Part - 2 - Wow!

2277 Words
"Ardi k*****t! Bawa sial tuh anak! Kutu kupret! Gara-gara tuh bocah gue jadi belibet begini! Bocah tengil sialan!" Silvia mengumpat terus menerus bak kereta api tanpa jeda. Kesal tingkat dewa tuh! Gimana enggak, ancaman Mami ternyata bukan hanya ancaman kosong! Dua hari setelah kejadian menyebalkan itu, tiba-tiba manajernya bilang semua kontrak dirinya dibatalkan. Tak tersisa satu pun! Ingat, tak satu pun!! Gila gak sih? Dengan gusar Silvia menenggak habis alkohol di tangannya, yang entah gelas ke berapa ia meminum air yang meracuni tubuh itu. Silvia ambruk di atas sofa salah satu club malam langganannya. Soni alias Sonia jadi-jadian menatapnya kasihan. "Ngapain sih Sisil malah teler lagi? Kan eikeu gak punya super hero buat ngangkutin tubuh tingginya itu. Alamak! Berat kali kau, Sil!" Sonia mencoba mengangkat tubuh Silvia. Yah, emang dasarnya dia tubuh cowok, walau segemulai apapun gayanya, tetep punya otot yang bisa ngangkat tubuh Silvia. "Kenapa dia? Mabok lagi? Sini biar gue yang bawa!" Ardi mencoba mengambil alih Silvia dari tangan Sonia. Tapi pria setengah matang itu menolaknya. "Kagak udin! Biar eikeu yang urus nih bocah! Lo juga mabok gitu, gak percaya eikeu sama yey! Ntar malah yey makan lagi nih anak orang." "Ck, ya udah sana! Dasar manusia setengah jadi! Segila-gilanya gue juga gak bakalan rusak temen sendiri." Ardi melengos dan berlalu meninggalkan Sonia yang mendelik tajam padanya. Sonia menidurkan Silvia di kamar hotel miliknya, lalu keluar dan meninggalkan Silvia sendirian di dalam. Sosok yang membuat Silvia jadi mengenaskan datang dengan 2 orang bodyguard yang berseragam jas hitam. Sonia bergidik ngeri. Itu wajah apa tembok ya? Kok pada datar amat? Coba senyum dikit, udah eikeu pepet tuh Si Abang! "Soni! Mana anak saya?" "Anak eh, anak! Mau diapain Nyonya?" Sarah Sentosa yang merupakan Mami Silvia memutar bolanya malas. Ini manusia aneh ngapain pake ikut campur segala? "Silvia anak saya! Mau saya jemput. Faham kamu?" "I-iya, Nyonya!" Anzing! Gemeter eikeu, si Nyonya kok ya garang amir! Tanpa banyak bicara, Mami membuka pintu hotel dan bodyguard itu membopong tubuh Silvia yang masih tidur pulas. Sonia hanya bisa menatap cemas melihat mesin uangnya dibawa pergi. Yah, alamat telat gajian nih eikeu! *** Silvia mengucek matanya yang masih ngantuk. Kok ya berasa beda nih tempat? "Gue di mana? Kayak bau parfum Mami?" Detik berikutnya Silvia menutup telinganya kuat-kuat. Di luar sana terdengar suara teriakan Papi dan Mami. "Lagi ada perang dunia ke 3 rupanya." Silvia sadar dirinya sekarang berada di kamarnya sendiri. Salahkan alkohol sialan itu yang membuatnya teler dan tak sadarkan diri hingga ia bisa terdampar di sini. Beringsut turun dari ranjangnya. Dan sedikit membuka celah pintu. Papi dan Mami bertengkar hebat. "Yah, gaya lama. Selalu begitu! Tiap gue bikin ulah, ujung-ujungnya perang otot. Gue? Tetap saja dicuekin." Silvia awalnya enggan mau tahu dengan pertengkaran mereka. Hanya saat nama pesantren disebut, ia mulai tertarik. Wah celaka! Apa mungkin dia benar-benar akan dijebloskan ke pesantren?! "Salah kamu, Mas! Kenapa terlalu memanjakan dia?! Jadinya begitu! Semau gue!" "Lho, kok aku yang salah? Aku kerja itu ya buat kamu dan anak kita! Apa salah? Kamu yang seharusnya ada buat dia! Bukan malah ikutan buka usaha dan sibuk ngurusin bisnis sendiri!" "Tapi aku gak pernah manjain dia, Mas! Kamu tahu kemarin aku lihat dia lagi ngapain?" "Apalagi yang dia lakukan?" "Dia lagi sekamar dengan teman prianya bersama beberapa botol anggur! Puas kamu?!" "A-apa? Serius kamu?!" "Ngapain aku bohong, Mas! Makanya cari solusi! Bukan malah nyalahin aku!" "Hanya satu cara! Kita paksa dia masuk pesantren!" "Aku juga berpikiran sama, Mas!" "Cari pesantren yang paling bagus dan ketat peraturannya biar dia sadar dan lepas dari dunia antah berantahnya itu." Silvia langsung keluar dari kamarnya. "Apa?! Papi sama Mami mau masukin aku ke pesantren?! Yang benar saja!" Papi dan Maminya kompak menoleh ke arah munculnya Silvia. "Sisil?! Kamu nguping?" "Iya, orang Papi sama Mami berantemnya kayak pake toa gitu! Volume 12 volt!" "Tuh lihat Pi! Mana ada manis-manisnya nih anak? Udah nguping bukannya minta maaf!" "Lagian ngapain sih Mi, aku dikirim ke pesantren? Ntar aku ajakin pemotretan bareng dah santri ama ustatnya." "Bocah nakal! Sini kamu! Mami tuh udah greget dari kemarin! Pengen jewer kupingnya nih anak!" "Waduh, jangan dong, Mi! Ntar kalo kupingku ada cacat, gak laku jadi model lagi dong, Mi." "Biarin! Malah bagus! Ngapain kamu kerja kayak gituan! Mana gak bisa jaga diri lagi!" "Ih apaan sih, Mi! Ini tuh seni, Mi! Body anak Mami ini mengandung unsur seni yang sangat indah." "Ya kan gak usah diekspos! Mami gak suka! Apalagi kamu malah ikut nenggak alkohol sampe teler segala!" Papi melotot mendengar penuturan Mami. Apa? Teler? Putri kesayangannya mabok sampe teler?! Kalo diibaratkan, kayaknya sang Papi udah mulai bertanduk dan bertaring tuh! "Pokoknya Papi gak mau tahu! Besok kamu mulai ke pesantren! Papi punya kenalan Kiyai yang punya pesantren yang bagus! Biar lempeng nih anak!" "Setuju, Pi. Jangan dilamain lagi!" Yeh, gimana ceritanya ini, kok Mami sama Papi malah akur begini kalo urusan masukin Silvia ke pesantren? "Ck, masa harus ke pesantren sih? Kan belajar agama mah privat juga bisa?" "Privat udelmu! Yang Mami khawatirkan itu kelakuanmu! Kemarin juga tidur di hotel sama pria! Mau ngeles apalagi kamu?" Silvia meringis. Tuh kan? Ardi b******n! Dia tuh biang keroknya! Jadi salah sangka kan Nyonya Besar? Berabe deh jadinya. Papi makin marah. Dadanya naik turun, matanya menatap tajam putri semata wayangnya. "Pokoknya Papi gak mau tahu, besok kamu akan Papi kirim ke pesantren! Titik. Gak ada penolakan! Atau semua fasilitas kamu Papi cabut. Termasuk saham atas nama kamu akan Papi tarik lagi." Silvia melotot. Kejam amat sih? "Mana bisa gitu, Pi? Mati dong putri Papi yang cantik ini kalo jauh dari kartu kredit ajaib Papi?" "Bagus, biar kamu ngerasain gimana susahnya cari uang." Busyet dah! Apa boleh dikata, kalo Papi sama Maminya udah kompak gini, susah buat dilobi. Aje gile, gue melarat dadakan nih kalo gini caranya! Silvia melenggang pergi menuju pintu keluar. "Heh, mau kemana lagi kamu?!" "Cari udara seger lah, Mi. Itung-itung memanfaatkan kebebasan sebelum dikurung di panti sorga." Mami dan Papi hanya geleng-geleng kepala melihat kelakuan putri mereka. Lalu Papi nampak menghubungi seseorang. "Hallo? Bob, tolong ikuti mobil anak saya. Pastikan aman." Dan Mami memijat kepalanya yang mulai pening. *** "Aduh beib, demi apa coba? Ini hari keberuntungan eikeu!" Sonia meloncat-loncat kegirangan di kamar hotelnya sambil mengibarkan amplop coklat di tangannya. Sedang di atas kasur, Silvia duduk bertopang dagu. Silvia baru saja memberikan Sonia gaji bulanan 3 kali lipat dari biasanya. Entahlah, dia hanya merasa dirinya tidak akan menemui Sonia, pikirannya menerawang. Dan di depan televisi, terdapat Ardi dengan kantong cemilan di tangannya. "Lo napa sih, Sil? Surem gitu bawaannya. Perasaan di luar cuaca bagus deh, kok di sini malah mendung?" "Diem lo, Ar! Gegara kelakuan lo yang sableng itu, gue jadi disuruh ke pesantren!" Ardi sampai menyemburkan makanan yang ia kunyah. Sonia langsung bergidik ngeri. "Apa?! Ke pesantren? Serius lo, Sil?!" "Iya, dodol! Ngapain gue bohong!" "Huahaha... kerasukan malaikat mana lo sampe berhembus ke tempat para penghuni sorga itu?" "Kerasukan malaikat pencabutan nyawa, mau jemput lo! Dan lo tahu? Ini semua gara-gara lo!" "Anjir! Bilangin ke malaikat pencabut nyawa yang merasuki badan lo, gue belom mau ke sorga! Dan apa lo bilang? Gegara gue? Salah apa emang?" "Gendeng lo! Gak inget apa kalo Mami liat lo lagi peluk gue, mana pake bawa anggur segala lagi! Kan kacau jadinya!" "Napa? Mami lo takut lo bunting? Malah bagus kan? Tinggal kita kawin, beres dah." "Ngomong apa kentut tuh? Enak aja kawin ama lo." "Iyalah, kalo tercyduk lagi, bilang ke Mami lo biar gue kawinin sekalian!" Bugh! Silvia melempar bantal ke arah Ardi yang malah cengengesan. "Amboy-amboy! Heh sadar ya lo pade, you kira ini kamar siapa? Perang jangan di kamar eikeu!" Sonia mencak-mencak melihat dua manusia yang sering perang mulut itu. Lalu ia melenggang menuju pintu, well, mengusir keduanya adalah pilihan bijak. Sonia memekik kaget saat membuka pintu dua orang pria berseragam berdiri di depannya. "Onde mande! Siapa yey? Mau apa ke hotel eikeu?" "Kami mencari Nona Silvia." "Sisil!!! Ada yang nyari tuh!" Lengkingan suara Sonia jadi-jadian itu membuat kedua orang pria berseragam hitam itu meringis. Lalu muncul Silvia yang berjalan ogah-ogahan. Yah, dia sudah tahu. "Apa? Ngapain kalian? Disuruh Bapak gue ya?" "Maaf , Nona Muda. Anda harus ikut kami." "Halah, lebay kalian! Ini pasti ide buruknya Mami. Terlalu banyak nonton drama tuh! Jadinya begini nih, niru gaya lebaynya ala-ala drama korea." "Maaf, Nona. Kami tidak nonton drama, tapi kami hanya disuruh Nyonya besar untuk jemput Anda." "Yah, lemotnya pada kumat ternyata! Siapa yang bilang lo pada yang nonton? Gue bilang yang banyak nonton tuh, Mami! Bukan lo berdua!" Kedua orang itu saling pandang dan maju mendekati Silvia. "Lah ngapain lo berdua? Mau jemput paksa gue nih ceritanya? Gue bakal balik sekarang" Dua orang itu diam dan patuh pada apa yang dikatakan Silvia. *** Silvia naik mobil bersama kedua patung hidup itu. Kening gadis itu berkerut, lalu ia menatap kedua orang di jok depan. Kok ini bukan arah ke rumahnya ya? "Heh, ngomong lo berdua! Lo mau nyulik gue ya?!" Hening. Yah, emang patung pancoran nih! Diem aja bisanya! Silvia terus mengoceh sepanjang jalan, sampai mulutnya baru diam saat mobil yang ia tumpangi berhenti di depan sebuah gedung di kawasan pedesaan. Dari plang yang dipasang, Silvia dapat membaca dengan jelas. PONDOK PESANTREN ALHIKMAH. What? Demi apa coba? Gue langsung digiring paksa kayak gini? Pasti Mami! Yang demen bikin acara dadakan mengandung paksaan kayak gini pasti Mami! Dan ternyata dugaan Silvia tidak meleset. Memang benar, Mami dan Papinya nampak berdiri di halaman kantor pesantren itu bersama koper dan beberapa dus besar. Mereka sedang mengobrol dengan pria tua berpeci putih. Silvia turun dari mobil. Matanya menjelajahi komplek pesantren itu. Beberapa santri nampak mulai memperhatikannya. Napa tong? Liatin gue ampe ngeces gitu? Cantik ya? Gue tahu, kok! Kagak usah ileran juga kali! Silvia mengedipkan matanya dengan genit ke arah para santriwan itu. Dan entah kenapa para santriwan yang tadinya betah melihat ke arahnya malah pada menunduk dan bersegera meninggalkan tempat mereka melihat Silvia. Yah, malah lari. Tadi ngebet liatin gue! Baru dikasih kedip manja aja udah kabur. Silvia lalu berjalan ke arah tempat Mami dan Papinya mengobrol. "Nah, ini dia putri kami. Maaf pak Kiyai, kami titip putri kami di sini." "Oh ini ya? Selamat datang di pondok, Nak. Semoga kamu betah di sini." Silvia meringis. Betah? Mimpi kali! Masa dirinya mesti jubahan kayak santri yang ia lihat di depan sih? "Pak Kiyai, saya pasrahkan anak saya, silahkan pak Kiyai didik anak kami ini. Mau diapain juga boleh, yang penting otak gendengnya lempeng lagi." "Mami! Apaan sih? Aku gak gendeng, Mi." Silvia merajuk. "Diem kamu! Mulai sekarang, nurut sama Pak Kiyai! Papi sama Mami percayakan kamu sama beliau." Silvia memeluk Mami dan Papinya bergantian. Mukanya dibuat sememelas mungkin, kali aja Mami dan Papinya berubah pikiran. "Mi, Pi, Silvia gak mau mondok! Janji deh bakalan berhenti jadi model! Asal ijinkan Silvia pulang ya? Please!" Mami mengelus punggung Silvia dengan sayang. "Dengerin Mami, sekarang kamu nurut ya, sebenarnya Mami juga berat ninggalin kamu di sini. Tapi ini demi kebaikan kamu." Lalu butiran bening keluar dari pelupuk mata Maminya. "Tuh kan? Mami juga sedih? Ya udah sih, Mi! Daripada Mami jadi sedih, mending Silvia balik lagi deh, gak usah mondok ya?" "Hush! Enak aja! Mami bukan sedih. Tapi bahagia, akhirnya anak Mami mau jadi santri" Yah, kirain! Pak Kiyai yang ternyata bernama Haji Mahbub itu melengkungkan senyuman hangat pada Silvia. Seperti senyuman seorang kakek pada cucunya yang sedang melakukan prilaku nakal yang lucu. Lalu pria tua yang bersahaja itu menoleh ke sampingnya, ada wanita berjubah yang juga berdiri bersama mereka. Ah, Silvia melupakan satu orang lagi di sini. Ya, wanita berjubah itu. Kalo diperhatikan, wanita itu sedikit menyimpan rasa tidak suka padanya. Wajar sih, mungkin Silvia bukan spesiesnya. Jadi wajar kalo wanita itu menatapnya tak suka. Orang Silvia datang ke pesantren ini memakai kaos tanpa lengan yang ia padukan dengan jeans ketat, kok. "Hindun, tolong kamu antar Silvia ke asrama." "Baik, Pak Kiyai, mari mbak Silvia, saya antar." Hindun membantu Silvia membawa barang-barangnya. Dan kardus besar ternyata tak berhasil dibawa Hindun. Seseorang melintas ke depan mereka. Langkahnya tegap dan pandangannya hanya melihat ke jalan yang ia tapaki. Pak Kiyai lalu berseru memanggil orang itu. "Ziad, tolong bantu Silvia angkat barangnya!" Pria itu menoleh. Tatapannya bertemu dengan mata Silvia. Wow! Mimpi apa gue semalem? Ketemu Lee Min Ho berjenggot di sini? "Baik, Abah. Mari, saya bantu,” jawab pria yang bernama Ziad itu sambil melirik Silvia. Dari wajahnya Ziad nampak kurang suka dengan penampilan Silvia. Silvia melongo. Kalo ada yang beginian mah, gak usah dipaksa juga pasti mau tinggal di sini! Wahai Lee Min Ho, bersiaplah untuk aku kejar mulai sekarang. Yiihaa...!!! Silvia mesem-mesem gak jelas ke arah pria yang bernama Ziad itu. Kok dia gagah banget, ya? Ya ampun, liat deh! Itu baju koko kok ya pas banget di badan kekarnya! Aw, gila! Seksi abis! Itu lagi, dadanya, bidang banget! Nyaman tuh buat dipeluk! "Mbak, maaf. Udah sampe. Sebaiknya Mbak segera memakai seragam santri, udah disiapin di lemarinya." Silvia yang lagi melanglang sama lamunannya tersentak. Oh udah nyampe ya? Tanpa melihat Hindun, Silvia melihat ke arah Ziad yang malah menghindari kontak mata dengannya. "Makasih ya, eh.. siapa namanya?" "Hindun, Mbak." "Iya, gue tahu nama lo, nama abang ini..." "Ziad, Mbak." Hindun memutar bola matanya dengan malas. "Ah, iya. Makasih ya, Ziad. Eh kamu mau kemana? Gak mampir dulu ke kamarku gitu?" Silvia mengerling manja. Ziad beristighfar. "Astaghfirullah, gak Mbak. Saya tidak boleh masuk kamar wanita, permisi!" Ziad pergi meninggalkan Silvia yang melongo. "Yah, malah diistigfarin! Emang gue setan apa?" "Mbak manusia, hanya sedang di goda setan." Silvia mendelik ke arah Hindun. "Iya, ntar gue suruh pergi setannya biar Ziad mau masuk kamar gue." Hindun hanya geleng kepala. Kayaknya dia harus mulai ekstra sabar menghadapi teman sekamarnya kali ini.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD