Bab 14

670 Words
Vania menggigit kukunya sambil memandang lurus ke luar jendela. Sofa tunggal yang di letakkan dekat jendela kamarnya kini menjadi bagian favoritnya. Bulu mata lentiknya sesekali nampak mengipas wajah. Seakan mengekspresikan rasa bosan yang mendera. Awan mendung sudah menggelayut sejak pagi. Rasa malas begitu anggun menyelimutinya. bahkan untuk sekedar pergi ke minimarket yang ada di ujung kompleks pun kakinya terasa berat seperti di gantungi berkilo-kilo batu. Sudah hampir dua minggu sejak kepindahannya dari rumah Rendi dan menghuni rumah baru hadiah pernikahan yang diberikan ibu mertuanya. Rumah berlantai dua yang kini dihuni berdua dengan Bi Sumi, seorang asisten rumah tangga yang baru seminggu yang lalu mulai bekerja. Hari ini tanggal merah, biasanya ia selalu memilih tidur sepanjang hari, menonton drama Korea. Atau mencuci pakaian yang menumpuk jika sedang libur. Namun, kali ini entahlah, ia sendiri begitu malas keluar dari kamar, meski lidahnya menginginkan sesuatu untuk di kunyah. Sudah hampir pukul lima sore, namun, tubuhnya masih enggan meninggalkan tempat ini. Helaan nafas berat terdengar ketika ia melihat sebuah mobil hitam yang begitu familiar berhenti di halaman rumahnya. "Bahkan di hari libur, aku tetap tak bisa menghabiskan waktu sendiri." Gumam Vania lalu mendengkus kasar. Vania seakan tak peduli akan kedatangan Rendi. Ia masih duduk tenang disana, masih memperhatikan awan hitam di langit atau sesekali melempar pandangan ke arah jalanan dimana beberapa kendaraan masih lalu lalang melintas. Matanya menatap begitu fokus ke depan membuat ruangan ini begitu tenang, hingga dering ponsel menyentak lamunannya. "Huh ...." Sungutnya kesal. Sebuah nomor telepon asing yang belum terprogram di ponselnya tampak sedang menghubungi. Lama Vania terdiam menatap ke layar benda pipih itu. Entah mengapa ia enggan untuk menyentuh benda berlayar datar itu. Lalu mengalihkan pandangannya kembali lurus memandang ke luar jendela. Kembali ponselnya berbunyi. Kali ini tidak begitu lama, hanya terdengar bunyi beep saja. Sebuah logo persegi berlipat kini muncul di atas layar ponselnya. Vania kembali bersungut karena merasa fokusnya terganggu. Kali ini tangannya menggapai benda pipih itu dan membaca pesan yang tertera di dalamnya. [Vania, apa kau akan datang ke Reuni sekolah Minggu depan? -Gio-] Mata Vania membulat begitu melihat nama yang tertera di akhir pesan. Raut kebingungan kini tampak dari wajahnya. Ia tak mengerti, darimana pemuda itu mendapat nomor ponselnya? Ah, Vania menepuk pelan dahinya begitu menyadari kemungkinan Dewi atau Lila, yang memberikan pemuda itu akses informasi dan nomor ponselnya. Karena selain beberapa rekan kerja di kantornya ,hanya dua orang itu yang tahu nomer ponselnya yang baru. Baru saja hendak mengetik balasan, suara langkah kaki terdengar mendekat. Tak lama terdengar ketukan dari arah pintu kamarnya. Lalu disusul dengan suara maskulin yang berat. "Vania!" "Masuk saja, pintunya tidak di kunci." Jawab Vania setengah berteriak. Vania masih duduk di dekat jendela ketika pintu kamarnya terbuka. Untuk beberapa saat lelaki itu terpaku melihat istri mudanya yang tidak berpaling sedikit pun padanya. "Apa yang kau lihat?" Tanya Rendi begitu menghampiri Vania. "Aku melihat kebebasan yang tak terjangkau oleh tanganku." Sindir Vania. Mendengar sindiran Vania, bukannya marah Rendi malah menggigit pipi dalamnya agar tidak tertawa. Ia sangat mengerti apa maksud dari perkataan Vania barusan. "Kau sudah makan?" Pertanyaan Rendi hanya dijawab dengan diam. Melihat sikap Vania yang tampak menyebalkan, Rendi memiringkan kepalanya lalu tersenyum. "Aku beli makanan take away tadi. Kau mau?" Tawarnya. "Aku tidak lapar?" Jawab Vania sambil menggeleng. "Ya sudah, aku minta bibi siapkan saja dan meletakkannya di kamarmu. Nanti jika lapar kau bisa langsung memakannya." Ucapnya sambil melepas jaket yang dipakainya. Vania diam memilih tak menjawab. Kembali ia mengalihkan pandangannya ke luar jendela. Belum ada tanda akan hujan meski awan hitam sudah berkumpul. Melihat tangannya masih memegang ponsel. Membuat Vania menyadari jika belum membalas pesan WA dari Gio. Dibawah tatapan mata Rendi yang datar, Vania mengetik pesan balasan untuk sang mantan kekasihnya dulu. Lalu beranjak sebentar, meletakkan ponselnya di bawah bantal. "Kau tidak pulang ke rumahmu, mas?" Tanya Vania sedikit malas. "Tidak, aku akan tidur disini malam ini." Mendengar jawaban Rendi, membuat gadis itu memutar bola mata malas, lalu melirik suaminya itu dengan pandangan bosan. "Oh, Jangan bilang kalau kau terpaksa kemari karena disuruh Mbak Karin?" Sindir Vania. Bersambung
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD