Bab 2

1203 Words
Pagi sekali aku sudah bersiap untuk berangkat ke tempatku KKN. Aku telah mempersiapkan semuanya dari kemarin, tentu saja di bantu oleh perempuan yang paling kusayangi, Bunda. Kebiasaan Bunda menyiapkan perlengkapan Ayah dengan teliti, cepat dan simple benar-benar sangat membantuku hingga aku tak memerlukan banyak tas untuk membawa semua keperluanku, hanya sebuah tas besar saja. Dalam rangka erispanku berangkat KKN, Bunda sampai membeli sebuah tas pakaian berukuran besar untukku, karena di rumah hanya ada koper dan menurut Bunda itu tak simpel, apa lagi aku tidak tahu bagaimama suasana tempatku KKN. Hari ini aku menyiapkan sarapanku sendiri karena Bunda dan Ayah sedang pergi dari kemarin sore. Apa aku kesusahan melakukan ini? Tentu saja tidak karena aku telah terbiasa dengan semua ini. Aku terbiasa di tinggal di rumah sendiri hanya di temani beberapa penjaga di depan. Setelah selesai sarapan, aku segera ke depan dengan menenteng tas pakaianku yang cukup berat. Begitu melihat aku membawa sebuah tas besar, Om Jajang yang sedang menghangatkan mobil segera menghampiriku dan membawakan tasku untuk memasukkannya ke dalam mobil. "Om pakai baju dinas ngantar akunya?" tanyaku sambil menaikkan sebelah alis, aku memang tidak terlalu suka jika di antar-antar dengan mengenakan pakaian dinas. "Iya Mbak, kenapa?" "Bisa ganti baju pakai biasa saja gak sih Om?" "Sudah aturan, Mbak." "Ya sudah." Selama kuliah, aku terbiasa berangkat ke kampus menggunakan motor matic-ku hingga tak ada satu-pun kawanku yang tahu siapa Ayahku sesungguhnya. Aku pun tak pernah mengizinkan mereka main ke rumah. Itu semua kulakukan karena aku tidak ingin teman-temanku tahu siapa Ayah, tak ingin mereka menjauh atau mendekat hanya karena Ayah. Aku lebih sennag jika orang mengenaku sebagai diriku sendiri, bukan sebagai anak dari perwira tinggi TNI. Meski berat hati, aku tetap naik ke sebuah Pajero Sport Hitam milik Ayah karena tidak mungkin berangkat sendirian dan membawa motor. Ini adalah mobil pribadi Ayah, kendaraan yang lebih sering kami gunakan untuk bepergian bersama keluarga. Ayah memang diberi mobil dinas oleh Negara, tapi mobil itu hanya untuk kepentingan Ayah ketika bekerja. Aku selalu ingat apa yang beliau katakan kepadaku. "Semua pemberian Negara bukan untuk keperluan kita, jadi kita gunakan milik kita untuk keperluan kita. Milik Negara hanya untuk keperluan kedinasan Ayah saja," Aku duduk di jok belakang dan Om Jajang mulai menjalankan mobil dengan kecepatan sedang. Untuk mengisi waktu selama perjalanan, aku memilih membaca novel yang selalu aku bawa ke manapun juga. Ya, ke manapun aku pergi, aku pasti akan membawa serta satu novel yang aku masukkan di tas, ini semua kulakukan hanya untuk mengusir jenuh yang datang menghampiriku selama dalam perjalanan. "Mbak sudah sampai," kata Om Jajang. Aku mengangkat kepalaku dan melihat ke sekitar. Termyata benar aku telah sampai di kampus. Perjalanan selama tiga puluh menit terasa begitu cepat karena aku terlalu asyik membaca. Huft... aku menarik napas dalam dan melangkahkan kakiku keluar dari mobil. Teman-teman memandangku saat aku keluar dari mobil, mereka memang hanya mengenalku sebagai gadis biasa dan sederhana. Aku melangkahkan kakiku meninggalkan mobil, tapi mata teman-temanku masih saja memandang mobil di belakangku. Tidak, bukan hanya mata teman-temanku, tapi sekarang hampir semua memandang ke arah mobil. Aku menengok ke belakang mencari tahu apa yang sedang mereka lihat. Aku tersenyum ketika menyadari bahwa mereka sedang melihat Om Jajang yang baru saja turun dari balik kemudi dan membawa tasku. Ya seperti biasanya dan hal ini pula yang tidak aku sukai jika di antar oleh seseorang yang berpakaian dinas, karena di akui atau tidak, merea sealu menjadi pusat perhatian banyak orang. Huft...lagi aku hanya bisa menarik dalam napas dalam dengan apa yang dilihat oleh teman-temanku. Aku sempat melarang Om Jajang membawa barangku, tapi dia memaksa untuk membawa barangku. Ya mungkin dia takut jia aku mengadu pada Ayah dan membuatnya mendapat hukuman, padahal aku dan Ayah tak sekejam itu di tambah diriku bukan gadis manja seperti yang lainnya. "Vi, berangkatnya jam berapa?" tanyaku pada Via, teman sefakultasku yang juga satu tempat KKN denganku saat aku telah berada di sampingnya. "Hhhmmmm... sepertinya sepuluh menit lagi prakata dari pihak rektorat dan baru kita naik ke mobil yang akan membawa kita ke tempat KKN," jawab Via sambil melihat pada jam tangan yang melingkar di tangannya. "Ra, itu cowok kamu ya?" tanya Fandy. Dia teman yang juga satu tempat KKN denganku. Selain itu, menurut Via dia juga naksir aku sejak aku masuk kuliah. Tapi aku tak tahu pasti karena dia tak pernah menyatakannya. "Bukan," jawabku singkat. "Mbak, ini tasnya simpan di mana?" tanya Om Jajang yang telah ada di belakangku. "Tas kamu mana Vi?" tanayku pada Via. "Sudah di dalam mobil," jawab Via. "Mobilnya yang mana?" tanyaku lagi. "Yang paling ujung, kita kan tempat KKN yang paling jauh," kata Fandy dengan wajah agak cemberut. "Yang paling ujung Om. Nanti aku naik mobil itu sama teman-temanku," kataku pada Om Jajang. "Siap Mbak, Bapak sudah bilang kemarin sebelum berangkat," kata Om Jajang lalu berlalu dari hadapanku. "Dia Om kamu Ra? Trus orang tuamu gak ngantar? Aku saja di antar mereka tadi," kata Via. Apakah aku sedih saat mendengar pertanyaan Via? Tidak, aku tidak sedih dengan perkataan Via. Ini bukan pertama kalinya Ayah dan Bunda tak mengantarku saat aku akan ada acara dari kampus atau sekolah. Aku telah sering kali mengalami hal ini hingga aku tak pernah sedih ataupun mengeluh, ini hal yang biasa untukku. "Dia bukan Omku. Dan orang tuaku tak bisa mengantarku hingga aku hanya di antar oleh Om jajang," kataku sambil tersenyum. "Kamu sebenernya siapa sih Ra? Kamu bilang kalau kamu adalah gadis biasa dan dari keluarga sederhana, tapi kamu di antar pakai Pajero dan pria berpakaian loreng?" tanya Fandy. Aku memang selalu mengaku sebagai orang biasa dan sederhana. "Dia adalah Aira Haira Putri, putri dari seorang petinggi TNI. Kedua kakaknya juga seorang TNI. Jadi bukan sesuatu yang aneh jika dia di anatar mobil berharga ratusan juta dan di kawal" kata seorang perempuan dari belakangku Aku langsung berbalik untuk mengetahui siapa yang telah berani membuka jati diriku yang sesungguhnya. Betapa kagetnya aku saat melihat sosok Tania, 'mak lampir' yang sempat menggoda Kak Arfan, salah satu kakak kembarku. Tania memang cukup tahu mengenai keluargaku karena dia sempat satu SMA denganku. Ya, aku selalu berpindah sekolah mengikuti di mana Ayah bertugas. Saat kelaa 3 SMA aku pindah ke sini dan mengenal Tania karena kami satu sekolah. Saat itu pula dia mengenal Kak Arfan yang mengantarku ke sekeloh karena Bunda sedang tidak di rumah. Dan tentu saja Kak Arfan mengenakan baju coklat khas taruna AKMIL. "Mak lampir itu kenapa ada di sini?" gumamku dalam hati. Fandy dan Via hanya dapat memandangku tak percaya dengan apa yang dikatakan oleh Tania. Dan aku sendiri tak dapat berkata apa-apa karena Tania tahu betul siapa aku. Aku tak mungkin berbohong dan tak mungkin juga jujur. "Benar Ra kamu anak petinggi TNI?" tanya Fandy tak percaya. "Benar lah, ngapain aku bohongi kalian," kata Tania. "Apa ada bedanya bagi kalian jika aku anak petinggi TNI? Yang memiliki jabatan itu Ayah, bukan aku. Aku tetap saja gadis biasa, manusia biasa dan sipil," kataku sambil menatap Fandy dan Via. Seketika Tania terdiam mendengar perkataanku. Aku sangat tahu betul bagaimana sifat Tania hingga aku tak mengizinkan kakakku untuk berpacaran dengan dia. "Dan untuk apa kamu di sini?" "Aku satu kelompok denganmu," jawabnya. Apa aku salah dengar? Sepertinya tidak. Demi apa aku akan satu kelompok dengan mak lampir itu? Sebulan bersama dia, bagaimana jadinya hidupku?              
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD