Bab 13

885 Words
"Bisakah kau bertahan setahun saja. Jika memang nantinya kau memang masih tak bisa menerima pernikahan kita, aku berjanji akan membebaskanmu. Setidaknya, kita sudah berusaha dan alasan perpisahan kita nantinya bisa diterima oleh kedua orang tua kita." *** Vania mematung, mengatup bibirnya. Mencoba mencerna ucapan Rendi dengan seksama. "Anggap saja ini sebuah permohonan dariku." Lanjut Rendi. Sebuah kecupan mendarat di pucuk kepala Vania. Senyum yang mengulas wajah tampan lelaki itu, membuat Vania diselimuti kebimbangan. Kedua sisi hatinya kini mulai berlawanan. Antara menerima atau menolak tegas permintaan suaminya. "Kau tidak sedang memanipulasi pikiranku kan? Atau berusaha mencari keuntungan dari perkataanmu?" Mata Vania menyipit, mencari celah kemungkinan lelaki di hadapannya ini berbohong. "Tidak, aku tidak mengambil keuntungan apapun, percayalah padaku." "Baiklah. kali ini aku percaya padamu, mas," ucap Vania menyerah. "Tapi, aku juga punya permintaan." "Katakan saja." "Jangan mengatur apa pun yang ingin kulakukan," tegas Vania. "Akan kulakukan sesuai keinginanmu, Jika perbuatanmu masih dalam batasan normal, aku tidak akan ikut campur. Kau bebas melakukan apapun. Dan kuharap kau ingat ada nama keluargaku yang terhubung dalam setiap hal yang akan kau lakukan." "Aku yakin kau pasti berpikir panjang untuk melakukan sesuatu yang bisa merugikan dirimu dan nama baik keluarga." Lanjut Rendi mencoba melembutkan perkataannya. Kembali Rendi tersenyum. Sentuhan lembut yang dilakukan lelaki itu di kedua bahunya, akhirnya membuat Vania menyerah. Pertahanan diri yang ia bangun seketika roboh. Sungguh, dalam hatinya, Vania mengutuk diri karena bisa-bisanya menyetujui tawaran bodoh itu. Pandangan mata Rendi kini beralih pada sebuah koper dan travel bag yang ada di dekat ranjang. Ia memiringkan wajahnya sebentar lalu kembali membingkai wajah Vania. "Kau masih ingin mengemas semua barang barang mu sekarang?" Vania seketika mengangguk. " Iya, aku ingin secepatnya pindah dari rumah ini." Jawab Vania tegas. "Bisakah kau menundanya sampai besok? Karena aku akan meminta jasa cleaning untuk membersihkan rumahmu lebih dulu." Vania langsung menggeleng menolak usulan tersebut. " Tidak. Aku ingin pindah hari ini juga. Lagipula, aku bisa membersihkannya sendiri." "Apa kau tidak berangkat ke kantor?" Ucapan Rendi membuat Vania gusar, ia lupa jika hari ini bukan hari libur. "Aku bisa menelpon Delia, memberitahunya jika aku tidak bisa datang ke kantor hari ini." Jawab Vania. Melihat sikap Vania yang masih ketus, membuat Rendi tertawa. "Kadang aku merasa, kepalamu itu lebih keras dari batu, Vania." "Terima kasih," ucap Vania menanggapi dingin pujian yang dilontarkan Rendi. "Jika memang kau bersikeras, baiklah aku akan mengantarmu. Kemasi barang barang mu dan bersiaplah. Aku menunggumu di depan." "Kau tak harus mengantarku!" Kembali Vania menolak. "Jangan membantahku. Jika kau ingin pindah dari rumah ini, maka aku sendiri yang akan mengantarmu." Tegas Rendi dengan sorot mata yang sangat dominan. "Baik, dan sekarang bisakah kau keluar dari kamarku?" Usir Vania dengan salah satu tangan mengarahkan ke pintu. "Ok, princess. Aku akan keluar." Untuk sesaat, nafas Vania tertahan. Matanya membulat, dan mematung mendengar kalimat yang baru saja keluar dari mulut lelaki itu. Barulah setelah pintu itu tertutup, Vania baru menyadari sekitarnya. "Apa yang baru saja di katakannya. Princess. Apa kepala lelaki itu baru saja terbentur atau salah minum obat?" Vania bergumam pelan. "Ok, setahun saja, Vania. Bertahanlah, hanya setahun saja, setelah itu kau bisa mendapatkan kebebasanmu sendiri." Ucap Vania dengan senyum tipis di wajahnya. *** Karin terduduk lemas di atas ranjang dengan tangan mengepal kuat. Wajahnya menunduk menatap pada ujung bajunya yang berkerut akibat kepalan tangannya. Hatinya seakan ingin menangis. Setelah melihat Rendi menyusul Vania. Entah mengapa, kakinya ikut menuntun dirinya hingga beberapa jengkal dari pintu kamar Vania yang sedikit terbuka. Tak ayal pembicaraan suami dengan istri mudanya itu ikut terdengar olehnya. Hatinya berkecamuk, gejolak kemarahan bercampur perasaan bersalah kini bercampur jadi satu. Karin tahu tak baik menguping pembicaraan orang lain. Tapi, pikirannya berkhianat seakan apa yang baru saja dilakukannya adalah sebuah perbuatan yang masih bisa ditoleransi. Ingatan lima tahun yang lalu kini berputar dalam kepalanya. Sebuah kenangan buruk yang tak ingin ia buka seakan beterbangan di pucuk kepalanya. Membuat wanita itu akhirnya menangkup kedua tangannya ke wajah, seakan ingin menghalang putaran memori kelam yang masih menghantuinya hingga kini. Mata Karin kini menatap nanar. Keputusan Rendi yang mengizinkan Vania keluar dari rumah ini menggelitik hatinya. Sebuah gumaman kecil akhirnya keluar dari bibirnya. "Haruskah ...?" Ia tak memungkiri ada perasaan cemburu yang bersarang di hatinya kala melihat Rendi berada begitu dekat dengan Vania. Suara lembut Rendi yang tadi ia dengar kala menenangkan kemarahan Vania membuat Karin gusar. Ucapan Vania yang penuh dengan dorongan kebencian berulang ulang berputar di kepalanya. Membuat segumpal daging di dadanya dipenuhi kebimbangan. [Selalu saja seperti ini. Ada apa dengan dirimu, mbak? Harusnya kau tak perlu bersikap sok baik seperti ini padaku. Aku tahu, kau juga tidak mengharapkan kehadiranku. Iya kan? Tak perlu membohongi diri dan memanipulasi keadaan dan perasaanmu sendiri karena yang sebenarnya, kau pun keberatan dan sakit hati dengan pernikahan kedua suamimu. Benar kan?] [Kau tahu mbak? aku bahkan lebih suka melihatmu membanting piring dan mengajakku ribut daripada berwajah penuh drama seperti itu.] Tudingan Vania memenuhi isi kepalanya. Tak lama terdengar suara langkah kaki mendekat, membuat Karin akhirnya mengangkat kepalanya, mencari sosok pemilik langkah tersebut yang terlihat akan menghampiri dirinya sendiri dengan melempar sebuah senyuman padanya. "Kau tahu, Vania. Aku cemburu, aku sakit hati, dan aku juga membenci keadaan ini. Haruskah aku melakukan apa yang kau katakan? Menjadi seorang ratu drama dan berbuat hal yang buruk demi bisa mencelakaimu hanya agar kau terdepak dari sisi Rendi?" Lirih Karin hampir tak terdengar.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD