Pernahkah sekali saja kau memikirkannya?" Tanya Vania lirih dengan salah satu ekor mata yang mulai basah.
****
"Pernahkah, mas?"
Dengan cepat, Vania menepis air mata yang hendak jatuh. Memalingkan wajahnya sejenak demi menutupi kedua manik matanya yang ingin berderai.
Menghela nafas panjang demi memenuhi rongga dadanya yang seakan kehabisan oksigen, adalah hal yang sekarang di lakukannya, tak lama, tatapan mata yang begitu menghujam kembali di lempar Vania pada suaminya, ia begitu geram mendengar alasan yang di kemukakan lelaki itu. Hatinya terluka karena keberadaan dan perasaannya seakan tak berarti apa-apa.
Menikahi pria yang telah menikah memang berbeda. Ada perasaan dan harga diri yang di pertaruhkan. Rasa sakit yang di rasakan karena menyandang status sebagai istri kedua sering kali membuat Vania merasa terbuang dan tersisih.
Tangan Vania mengepal. Amarah masih belum surut dari hatinya. Berusaha ia meredam semua hasrat ingin memaki lelaki yang berdiri di hadapannya ini, hingga, akhirnya suara Rendi yang terdengar lembut sedikit meredam bara amarah yang masih mengintip di celah matanya.
"Sebenarnya apa yang ingin kau katakan, Vania? Apa kau memiliki prasangka buruk tentangku selama ini?"
Mendengar pertanyaan Rendi, seketika Vania menggeleng pelan.
"Aku tidak berprasangka buruk. Jika kau memang merasa peduli padaku, maka tolong bebaskan aku dari pernikahan ini! Aku lelah dengan kalian dan juga perasaanku sendiri," tutur Vania mengungkapkan isi hatinya.
Rendi mengeram sesaat setelah mendengarnya, lalu melempar seringai tipis yang melengkung di salah satu sudut bibirnya, ada sepercik kemarahan yang terpercik di sorot matanya kala mendengar permintaan istri keduanya yang terasa konyol baginya. Manik obsidian gelapnya kini mengunci mata Vania dengan begitu rapat. Seakan membalas hujaman tatapan yang di lempar istri keduanya itu.
Helaan nafas berat terdengar. Aroma maskulin yang masih menyeruak yang biasanya di sukai Vania, kali ini, entah mengapa hidungnya seakan ikut mengkhianati. Aroma parfum itu kini membuatnya mual.
Beberapa saat hanya ada keheningan diantara mereka. Hingga akhirnya Vania mengalah, memutus kontak mata mereka.
"Jika kau belum mampu membebaskanku dari pernikahan ini. Maka berhentilah membuatku kesal. Nikmati saja hidupmu bersama istrimu. Dan biarkan aku melakukan apapun yang kuinginkan."
"Kau menginginkanku tinggal di rumah pemberian mama? baiklah akan kulakukan. Aku tidak akan kembali ke kontrakanku bukan karena ingin hubungan kita lebih baik atau berharap lebih pada pernikahan kita, tapi karena ingin menghargai hadiah yang mama berikan padaku."
"Kuharap itu sudah cukup, dan jangan meminta hal yang lebih dari ini padaku, mas. Jika kau tidak ingin aku berbuat nekat." Ancam Vania dengan sebuah delikan.
Rendi masih diam. Sorot matanya yang berubah dingin membuat Vania frustasi karena tak bisa membaca isi pikiran lelaki itu. Vania semakin menyadari jika keberadaannya memang tak berarti bagi suaminya.
Vania tak munafik jika dirinya pernah berpikir untuk menjadi satu satunya ratu dalam hati Rendi, sayang, ia terlalu malas bermain drama. Mencari kebahagiaan dengan merebut kebahagiaan orang lain bukanlah prinsip hidupnya. Hingga akhirnya, ia memilih menekan perasaannya pada lelaki itu dan memilih untuk menyerah. Karena Vania sadar, sedari awal Rendi adalah milik Karin, Kakak madunya.
Melihat sikap Vania yang mulai melunak. Rendi melangkah pelan menghampirinya. Tangan kekarnya dengan lembut menyentuh pipi mulus bak porselin itu dan merapikan anak rambut Vania yang berantakan di dahi.
"Kau bisa meminta apapun dariku tapi jika kau menginginkan kebebasan. Maaf, aku tak bisa mengabulkannya."
Untuk sesaat Vania terpaku akan sentuhan lembut yang dilancarkan Rendi padanya, jemari lelaki itu yang masih menari memainkan anak rambutnya. Namun, begitu ia menyadari ucapan Rendi, dengan cepat ia menepis tangan lelaki itu dari wajahnya.
"Mengapa? Karena jika hal itu terjadi kau akan kehilangan mesin pencetak anak untukmu? Benar kan?" Tuding Vania sarkas.
Tampak Rendi menggelengkan kepalanya.
"Tidak, bukan seperti itu. Tolong mengertilah Vania. Mama sangat begitu menyukaimu. Kau tahu, ia selalu memuji dirimu setiap kali menelepon. Harus kah aku menghancurkan hatinya dengan kabar perpisahan kita? Tak hanya perasaan mama. Kabar perceraian juga pasti akan berpengaruh terhadap kesehatan jantung papa." Rendi diam sejenak menjeda kalimatnya.
"Apa kau juga tidak berpikir bagaimana dengan perasaan kedua orang tuamu bila mendengar kabar perceraian kita? Mereka pasti akan sangat sedih." Jelas Rendi dengan begitu lembut.
Vania mendengkus. Ia bosan mendengar semua alasan itu. Meski ia mengakui kebenaran dari setiap kata yang di ucapkan suaminya itu, namun rasa egois yang masih menyelimuti hatinya. Membuat kalimat penjelasan itu belum mampu meredam semua kemarahan nya.
Vania marah dengan keadaan. Terkadang ia juga mengutuk dirinya yang tak mampu menolak pernikahan ini. Tanpa di sadari, ia sering tenggelam dengan perasaannya sendiri.
"Vania." Panggil Rendi lembut.
Satu tangan lelaki itu kini berada di dagu Vania, lalu mengangkatnya hingga kedua mata mereka kembali saling menatap. Melihat sisa air mata yang masih membekas di ekor mata Vania, dengan gerakan lembut jempolnya memutar, menghapus Jejak air mata yang tersisa.
"Bisakah kau bertahan setahun saja, Vania? Jika memang nantinya kau masih tetap tak bisa menerima pernikahan kita, aku berjanji akan membebaskanmu. Setidaknya, kita sudah berusaha dan aku yakin alasan perpisahan kita nantinya bisa di terima oleh kedua orang tua kita."