#2

1194 Words
Calista melompat ke atas kasur begitu ia membuka pintu kamar. Aku mengekor di belakangnya. Saat melangkahkan kaki ketika masuk ke kamar, aku dibuat terpana dengan design ruangan itu. Design bergaya shabby chick dan motif flora berwarna merah maroon memenuhi dinding ruangan. Aroma citrus segar menyergap indra penciuman. Pertanda Kamar ini baru saja dibersihkan atau disiapkan, tentu saja untuk menyambutku. “Ini kamar kakak,” ucap Calista. Gadis itu masih melompat-lompat di atas kasur dengan kegirangan khas gayanya sebagai gadis kecil. Aku menyapu pandangan ke seluruh isi kamar. Menikmati setiap inchi interior yang disuguhkan di dalam kamar ini. Kamar yang akan aku tempati beberapa bulan ke depan selama bekerja menjadi guru private Calista. Aku menghela napas sambil tersenyum getir. Sejenak, aku mencomooh diriku sendiri. Kamar ini terasa sangat berlebihan. Terlalu mewah bagiku yang biasa tidur di kasur pegas yang hanya digelar di lantai tanpa ranjang. Aku melihat lemari yang ada di sana. Melihat meja riasnya. Melihat nakas dan ranjang dengan warna dan design senada. Aku merasa menjadi seorang Berbie yang fashionable dan kaya raya, walau hanya sementara. Orang kaya memang punya selera yang nyentrik. Bahkan untuk kamar yang ditempati oleh pekerja saja, mereka mendesignnya sedemikian rupa. Seharusnya aku akan merasa nyaman dan betah di sini. Tapi, ada aura gelap yang aku sendiri sulit menerjemahkannya. Dan itu sedikit menggangguku. Calista duduk di tepian ranjang menemaniku membongkar isi koper. Aku menjejerkan baju-bajuku di ranjang. “Gantungan bajunya ada di lemari.” Calista memberitahuku tanpa diminta. Aku membalas Calista dengan senyum. Tak dipungkiri, gadis kecil yang akan menjadi murid private-ku ini bukanlah gadis biasa. Dia terlewat pintar dan rendah hati untuk gadis seusia dan sekaya dirinya. Aku mendekat ke arah lemari. Masih dengan sikap udikku. Aku tak lansung membuka ganggang pintunya. Aku tertegun sejenak menatap design lemari itu. “Kalau aku Selfie di sini, hasilnya pasti instagramable banget.” ucapku pada diriku sendiri. Aku mengeluarkan ponsel dari saku. Dengan isyarat tangan, yaitu jari telunjukku menunjuk ponsel dan lemari, aku meminta izin pada Calista untuk berpoto. Aku tak sabar ingin menunjukan poto ini kepada teman satu kost-ku, Liza. Liza sangat menginginkan pekerjaan ini sebenarnya. Kami berebut mengisi lowongan. Meski rebutan Job, kami tetap sahabat sejati yang tidak pernah menaroh rasa busuk di hati. Beruntung, aku yang terpilih. Dia pasti kepanasan melihat potoku dengan design kamar ala seorang putri. Calista tak menjawab. Dia menelengkan kepala. Senyumnya kali ini sirna. Bahkan, dia menunjukan wajah yang tidak suka. “Aji mumpung, yah?” Calista berucap ketus. Bahkan terlalu ketus untuk ucapan seorang anak kecil. Aku menjadi kikuk sendiri. Di dalam hati, aku tersinggung dengan ucapan Calista itu. Tapi aku sadar diri, bisa jadi aku salah karena telah lancang. “Oh, bukan itu maksudku. Maaf jika aku lancang. Aku terlalu excited dengan design kamar ini.” Dengan mudah aku merasa terintimidasi oleh mimik wajah calista yang tak biasa. Aku seperti tak berkutik. Seolah-olah, aku sedang berhadapan dengan Bos besar yang mempunyai aura intimidasi yang kuat. Aku kembali memasukan ponsel ke saku. Menghindari tatapan Calista yang tidak mengenakkan hati. Dengan hati-hati, aku membuka daun pintu lemari. Ketika lemari terbuka, aku disambut tatapan tajam dari sesosok yang sedang berdiri di dalam lemari. Sosok wanita tua dengan gaun hitam berenda putih. Tatapannya kosong mengarah kepadaku. Mukanya tak memiliki ekspresi apa-apa. tapi cukup menyadarkanku bahwa dalam waktu tak sampai sejam, aku melihat hantu lagi di rumah ini. Lagi dan lagi jantungku mendapat serangan kejut yang mendadak. Karena tak kuat menahan takut. Tubuhku terjatuh dan terpental ke belakang. Aku beringsut mundur mencari pintu keluar. Saat cengkraman rasa takut menguasaiku, aku melihat Calista berjalan ke arah lemari dengan santai. Dia mengangkat sosok yang ada di dalam lemari sambil tertawa cekikikan. Dan kali ini, tawa Calista adalah untuk menertawaiku yang sudah bersikap seperti orang bodoh. “Ini patung manequen nenekku,” ucap Calista. Dia menggendong patung itu. Patung itu sepertinya sangat ringan. Meski sudah tahu kalau itu hanya manequen, aku tetap kepayahan mengatur napas. Tatapan patung itu membuat jantungku nyaris copot. “Bantu aku pindahin ke ruang sebelah, yuk,” Ajak Calista Aku bangkit dari lantai. Tubuhku masih gemetaran saking terkejut. Patung itu nyaris meluluh-lantakkan kewarasanku. Dasar orang kaya, ada-ada saja barang aneh yang mereka simpan di rumah mereka. “Iya, sebaiknya begitu. Aku takut sama patung nenekmu,” ucapku bercanda dan sepertinya tedengar garing. Calista menatapku dengan kilatan aneh di bola matanya. Dan itu membuatku semakin kikuk dan gugup. Meski aku tahu itu hanya patung, Tetap saja aku bergidik ngeri saat memindahkannya. Aku merasa tak nyaman menatap bentuk patung itu. Bukan gaun atau riasan pada rambutnya, tapi ekspresi wajah patung itu yang dingin dan … mengintimidasi, persis seperti wajah Calista menatapku tadi. Kami tiba di ruangan persis di sebelah kamar. Ruangan itu diterangi cahaya matahari yang tak sengaja menyelip dari balik tirai jendela. Aku tidak tahu di mana sakelar lampu. Sepertinya Calista juga tidak tahu. Meski temaram, seisi kamar ini dapat kulihat dengan jelas. Ruangan ini terdapat 6 mesin jahit dengan patung-patung yang berdiri berjejer rapi pada dinding sebelah kiri. Pada dinding di sisi yang lain, terdapat gulungan kain bahan dasar pakaian. Ada juga yang disampir di dinding hingga menjuntai di lantai. “Jadi ini ruangan menjahit?” tanyaku tapi lebih seperti menguatkan pendapat. Aku menaruh patung nenek Calista secara asal. “Iya, pelayan-pelayan nenek yang menjahit di sini,” terang Calista, kali ini wajahnya kembali melunak. Terlihat ramah seperti biasa. Calista menarik kain putih berdebu yang menutup sebuah patung gadis kecil yang sangat mirip dengannya. Patung itu mengenakan gaun putih bermanik mutiara dengan renda berwarna pink lembut. Rambutnya dikuncir pony tail dengan tiara di atas kepala. “Ini patungku waktu usia 7 tahun. Dan ini gaun yang aku kenakan saat berulang tahun,” terang Calista dengan bangga. Aku menyapu ruangan itu lagi. Menatap satu per satu patung yang ada di situ. Pertama patung yang berada di sebelah patung Calista. Patung seorang pria 60 tahunan, patung itu mengenakan jas biru tua. Di sebelahnya,… Oh! Aku harus menata patung nenek Calista di sini, persis di sebelah suaminya. Aku memindahkan patung itu, yang semula aku tempatkan di sebelah mesin jahit. Kemudian, aku beralih ke sebelahnya lagi. Patung pria berusia 40 tahunan. Aku dapat menebak, dia adalah Adrian Baskoro, wajah tampan dengan tubuh yang tegap, dibalut jas abu-abu dengan corak garis vertical yang samar. Benar-benar pakaian mahal. Aku berpindah ke patung di sebelahnya lagi. Itu pasti Ibu calista, nyonya Adrian Baskoro. Wanita cantik dengan tubuh tinggi semampai. Tubuh lansingnya dibalut gaun bercorak warna-warni. Seperti gaun khusus liburan di pantai. “Ayuk kak. Kita makan, Calista lapar.” Calista menyadarkanku yang terlalu lena melihat patung-patung mannequin itu. Sehingga tak sempat memerhatikan satu lagi patung yang berada di sebelah patung nyonya Baskoro. Sekilas, patung itu tampak berbeda. Terlihat lusuh dibandingkan patung yang lain. Gaun putih yang dikenakannya terlihat kumal, terlebih pada renda-renda di bagian mata kaki. Calista menarik tanganku untuk segera keluar dari ruangan menjahit itu. Aku mengikuti langkah Calista dengan tatapan yang masih mencuri-curi pandang ke wajah si patung perempuan bergaun kumal. Saat menutup pintu ruangan, aku menyempatkan untuk melihatnya sekali lagi. Dan aku, tidak salah lihat, kepala patung itu bergerak dan menoleh ke arahku dengan tatapan tajam. Jantungku terkejut serasa ingin melompat keluar. Dengan reflek, aku menutup pintu dengan bantingan yang kasar.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD