Only One

1283 Words
Rian dan Manda duduk di lantai sembari meniup balon. Baru beberapa buah, Rian sudah bosan. Ia melempar balon baru terisi setengah itu. "Kalau gini terus rahang aku bisa sakit." Manda melirik Rian sembari komat-kamit. "Udah sih Rian. Gak usah ngeluh terus, ambil lagi gak." Manda lagi mode guru. Terpaksa Rian mengambil kembali meski bibirnya cemberut. Bisa-bisanya jatuh cinta sama cewek kayak gini. Jangan tanya Rian mengapa. Ia pun tidak mengerti. 'Kamu tuh gak tahu,ya kalau aku cuma mau berduaan sama kamu.' Senandikanya namun juga menempelkan balon di lipatan bibir. "Ahk." Tiba-tiba Rian ingat. Lho, waktu kecil,'kan dia punya pompa balon. Mungkin masih ada di gudang. Lebih baik kan daripada harus meniup sendiri. Rian segera berlari ke gudang. "Eeh, Rian mau kemana?" Pertanyaan Manda tidak mendapat tanggapan. Seraya menggeleng terpaksa ia menghabiskan sisa balonnya sendiri. Sebelum itu, di sisinya banyak balon sudah terisi udara. Daripada repot, Manda memutuskan menempelkan ke atas. Ia membutuhkan tangga agar sampai ke atap rumah. Manda tahu dimana Bi Sumi menyimpan tangga besinya. Tangga itu sudah di posisikan tepat di bawah titik lokasi. Manda naik, tangan kirinya memegangi lima buah balon warna-warni itu. "Man..," Teriakkan Rian mengagetkan Manda. Gadis itu limbung hampir saja tertimpa tangga yang oleng. Seperkian detik Rian bisa menyelamatkannya. Kini Manda berada di gendongan ala bridal dari sang kekasih. Tangannya melingkar di leher Rian. "Boleh juga kamu." Manda memuji kesigapan pacarannya. Kalau gini,'kan dia gak akan takut jatuh lagi. Karena selalu ada Rian yang cepat menolong. Rian hanya memutar bola matanya malas. Gimana kalau tadi dia gak lari segera. Nanti malah, tangga yang tergeletak di samping mereka itu menimpa badan Manda. "Kamu ngapain sih naik-naik?" Rian sangat protektif ke Manda. Ia pun mencengkram gendongan supaya Manda lebih rapat. Manda sendiri menyukai tiap omelan yang keluar dari bibir Rian. Itu tandanya dia sayang. "Kamu sendiri. Ngapain teriak-teriak?!" Karena suara jatuhan tangga juga akhirnya Bi Sumi muncul dari arah dapur. Wanita paruh baya itu kini gak terlalu banyak bekerja. Anak Bi Sumi yang paling kecillah yang menggantikan pekerjaan ibunya memasak. Gadis itu, Ghea. Walau Ghea baru 17 tahun tapi ia sudah pandai memasak. Manda banyak belajar darinya juga Bibi. Dengan tergopoh Bi Sumi menghampiri Rian. "Ya Allah Aden udah pulang?" Matanya berkaca-kaca. Tadi Bi Sumi tidak tahu kalau Rian sudah pulang. Karena ia lagi di kamar belakang. "Iyah, Bi. Ian pulang. Baru pulang malah dikerjain sama Manda." Rian mengadu sembari menatap Manda yang masih digendongannya. Karena malu, Manda menyembunyikan wajahnya di curuk leher Rian. "Ya Allah Bibi kangen. Pasti Neng Manda juga kangen sampai manja gitu." Bi Sumi mengulum senyum. Ketika Manda mau turun, Rian lebih merapatkan pelukkan. Ia gak akan melepaskan Manda begitu saja. Prinsipnya ialah. Tidak akan melepaskan apa yang sudah ia genggam. Tetapi Rian tetap menghampiri Bibi. "Bi, aku gak bisa salim. Ini manja," katanya melirik Manda. Pembohongan publik sekali. Wong dia kok yang gak mau melepaskan. Ghea ikut-ikutan ibunya sampai di ruang tengah. Gadis itu membawa Joy-anak kucing dalam dekapannya. "Kak Manda. Joy,ya nih!" Ia menyerahkan kucing ras anggora berbulu abu-abu itu. Manda menanggapi kali ini ia memaksa turun dari gendongan. "Joy, udah makan Ghe?" "Udah kak. Banyak malah," adu Ghea. Manda menunjukkan Joy ke Rian. "Joy, Daddy pulang," cicit Manda. Sayangnya Rian malah gemas sama Manda. Ia mengacak rambut ceweknya itu. Joy sendiri dibeli Rian setelah kematian Pushy. Ia ingin Manda merelakan Pushy dan menyayangi penggantinya itu. Dan sepertinya cara Rian berhasil. Asal jangan dirinya saja yang mau diganti. Tidak boleh, Rian akan menghantui hidup Manda kalau sampai itu terjadi. *** "Kalau gitu usir, Kak!" Dirga menunjuk Ibas. Matanya melotot tajam seakan hendak keluar. "Eeh Elu. Ngaca dong. Kakak aku gak mau. Jangan dipaksa," katanya lagi seraya bertolak pinggang. Ibas hanya bisa mengelus d**a. Legowo! "Bushett... anak jaman now," gerutunya. Gak sadar kalau dulu pun kelakuannya seperti Dirga ini. Dirga mendorong Ibas namun percuma. Postur tubuh Ibas jauh lebih besar dari Dirga mungkin cowok itu dua kali lipat dari Dirga. Apalagi Selly menatap dalam kehampaan. Ibas pun ikut memperhatikan Selly yang kecewa. Semakinlah Ibas tidak mau beranjak satu senti pun. "Eeh, aku bisa jelaskan. Semua gak seperti yang kamu fikirin." Ibas berusaha dewasa menghadapi Dirga. Kata orang kalau mau mendapatkan hati kakaknya harus lebih dulu menawan hati sang adik. Dengan begitu, ia terlihat ramah pada anak kecil dan biasanya wanita gampang terharu sikap seperti itu. Ibas berbalik, memegangi kedua bahu Dirga. "Gimana kalau ki~" Buugghh...! Salah menganggap Dirga gampang di ajak bicara. Belum apa-apa sudah menonjok wajah yang paling Ibas bangga,'kan. Ia tidak sampai terpelanting. Tapi malunya itu lho! "Boleh juga," cicit Ibas merasa panas di bagian pipi kanan. Tangan Ibas mengelus tulang pipinya. Dirga menyeringai, ia berkata untuk membanggakan diri. "Gimana pukulan tinju aku?" Dirga sedang ikut latihan tinju. Pantas skill-nya cukup mumpuni, atau karena Ibas yang belum siap. Entahlah. "Tadi itu tinju?" Ibas bertanya dengan raut kaget. Terlalu lemah, mau ia tunjukkan seni bela diri yang sesungguhnya. Disaat Ibas mendekat, Selly langsung melerai keduanya. Ia berdiri diantara Ibas dan Dirga. Kembali Ibas menyadari tujuannya di sini. Pasti bukan untuk meladeni bocah labil. Bukan juga unjuk gigi kehebatannya. Tak lain adalah memenangkan hati Selly kembali untuk disimpan dan disatukan dengan hatinya. "Udahlah." Ibas menaiki kedua tangan juga membuang pandangan. Saat matanya fokus ke depan. Ibas hanya bisa melihat Selly menatapnya khawatir, tanpa sadar tangan Selly terjulur ke luka tadi. "Eeh, sakitnya?" cicitnya hati-hati. Ibas menggeleng sembari bilang. "Gak sakit." Mata Ibas berkaca-kaca karena rindu bukan sakit akibat dipukul. Bahkan jika karena pukulan Dirga ia mendapat perhatian Selly, Ibas mau kok dipukul lagi. "Kak..!" Dirga menghardik Selly. Remaja labil itu masih selalu begitu emosi. "Udahlah terserah kakak aja. Sekarang aku tanya. Kapan Kakak mau kasih aku jaket baseball biru itu." Erangan amarah membuat Selly murka. "Aku udah bilang gak akan pernah kasih jaket itu ke kamu." Ibas sendiri merasa hal ini ada keterikatan dengannya. Ia menaiki dagu dihadapan Selly berniat bertanya, "Ada apa. Jaket.., Jadi anak itu mau jaket?" Selly berdehem. Jaket yang Dirga maksud punya arti khusus untuk dirinya. Jadi gak mungkin memberikannya ke Dirga lagipula jaket itu bukan milik Selly. Ia mesti mengembalikan kepada seseorang. "Kakak pelit!" Dirga berjalan keluar kamar dengan marah. Selalu seperti ini, mungkin karena dia bontot, terbiasa disayang dan dimanja. Dirga selalu mendapatkan apa yang diinginkannya. Alhasil, anak itu kurang dewasa. "Hei, tunggu!" Ibas merasa harus ikut campur. Ini sudah gak benar, kalau ia ingin, seharusnya Dirga bisa bersikap baik pada kakaknya. Sayang Dirga sudah membanting pintu. Meninggalkan keduanya. "Jaket apa yang dia maksud. Kenapa kamu gak kasihkan saja?" Jika hanya jaket baseball. Bukankah itu lumrah. Ibas merasa Selly terlalu keras pada adiknya. Selly menggaruk belakang kepala. Ia gak bisa bilang kalau jaket yang Dirga maksud adalah milik Ibas waktu itu. Selly mencoba menulikan pendengaran. Karena salah tingkah, Selly jadi membenarkan letak bantal. "Ahk, sudahlah. Biar aku saja yang beliin dia." "Ibas. Jangan pernah kamu beliin Dirga. Apapun!" Selly memukul lengan Ibas dengan bantal. "Kamu gak bisa larang aku. Aku bakalan tetap kasihin apa yang adek kamu mau," imbuh Ibas seraya bertolak pinggang. Wajah Selly mengeras dengan tangan terkepal. "Eerrhh..," suara gertakan gigi berusaha menahan kekesalan. Akhirnya Selly mengambil bantalnya lagi, kini dipukul ke kepala Ibas. Duugghh...! "Kamu paham gak sih kalau aku bilang jangan." Ibas memegangi kepalanya seraya meringis sakit. "Apa yang kamu lakuin?" Lantas ia meraih bantal lain. Jangan harap Ibas mau mengalah dengan Selly. Ibas ikut memukul Selly meski lemah. Perang bantal terjadi karena Selly menangkis serangan Ibas. Ibas terkekeh, ia sudah begitu jarang menemui wanita seliar Selly. Jiwa aktarktif Selly malah membuat Ibas jatuh cinta lagi dan lagi. "Ayok balas aku!" Tantang Ibas memberi ruang. Ketika Selly maju, ia merangkul Selly dan berakhir terjatuh di atas tempat tidur. 'Mampus gue, kenapa jadi gini?' Ibas berdebar kencang menyadari kini dirinya menindih Selly.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD