Bab 11

757 Words
"Aku suamimu, Vania! Jangan memaksaku dan sok bersikap seakan kau tahu segalanya," Teriak Rendi, suaranya seakan memenuhi seisi ruang makan ini "Ya, aku memang sok tahu, lalu?" Mata Vania menatap nyalang dengan kedua tangan bersidekap di d**a. Sebuah sikap defensif untuk mempertahankan diri. *** Emosi Vania mulai tidak bisa lagi ia tahan, tangannya terlihat mengepal erat, tak lama ia kembali bicara. "Kau ingin mengatakan jika kau sudah berusaha untuk berbuat adil, begitu? Jangan karena Mbak Karin merelakan jatah malamnya agar kau bisa bermalam di kamarku membuatmu merasa sudah berlaku adil?" "Kau keliru, mas." "Vania, kumohon hentikan!" Wajah Karin tampak memelas. "Kenapa mbak?" "Kau takut mendengar semua kenyataannya?" sahut Vania menyeringai. "Sebelumnya, aku sudah mengatakannya padamu. Tak akan pernah ada dua ratu dalam satu istana, Jika masih tetap ingin istana itu kokoh bertahan maka salah seorang ratu harus disingkirkan. Kau lupa?" lanjut Vania dengan senyum mengejek. "Aku tahu itu." Jawab Karin pendek. "Jika kau tahu, lalu mengapa masih ingin menahanku disini?" Karin menunduk sambil mengigit bibirnya. Membuat Vania membuang pandangannya ke sisi yang lain. Melihat perdebatan kedua istrinya, akhirnya membuat lelaki berusia tiga puluh tahun itu menggeser kursinya dan berdiri. Wajahnya terlihat begitu kesal dengan sorot mata yang menghujam ke arah istri keduanya itu. Vania berdecak kesal. Tak lama, gadis itu membalikkan badannya, berjalan menjauhi meja makan. "Aku sudah kenyang, terima kasih atas sarapannya," Kalimat bernada sindiran itu ia ucapkan setelah beberapa langkah menjauhi meja makan. Melihat langkah Vania yang mulai menjauh, entah mengapa Rendi ingin mengejarnya, sayang, baru saja kakinya hendak meninggalkan kursi, tangan Karin segera menahannya. Gelengan kepala Karin mengisyaratkan bahwa ia tidak perlu mengambil tindakan apapun dan membiarkan saja apa yang dilakukan Vania tadi. "Mas, sudahlah, jangan ganggu dia lagi." "Sikapnya sudah kurang ajar, Karin," keluh Rendi membalas ucapan istri pertamanya. "Aku tahu itu, mas. Vania bersikap seperti itu mungkin karena merasa kau mengabaikannya. Tolong maklumi perasaannya. Pernikahan kalian masih membuatnya shock." "Jika ia merasa kuabaikan, harusnya ia mengatakannya padaku. Bukan dengan sikap kurang ajar yang ditunjukkannya tadi." Suara Rendi terdengar rendah. Rendi membuang nafas kasar, lalu menyugar rambutnya. Terkadang ia masih tak habis pikir dengan sikap Vania yang berubah-ubah. Sepanjang tiga bulan pernikahan mereka, lelaki itu merasa sudah melakukan semua kewajiban seorang suami padanya. Dengan cepat, tangan kanannya meraih jas hitam slim fit yang belum sempat dipakainya. Jas yang tadi ia diletakkan di sandaran kursi. Segera ia memakainya lalu kembali berniat menyusul Vania ke kamarnya. Karin hanya mematung melihat punggung Rendi yang akhirnya menghilang dibalik dinding pembatas. Matanya berkaca-kaca. Tak lama ia menunduk, menyeka bulir air mata yang hendak jatuh di pipinya. *** Vania berjalan cepat menuju kamarnya yang berada di lantai dua. Nafasnya terdengar memburu seakan berkejaran dengan jarum penunjuk waktu. Tangannya mengepal kuat, menandakan betapa besar kemarahannya saat ini. Mata Vania berkilat amarah. Tangannya membuka kasar pintu kamarnya. Ada gelegak amarah yang masih belum surut meski ia sudah berusaha untuk meredamnya. Sial! "Mengapa harus aku yang menjalani kehidupan pernikahan tak berguna seperti ini," Vania berkeluh lalu menatap lemari pakaiannya cukup lama. "Sudah cukup, aku sudah tidak tahan lagi. Apa yang ku harapkan dengan pernikahan yang tak sehat ini? Kebahagiaan, kasih sayang? Cinta? Semuanya omong kosong!" Vania mengumpat kasar. Vania melangkah pelan, lalu berjongkok di depan lemari pakaiannya. Tak lama, ia mengambil sebuah tas travel dan koper besar yang berada di samping lemari. Dengan cepat, tangannya mengambil baju dan dengan cekatan menyusun semuanya di dalam tas dan kopernya. Vania berharap semoga kepergiannya tidak diiringi dengan drama murahan seperti tadi. Suara langkah kaki terdengar mendekat, membuat Vania menghentikan semua bentuk aktivitasnya. Aroma maskulin yang tercium membuat gadis itu memejamkan matanya sejenak. "Untuk apa datang ke kamarku, mas? Mencegahku keluar dari rumah ini? Maaf, tidak kali ini!" Tegas Vania tanpa menoleh. "Kau benar-benar ingin pindah?" "Iya. Aku sudah gerah tinggal disini, aku muak dengan sikap kalian berdua yang seakan menganggap pernikahan ini baik baik saja." Geram Vania. "Baiklah, kau boleh keluar dari rumah ini tapi jangan kembali ke kontrakanmu. Pulanglah ke rumahmu sendiri. Ke rumah yang dibelikan mama untukmu." "Jangan mengatur hidupku," protes Vania. "Aku tidak mengatur hidupmu. Tapi tolong pikirkan nama baik Keluarga Atmadja dan perasaan orang tuaku. Apa yang akan dipikirkan orang jika mengetahui menantu keluarga Atmadja tinggal di sebuah kontrakan kecil?" Bujuk Rendi. Vania menghela nafas panjang. Mengontrol kembali perasaan emosionalnya yang masih kuat. Cukup lama ia terdiam. Hingga sebuah kalimat akhirnya meluncur bebas dari bibirnya. "Jika kau begitu memikirkan ucapan orang dan menjaga perasaan orang kedua orang tuamu ataupun orang disekitarmu. Lalu bagaimana dengan perasaanku? pernahkah sekali saja kau memikirkannya?" Tanya Vania lirih dengan salah satu ekor mata yang mulai basah.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD