#3

1550 Words
“Dek Yuya, kenapa pintunya dibanting? Berhati-hatilah dengan semua barang yang ada di rumah ini.” Setelah membanting pintu, aku disambut oleh ocehan Ibu Linda yang berada di depan ruangan menjahit. Dia mengomel atas sikapku yang menurutnya kasar. Padahal, aku tidak sengaja. Aku terlalu terkejut melihat patung perempuan yang tiba-tiba bergerak itu. Ibu Linda menatapku kesal. Entah mana yang lebih menakutkan. Wajah Ibu Linda yang menatapku penuh amarah atau hantu-hantu itu. “Maaf, aku tidak sengaja.” Aku menunduk menghindari tatapan Ibu Linda yang geram. Kedua lengannya bersilang di d**a. Menunjukan tanda tidak suka secara terang-terangan kepadaku. Aku merasa salah tingkah dengan sikapku sendiri. Di hari pertama bekerja, aku sudah menunjukkan sikap yang ceroboh. Kecerobohan yang bukan keinginanku. “Ya sudah, tidak apa-apa,” jawabnya dingin. Wanita paruh baya itu menyerahkan sebuah buku jurnal kepadaku. Aku membukanya. Sekilas terbaca olehku isi buku itu. Sebuah buku yang berisikan semua kegiatan harian Calista dan materi pelajaran yang harus diberikan. “Aku akan pelajari dan menyiapkan materi sesuai programnya,” jawabku dengan suara pelan dan takut-takut. Ibu Linda mengangguk masih dengan wajah yang datar, kemudian dia berlalu meninggalkanku yang sedang berdiri bersama Calista di depan ruang menjahit. Aku menatap kepergian wanita berambut klimis itu dengan wajah lesu. Hari pertama yang berat, desisku. ** Di meja makan, aku duduk berhadap-hadapan dengan Calista. Di meja, terhidang menu makan siang yang super lezat. Tapi sayang. Selera makanku sedang buyar. Aku menatap ke luar jendela. Menatap taman bagian belakang rumah yang menurutku, sangat tidak terawat. Aneh saja jika orang sekaya ini mengabaikan eksterior yang penting di rumah ini. Aku menatap Calista yang memainkan sepotong wortel dengan garpu di piringnya. Gadis kecil itu makan dengan tenang. Cara dia memainkan sendok dan garpu terlihat elegan. Calista pasti terlatih bagaimana bersikap di depan meja. Gadis itu menguasai table manner dengan baik Aku menatap taman itu lagi. Taman yang sunyi. Tanaman rambat dan ranting tumbuhan pagar sudah menjalar dan minta dipotong atau dirapikan. Ranting dahannya telah tumbuh membentuk belukar. Beberapa tanaman mati mengering dan dibiarkan begitu saja. Yang paling memprihatinkan adalah kondisi kolam renang di taman itu. Kolam itu dipenuhi dedaunan dan airnya kotor. Lantai keramik di sekeliling kolam sudah berlumut dan bagian dasar kolam telah berlunau. Aku penasaran sendiri dengan apa yang telah terjadi pada rumah ini. Dari sini aku baru sadar, ada hal yang tak beres di rumah ini. Rumah yang begitu besar namun tidak terawat sebagaimana mestinya. Apa karena keluarga ini masih berduka? Sepertinya kekacauan itu terjadi sudah sejak lama. “Hmmm … Calista. Ada berapa orang pelayan di rumah ini?” tanyaku hati-hati kepada Calista, walau sebenarnya bukan itu sebenarnya yang ingin aku tanyakan. “Cuma Ibu Linda dan Mba Citra.” “Ooo, aku pikir ada banyak,” “Dulu banyak, sekarang udah ngga lagi, semua sudah pergi,” jawab Calista enteng. “kenapa?” tanyaku penasaran. Calista hanya mengedik bahu tanda tak tahu. “Apakah teman-temanmu sering mampir bermain ke rumah ini?” tanyaku lagi menyelidiki hal yang lain. Calista menggeleng. “Aku tidak punya teman.” Banyak pertanyaan penuh selidik ingin aku lontarkan pada gadis itu. Namun kedatangan Mba Citra membuatku memilih untuk menghentikan obrolan. Mba Citra merapikan meja makan dan mengemas piring kotor bekas makan siangku dan Calista. Aku bangkit dari tempat duduk untuk membantu Mba Citra berberes, tapi Calista menjegatku. “Itu tugas Mba Citra. Bukan tugas kakak.” Calista berucap tegas. Dan nada suaranya yang dingin berhasil membuatku beku tak bergerak. Aku mati kutu dan kembali merasa terintimidasi. ** Setelah makan siang, aku kembali ke kamar. Calista tidak bersamaku, dia pergi dengan Mba Citra. Aku tidak tahu mereka ke mana. Di kamar, aku kembali membereskan pakaian yang tadi terbengkalai. Memasukan baju ke dalam lemari kemudian menyiapkan materi pelajaran untuk Calista. Aku membaca jurnal yang diberikan oleh Ibu Linda. Keluarga ini sudah memiliki kurikulum sendiri. Aku hanya mencarikan materi dan mengajarkannya kepada Calista sesuai program yang tertera. Sepanjang siang, aku berkutat di kamar dengan notebook dan materi ajar. Tak terasa waktu berlalu. Semburat jingga menyelip ke dalam kamar dari balik daun jendela. Cahaya menguning itu menyadarkanku bahwa hari telah senja. Aku tergoda untuk melihat keluar sebentar. Melihat taman bagian samping yang penampakannya tidak jauh berbeda dengan taman bagian belakang. Bersemak dan tidak terawat. Lengang, sunyi dan dingin. Itu yang aku rasakan tentang kesan rumah ini. Rumah sebesar ini hanya dihuni Ibu Linda, Mba Citra dan Calista. Kemudian bertambah dengan kehadiranku. Apakah semenjak kematian Adrian Baskoro dan istri, keluarga besar yang lain atau rekanan bisnis tak tertarik lagi untuk berkunjung? Entahlah, aku tidak mengerti bagaimana cara orang kaya bergaul. Selain kesan sunyi, jujur, aku bergidik ngeri di rumah ini. Ada hawa gelap yang memerindingkan bulu roma. Bukan perasaanku saja. Aku jelas-jelas melihatnya. Terlihat nyata. Dan aku tidak sangsi dengan penglihatanku sendiri. Hanya saja, sikap orang di rumah ini terlalu biasa. Seolah semua hal di rumah ini normal-normal saja. Rumah ini diluar ekspektasiku saat memutuskan menerima pekerjaan ini. Aku pikir, aku akan berada di rumah mewah seorang bangsawan yang ramai dan memiliki banyak pelayan. Kemudian, dapat menyicip sedikit kemewahan meski hanya sementara selama aku bekerja. Kenyataan berkata lain. Aku berani bertaruh dengan diriku sendiri bahwa aku tidak akan sanggup bertahan lama di rumah ini. Aku mengeluarkan ponsel dari saku. Mengecek pesan di smartphone. Ada satu pesan dari Liza, sahabatku. “Gimana rumahnya? Beneran kayak istana, yah?” Bunyi pesan dari Liza. Aku tidak membalas. Aku tidak tahu membalas pesan Liza dengan apa. Menceritakan hantu di sini akan terdengar bodoh. Aku mengabaikan pesan Liza sejenak. Sambil memikirkan rangkaian kata yang tepat agar Liza tidak menaruh khawatir terhadapku. “Iya. Rumahnya mewah. Penghuninya baik. Doain aku bisa lancar di pekerjaan ini, yah. Kapan-kapan aku akan ajak kamu ke sini.” Aku serius dengan doaku. Semoga bisa betah dan lancar mengajar di rumah ini. Bisa jadi, aku hanya butuh waktu lebih banyak lagi untuk beradaptasi. ** Senja semakin memekat. Taman-taman hijau telah berubah warna menjadi abu-abu, gelap. Aku memutuskan mandi sebelum turun ke lantai satu. Bergabung bersama mereka untuk makan malam. Tubuhku yang kelu menjadi relaks setelah diguyur air hangat dari shower. Mandi yang mewah, menurutku. Aku sangat menikmatinya. Biasanya tubuhku cuma diguyur air dingin pakai gayung dari bak mandi berlumut di kostanku. Saat sedang mandi, tiba-tiba listrik mati. Aku tergeregap di dalam kamar mandi yang gelap. Cepat-cepat aku menyelesaikan acara mandiku. Aku mencari ponsel untuk sumber penerangan. Dengan cahaya ponsel, aku mencari pakaian di dalam lemari dan mengenakannya dengan cepat tanpa sempat mengeringkan rambut. Aku bergegas keluar kamar. Perasaanku mulai tidak enak sendirian di kamar dalam keadaan gelap seperti ini. Saat aku menyentuh gagang pintu. Beruntung, listrik kembali menyala dan kamarku kembali bermandikan cahaya. Aku merasa lega seketika. Namun, saat membuka pintu kamar. Sesuatu menyambutku. Aku terperanjat dan terpekik kaget. Patung nenek Calista yang aku pindahkan tadi, kini kembali berada tepat di depan pintu kamarku. Mataku membelalak saking terkejut karena takut. Jangan-jangan patung ini bisa berjalan sendiri, pikirku dalam pikiran yang kalut. Pandangan mataku berserobok dengan tatapan dingin patung itu. Aku terpaku, berusaha mengendalikan diri agar tidak terlalu shock. “Maaf Mba Yuya, aku taruh patung itu di sana sebentar.” Tiba-tiba, Mba Citra datang. Dia baru saja keluar dari ruang menjahit sambil menenteng sesuatu di dalam kantong kresek. Kemudian dia berlalu pamit dariku sambil mengangkat patung itu. Aku tersenyum getir. Ternyata Mba Citra yang menaruh patung itu di situ. Aku menyandar ke dinding. Tubuhku melemah saking terkejut tadi. “Mau aku bantu mba?” Aku menawarkan bantuan. Mba Citra terlihat kepayahan menenteng barang sambil menggendong patung itu. “Tidak usah. Semua sudah dipindahkan. Ini yang terakhir.” Wanita 30 tahunan itu menghilang ke balik tembok. Dia berbelok ke kiri ke arah anak tangga. Aku bergegas menyusulnya. Saat melewati cermin, aku mempercepat langkah dan menjaga pandanganku agar tetap lurus ke depan. Aku tidak berani melihat ke dalam cermin itu. Takut jika harus melihat bayangan menyeramkan itu lagi. ** Di lantai satu, aku tidak menemukan siapa-siapa. Tidak ada Ibu Linda juga tidak menemukan Calista. Aku berencana mencari Calista saja. Siapa tahu dia sedang berada di kamar. Kamar Calista kebetulan berada di lantai satu. Di ujung lorong pada bagian barat rumah. Mengobrol dengan Calista pasti dapat mengusir rasa sepiku. Setiba di ujung lorong, aku melihat daun pintu kamarnya sedikit terbuka. Aku mencoba mendekat dan hendak mengetuk pintu itu. Namun, saat berada di dekat pintu. Aku terkejut melihat apa yang terjadi di dalam kamar. Aku melihat Calista sedang duduk di tepian ranjang. Dia duduk sambil membaca sebuah buku dan seperti mengobrol dengan seseorang. Dan aku melihat, sebuah tangan pucat membelai rambut Calista. Tangan pucat yang menghitam dipenuhi bercak darah. Tangan tanpa tubuh itu melayang begitu saja sambil membelai-belai rambut Calista. Melihat hal mengerikan itu, aku berteriak sekencang-kencangnya memanggil nama Calista. “Calista!” teriakku kencang. Calista terperanjat oleh suaraku. Aku menerobos masuk ke dalam kamar dengan wajah yang ketakutan dan khawatir dengan keadaan Calista. Namun, aku disambut oleh wajah Calista yang berang. Dia berdiri di samping ranjang. Menutup bukunya dengan kasar. Kilat matanya tampak begitu kesal menatapku. “Sebaiknya kak Yuya belajar cara mengetuk pintu sebelum masuk ke kamar orang.” Apa? Gadis kecil itu berkata ketus lagi kepadaku? Aku menatap Calista dengan rasa yang tidak percaya. Apa dia tidak menyadari bahwa tadi ada sesuatu yang mengerikan sedang membelai-belai rambutnya. Melihat Calista yang berdiri kesal, aku tak dapat berkata apa-apa. Aku diserang bingung bercampur dengan ketakutanku yang semakin menggila.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD