Stop Exploding, My Heart

1289 Words
Ibas menarik nafas dalam. Harus apa dirinya. Sedang gadis yang sangat ia rindukan kini terlentang pasrah di bawah kuasanya. Bohong kalau Ibas tidak berfikir sesuatu yang macam-macam. Ibas merasa pasokan udara semakin menipis. Apa ini karena dadanya berbenturan dengan bagian atas Selly. Ketika menyadari maknanya. Ibas makin ketar-ketir dengan jakun bergoyang. Ahk, dia harus bangun dari Selly sebelum gadis itu sadar kalau antenanya mulai aktif tegak berdiri seolah mencari radar tempat bersembunyi. Gimanapun nakal dirinya, Ibas masih punya malu. Ketika ia mencoba mengangkat badan dengan bantuan telapaknya. Ibas tercenang. Kancing kemejanya tersangkut di kalung yang Selly gunakan. Matanya otomatis fokus ke tulang selangka Selly, agak turun dikit ia sudah bisa menerawang bentuk dan ukuran dua gundukkan meski masih tertutupi baju utuh. Bukan membantu malah kepala atas bawah semakin berdenyut pusing. Kemudian, Ibas memberanikan diri melirik wajah Selly. Gadis itu malah terlihat pasrah saja. Sesekali menggigit kuku-kukunya untuk mengurai kegugupan. "Ahk, kancing aku nyangkut," ucap Ibas. Ia mencoba mengeluarkan kancing atasnya dari bandul bertuliskan nama gadis itu menggunakan satu tangan. Sedang tangan satu lagi berusaha mempertahankan posisi. Entah, angin atau memang tangan kanannya yang gemetar. Yang jelas, Ibas lagi-lagi terjatuh akibat tarikkannya sendiri. Apalagi jatuhnya betul-betul membentur dua bukit kembar milik Selly. "Aaiiissh...!" Selly melenguh dan Ibas panik. Ia tahu pasti sakit,'kan kalau bagian atas wanita tertubruk benda keras. Dia sih malah enak. Ehm! "Sel," Ibas mengelus kening Selly. Dipandangi wajah yang menutup mata rapat mencoba melonggarkan rasa sesak saling beradu dengan menahan nafas... "Maafin aku," kata Ibas tapi gak mau beranjak. Apa perlu ia mengurut bagian yang sakit itu? "Tapi kancingnya udah gak nyangkut lagi, Sel." Ibas memberitahu seraya terkekeh. Tapi bukan itu yang penting. Yang harus Ibas lakukan adalah menyingkir dari sini! "Kalau gitu cepet minggiran, Bas!" Selly memekik. Keningnya berkerut ditambah bibir yang mengerucut tak suka. Ibas memang menyingkir supaya Selly leluasa. Tapi dengan cepat membalikkan keadaan. Kini, Selly yang ada di atasnya. Gimana? Kalau gini.., Selly gak keberatan,'kan. "Bas," Terlambat untuk mengelak. Tangan Ibas sudah terkunci di pinggul Selly. Selly memberontak. Tak jarang memukul-mukul bahu Ibas pakai kepalan tangan. Ibas hanya tertawa, kadang meringis seolah sakit betulan walau cuma pura-pura. Menyebalkan! Seharusnya Selly memakai kekuatan palu jika ingin memberi efek jera pada Ibas. Detik selanjutnya yang terjadi membuat Selly membelalakan mata karena Ibas mengecup bibirnya kilat. Ibas menaiki dagu seakan tidak paham dengan reaksi Selly. Lagi, menaiki kepalanya, lantas mencium bibir ranum di depannya kembali seolah tanpa beban. "Ibas." Kini wajah Ibas memancarkan kedewasaan. Bahwa dirinya bukan lagi anak kecil yang bisa dilarang seenaknya. Malah, ia bisa menguasai keadaan sebagai pria sejati. "Aku sudah coba tahan. Ternyata aku gagal. Aku penasaran sama rasanya. Apa masih sama seperti ingatanku empat tahun yang lalu. Dan ternyata bibir kamu gak pernah berubah." Ungkap Ibas begitu serius. Tiba-tiba saja Selly berdebar. Apa benar Ibas mengingatnya sedetail itu. Tanpa sadar, Selly mengulum bibirnya seakan memancing gelora Ibas untuk makin liar menyesap benda yang kini sedikit lembab setelah dua kali dikecup. Telapak Ibas memegangi belakang kepala Selly. Kini mereka menghadap miring dan tanpa komando, Ibas kembali melumat bibir bagaikan candu itu. Namun kali ini ada getaran sayang, rindu dan haru. Betapa ia tidak menyangka bisa menemukan wanita ini setelah beberapa waktu selalu saja menghindarinya. Tetapi takdir membawa keduanya untuk bersatu. Paling ajaibnya, Ibas mendapati Selly di tempatnya. Dan bila sudah seperti ini, apa Ibas bisa ikhlas melepaskan Selly begitu saja? Sepertinya itu mustahil! *** Hari semakin larut. Suprise party yang Manda janjikan pun sudah berlalu satu jam yang lalu. Baik Jane, Randy, Bi Sumi dan Ghea sudah kembali ke kamar masing-masing. Hanya Rian yang masih terjaga di kursi santai di dekat kolam renang. Di tangannya ada buku cukup tebal. Sesekali ia menghembuskan nafas dengan kening menyerit, terlihat begitu serius. Manda sendiri tadinya sudah mau tidur. Tapi waktu mau ke dapur dan melihat Rian tekun belajar bikin ia tersenyum bangga. "Emang kamu gak pernah kecewain aku. Jam segini kamu masih juga belajar," gumam Manda begitu takjud. Manda melihat jam dinding sudah pukul setengah sebelas malam. Ia juga melirik coklat hangat di tangan. Gimana kalau buat Rian saja? Akhirnya Manda berjalan mengendap. Ia agak merasa bersalah karena tadi Rian menggendongnya tiba-tiba. Manda ingat Rian pernah kepayahan membopohnya waktu itu. Lagian, Manda gak pernah merasa dirinya kurus kerempeng tuh. Bisalah dirinya disebut sintal padat dan berisi. Terutama dosanya yang segede gaban itu lho. Bikin badannya jadi makin berat!. "Kamu ngapain?" Rian tersenyum miring. Kenapa lagi pacarnya jalan jinjit dan meletakkan gelas di meja samping Rian begitu hati-hati. Ia fikir, Rian gak sadar atas kehadirannya? "Aku mau kasih kamu minuman ini doang. Kamu lagi belajar,'kan. Selamat belajar!" Manda memekik seraya menepuk tangan. Pokoknya ia harus pergi. Bisa gawat ini... "Eeh, tunggu dulu!" Rian bangun dari rebahnya dan segera mencekal tangan Manda. Gadis itu terpaksa duduk di sebelah Rian. "Kok masih bangun?" selidik Rian tak henti menatap Manda penuh cinta. Nah, ini yang bahaya. Kalau tadi mereka berdua bisa tahan rindu yang bergelora karena ada anggota keluarga lain. Sekarang cuma berduaan saja. Panas dingin gak tuh?! "Tadi.., aku.., tadi..." Manda menggaruk tengkuk. Dia jadi kikuk apalagi jantungnya berdetak kencang. Rian melirik coklat panas yang Manda buat. "Kamu mau minum coklat dulu biar bisa tidur?" beber Rian dan Manda hanya mengangguk. Sikapnya sungguh imut di mata Rian. Tadi saja, Manda dengan gampangnya berceloteh sana-sini ketika di meja makan. Tetapi mengapa saat berdua ia melempen kayak krupuk kemasukkan angin. Dengan kurang ajarnya, Rian mengangkat pinggul Manda lantas meletakkan gadis itu di atas pangkuannya. "Eh!" Manda mencengkram bahu Rian. Rian mengambil gelasnya. "Kita minum sama-sama." Solusi yang Rian berikan. Lewat tangannya ia menyodorkan gelas ke bibir Manda. Manda langsung menyeruput lalu gantian Rian menenggak dibekas Manda. Manda terheran. Kan Rian bisa memutar gelasnya. Tapi ia gak mau bahas itu sekarang. "Kamu belajar apa, Rian?" Manda mencari topik pembicaraan lain. "Ini!" Rian mengambil buku tebal itu. Ia membaca judulnya "Menikahlah, agar kamu bahagia." ucapnya. Dan Manda terdiam. "Aku lagi baca buku ini. Ini bagus diberikan ke para wanita yang ragu untuk menikah." Manda masih terdiam. Ia hanya mengamati Rian serius. Siapa wanita yang mau Rian kasih buku itu. Kenapa Rian sangat peduli. "Buku yang bagus," Manda mengatakan dengan suara serak. Tiba-tiba saja hatinya sakit tahu pacarnya peduli sama cewek lain. Rian sendiri sebenarnya menangkap kekecewaan dalam diri Manda. Karena itu ia menjelaskan lebih jauh. Rian gak mau ada kesalah pahaman diantara ia dan Manda. "Aku mau kasih buku ini ke mantan guru aku yang kini ada di hadapanku. Setahu aku, dia masih ragu untuk menikah. Aku juga gak tahu apa yang ia takutkan. Jadi, bacalah.., aku harap setelahnya kamu gak ragu lagi." Manda meneteskan air mata. Wanita yang Rian maksud itu dia, Rian hanya mau tahu tentangnya. Rangkulannya semakin erat di leher Rian. Pun Manda meletakkan kepala didada Rian merasa damai. "Kamu tahu, mulai senin depan aku sudah mulai kerja di rumah sakit milik Ibas. Aku sudah punya penghasilan. Jadi kamu mau,'kan nikah sama aku?" Rian berhasil merealisasikan cita-cita sebagai seorang dokter. Kini ia dr. Adrian Rayasa calon suami guru BK, Manda. Manda tentunya tahu kalau Rian bakalan kerja di rumah sakit Kasih itu. Lucu,ya. Roda selalu berputar.., tadinya Rian ketua genk Aufklarung sekarang harus jadi karyawan Ibas yang gak pinter-pinter amat itu. Tapi begitulah kehidupan. Bukan berarti yang sekarang hanya jadi pendukung lantas tidak bisa jadi utama. Karena waktu dapat menunjukkan prioritasnya sendiri. "Ketika hari pelantikkan. Aku sudah ingin mendengar jawaban-iya-dari bibir kamu," lanjut Rian tulus. Manda mengangguk cepat. Air matanya luruh seiring gerakkannya. Gegas, tangan Rian menghapus lelehan air mata itu setelahnya mendekatkan wajah untuk menelan suara isakkan Manda menggunakan bibirnya yang kini menempel di birai kesukaannya itu. Rian juga mendorong punggung Manda supaya semakin rapat tanpa melepaskan cecapan menggebu diantara keduanya. Dan mungkin Manda tidak mendengar dengan jelas. Rian bilangkan seminggu lagi. Apa benar, cewek itu sudah siap?!
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD