dan entah apalagi hal buruk lainnya yang ada di sana, aku tak ingin membayangkannya walau hanya sejenak. "Aira...," terdengar suara Bunda memanggilku hingga membuatku harus meninggalkan semua lamunanku tentang tempat KKN nanti. Aku beranjak dari jendela kamarku, tempat favoritku untuk melamun dan merenung walau Bunda sering kali memperingatkanku untuk tidak melakukan hal itu. Tapi entah kenapa, aku terlalu suka melamun dan merenung di sini, mungkin karena memang dasarnya aku suka melamun. Kulangkahkan kaki telanjanku menyusuri koridor rumah minimalis yang sangat nyaman. Setiap ruangan tertata dengan rapi dan di dekor dengan sangat indah. Jangan bertanya berapa banyak uang yang Ayah keluarkan untuk membayar seorang desainer interio untuk menghasilkan penataan ruang dan tempat yang nyaman. Karena Ayah sesungguhnya tak pernah mengeluarkan uang seperser-pun, ini adalah karya Bundaku tersayang. Apakah dia sarjana desain interior? Tebtu saja bukan, Bunda adalah Sarjana Ekonomi. Saat sampai di dapur, aku melihat Bunda yang masih sibuk memasak. Aku-pun duduk di sebuah kursi dan memperhatikan Bunda yang masih memasak. Ku ambil sebuah gorengan yang ada di hadapanku dan memakannya dengan lahap hingga tak terasa gorengan itu habis dengan cepat. "Tunggu Ayah turun," kata Bunda sambil memukul tanganku pelan saat aku akan mengambil sebuah gorengan. "Gorengan bikinan Bunda enak sih, jadi Aira ketagihan dan gak bisa berhenti memakannya. " "Tunggu Ayahmu dulu!" Mendengar perkataan Bunda seketika aku memasang wajah cemberut. Aku sudah tak dapat lagi menahan godaan dari gorengan di hadapanku, rasanya tanganku sangat gatal ingin segera mengambilnya. Tapi entah kenapa Ayah belum juga turun dan bergabung dengan kami. "Ayah...," teriakku memanggil Ayah. Tak ada jawaban dari Ayah, mungkin ia telah pergi berdinas seperti biasa. Ah iya, aku belum memberitahu bahwa Ayahku adalah seorang perwira tinggi TNI dan Bundaku seorang ibu rumah tangga. Jangan berpikir bahwa Bundaku tak memiliki pendidikan tinggi hingga tak bekerja pada instansi pemerintah atau swasta. Seperti yang kubilang tadi, Bundaku adalah seorang Sarjana Ekonomi—Manajemen—yang memiliki nilai IPK hampir sempurna. Tapi rasa cintanya pada keluarga membuatnya memilih untuk menjadi ibu rumah tangga di banding bekerja. Aku merupakan anak ke tiga dari tiga bersaudara. Kedua kakakku merupakan anak kembar dan sekarang telah menjadi seperti Ayah, seorang TNI. Hal itu membuat kebersamaan kami di rumah sangat jarang terjadi karena kedua kakakku saat ini tengah dinas luar, jikapun tidak ada dinas luar, mereka lebih suka tinggal di barak daripada di rumah. Kudengar langkah kaki Ayah menuruni tangga rumah yang menandakan bahwa Ayah belum berangkat berdinas. Aku menunggu Ayah dengan sabar agar dapat memakan gorengan buatan Bunda yang dari tadi selalu menggodaku. "Selamat pagi, Ai," kata Ayah sambik mencium pipi kiriku. Orang rumah memang lebih sering memanggilku Ai ketimbang Aira, itu jadi seperti panggilan sayang mereka untukku. "Selamat pagi, Yah," kataku. Kulihat Ayah berjalan melewatiku lalu memeluk Bunda dari belakang dan mencium pipi Bunda. "Selamat pagi, Sayang.” "Selamat pagi, Mas. Ayo sarapan dulu sebelum berangkat," kata Bunda sambil mematikan kompor dan berjalan ke meja makan. Bunda memang selalu memanggil Ayah dengan panggilan Mas, seperti pengantin baru, namun menurutku sangat romantis dan pembuktian jika kemesraan mereka tidak lekang oleh waktu. Dapur di rumahku memang menyatu dengan ruang makan. Alasan Bunda cukup simple untuk ini, agar tak terlalu repot saat harus menyiapkan makanan setelah selesai di masak. Kami memang tidak memiliki asisten rumah tangga walau Ayah mampu membayarnya, tapi Bunda lebih suka melakukan semuanya  sendiri. Berdasarkan cerita Bunda dulu saat aku masih kecil, Bunda memang sudah berjanji pada Ayah untuk selalu memasakkannya setiap kali Ayah makan di rumah. "Kamu kapan berangkat KKN?" tanya Ayah saat kami sedang makan. "Lusa, Yah.” "Kamu KKN di mana?" "Itu lho Yah daerah yang jauh banget dari sini, tapi Aira lupa namanya apa.” "Kamu di antar Om Jajang ya biar Ayah dan Bunda gak khawatir.” Om Jajang adalah ajudan Ayah, kami adalah anak kolong walau sudah tak tinggal di asrama tapi tetap memanggil rekan-rekan atau bawahan Ayah dengan sebutan Om. Dia bukan hanya ajudan Ayah, tapi kadang juga di minta Ayah untuk menemaniku jika aku bepergian jauh dari rumah. Bukan niat menggunakan jabatan, hanya Ayah sangat khawatir jika aku pergi sendirian tanpa ada yang menemani. "Aira pergi sama rombongan saja, Yah," tolakku secara halus. "Tapi...," kata Ayah "Aira sudah besar Yah, sudah mau 21 tahun dan sudah tingkat akhir kuliah juga masa ke mana-mana harus di kawal," kataku. "Ya sudah Yah, kita coba percaya sama Aira. Yakin kalau Aira akan baik-baik saja. Biarkan Aira pergi sama rombongan tapi Om Jajang mengikuti dari belakang untuk tahu lokasi KKN Aira," kata Bunda dengan bijak. Bunda memang selalu menjadi orang yang mengakhiri semua perdebatan antara anak dan Ayah. Ia adalah orang yang paling memahami kami sedari kami kecil karena Ayah memang jarang di rumah. Aku dan kedua kakakku tak pernah memprotes ketidak hadiran Ayah di rumah, karena Bunda selalu menjelaskan semua kesibukan Ayah dengan sangat baik dan tanpa membuat nama Ayah minus di depan anak-anaknya. Selesai makan Ayah langsung berangkat bekerja seperti biasanya. Itu sudah menjadi rutinitasnya setiap hari kecuali week end. Aku sendiri memilih membantu Bunda untuk membereskan rumah. Karena Bunda selalu mengajarakanku bahwa setinggi apapun pendidikanku, tetap aku seorang perempuan yang harus dapat mengurus rumah. Bunda adalah sosok guru dan ibu terbaik dalam hidupku. Aku tak dapat membayangkan bagaimana hidupku tanpa Bunda selama sebulan nanti. Sepertinya hidupku akan benar-benar sepi tanpa Bunda. Membayangkan akan hidup jauh dari rumah dan terpisah dengan Bunda, membuatku secara refleks memeluk perempuan yang telah melahirkanku yang kini sedang mencuci piring, berharap jika aku dapat selalu bersama Bunda dan merasakan kehangatan pelukannya. Tapi mau tidak mau aku harus bisa menerima kenyataan jika lusa harus terpisah dari Bunda. "Hai, ada apa?" tanya Bunda sambil mengelus pucuk kepalaku dengan lembut. "Aku pasti akan sangat merindukan Bunda." "Bunda juga pasti sangat merindukanmu, baik-baik di sana sayang dan ingat harus permisi." "Permisi? Permisi pada siapa Bunda? Kan urusan izin sudah di urus kampus, termasuk sama penginapannya juga." Bunda tak menjawab pertanyaanku, ia hanya tersenyum simpul sambil melanjutkan mencuci piring. Aku tak memahami sama sekali apa yang Bunda maksud dengan 'permisi'. Bunda tak pernah memintaku melakukan itu ke manapun aku pergi. Ada apa dengan tempat KKN-ku? Dan aku harus permisi pada siapa?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD