9. Telanjur Jauh

1468 Words
Meski telah kuputus sambungan video call tadi, Mas Wisnu tak menyerah sampai di situ saja. Puluhan panggilan berikutnya terus berdatangan tanpa lelah, walaupun tak kunjung kuangkat. Tangisan ini kian menganak sungai bagaikan hujan lebat di penghujung bulan September. Sesak bagaikan d**a ini ditimpa oleh beban berpuluh kilogram. Betapa sulit untuk terdefinisikan. Satu sisi aku begitu mencintai Mas Wisnu, tetapi di sisi lain sebisa mungkin kami harus saling menjauh agar tak terjadi kembali konflik antara aku dan dua betina iblis tersebut. Sudah... sudah cukup luka dalam yang mereka cipta. Tak kuat batin ini jika didera siksa tanpa kepastian akhir bahagia. Beberapa pesan dari nomor baru milik Mas Wisnu pun menyerbu kotak masuk w******p. Tak lagi kuhirau. Namun, meski mencoba untuk tak acuh, tetap saja hati ini mendesak agar menerima cinta dari lelaki baik hati itu. Tuhan, apa yang harus kulakukan? Keputusan tepat seperti apa yang harus diambil ketika dalam situasi pelik macam begini? Sekilas kuintin salah satu pesan Mas Wisnu yang dpat terbaca dari jendela notifikasi. Kata-kat itu begitu menyentuh relung hati, membuat pertahanan ambruk seketika. [Izinkan Mas untuk membahagiakanmu, Dek. Kita terlanjur jauh melangkah.] Tertegun diri ini sejenak. Jiwa yang semula dingin membeku akibat perilaku kejam berpuluh tahun lamanya, seketika leleh tersetuh selaksa tutur yang terlontar dari lelaki tampan itu. Hangat peluknya pun melekat di ingatan, begitu erat seakan tak mau lepas barang sedetik pun. Entah bagaimana, tiba-tiba seolah sedang bermain irama nada cinta yang begitu romantis sekaligus menyayat hati terdengar di kedua kuping ini. Aku menyerah. Mas Wisnu sempurna membuat benteng ini luluh bertekuk lutut minta ampun. Panggilan video masuk lagi untuk kesekian puluh kalinya. Kuhapus jejak air mata di pipi. Perlahan, kuatur napas yang semula terengah akibat guguan pilu. “Halo?” Sekuat tenaga aku menyiapkan diri untuk mengucap kata-kata yang begitu berat untuk diungkap. “Dek....” Air mata Mas Wisnu berlinang. Jelas, dia bukan lelaki cengeng. Dia bukan banci yang takut istri lalu mudah membuang air mata sia-sia. Mas Wisnu hanya sedang mengungkapkan begitu dia serius akan apa yang telah diucapnya. “I-iya, Mas. Aku... A-ku mau mendampingimu.” Bibir ini bergetar. Ucapan barusan adalah hal paling jujur yang keluar dari dalamnya palung hati. Sungguh-sungguh aku tak ingkar jika diri ini begitu menginginkan sosok penyayangnya. “Kita akan menikah, Dek. Mas akan usahakan semuanya. Kamu sabar dulu, ya? Berikan alamatmu saat ini. Mas akan segera ke sana saat situasi mulai aman.” Mas Wisnu menyeka krisrtal yang jatuh dari pelupuknya. Lelaki itu kini kembali tegar dengan suara yang mulai normal. Aku hanya dapat mengangguk kecil sembari tersenyum. Andaikan dia ada di sini, sudah barang tentu tubuhnya telah kulekap tanpa mau melepasnya. Hanya dengan membayangkan saja, jiwa ini terasa begitu tenang dan damai. Mas Wisnu, apakah memang kau adalah jodoh yang telah Tuhan siapkan untukku? *** Kujalani hari-hari baru dengan penuh semangat yang sebelumnya tak pernah kurasakan. Nyala gairah hidup bagaikan obor abadi yang tak kunjung padam, meski embusan angin bertiup dengan kencangnya. Semangat untuk maju begitu kental dalam tiap kali diri bernapas. Dalam hati, telah kutekatkan untuk bahagia tanpa ada satu pun yang mampu menghalangi. Tak terduga, semenjak pindah mengekost, usaha yang kurintis malah semakin lancar dan laris manis. Omset penjualan semakin meningkat dan aku memberanikan diri untuk menyetok barang dari supplier dalam jumlah lebih banyak. Kamar kost sampai bertambah fungsi, selain menjadi tempat beristirahat, juga turut kusulap sebagai ‘gudang’ stok gamis dan sepatu. Ratusan pieces gamis dan kerudung ludes hanya dalam waktu tiga hari. Pesanan sepatu yang semula hanya dua sampai lima buah per minggu, kini menjadi sepuluh pasang hanya dalam sehari. Luar biasa! Apa jangan-jangan, kesialan hidup yang selama ini sering merundung adalah buah dari kebersamaan dengan Ibu dan Mbak Mel? Entahlah, tapi yang pasti, saat kami berjauhan hidupku malah lebih bahagia dan sukses dari pada sebelumnya. Mas Wisnu menepati janjinya tempo lalu. Lelaki itu datang menemuiku di depan gang kost. Dia datang dengan sebuah mobil baru yang mengkilap. Tanyanya, apakah aku suka dengan mobil yang dia pilihkan untukku ini? Aku hanya tertawa. “Jangan bercanda, Mas!” Ucapku sembari mencubit lengannya. “Serius. Aku beli mobil ini supaya mudah jalan-jalan denganmu. Saat kita menikah kelak, ini juga milikmu.” Mas Wisnu tersenyum manis sembari menyetir sedan hitam dengan interior canggih nan classy tersebut. Wajar saja jika dia mampu membeli barang ini. Bukankah dia seorang kepala divisi? “Sudah, Mas. Jangan terlalu banyak berkhayal. Memangnya mungkin kita menikah?” Aku mencebik. Jelas saja itu hanya mimpi di siang bolong. Nyatanya, Mas Wisnu masih betah saja tinggal bersama Mbak Mel setelah kutinggal mengekost selama dua minggu. “Dek Ayu, jangan menantangku. Cepat atau lambat kita akan menemukan kebahagiaan.” Senyum Mas Wisnu kian manis terukir membuat jantung ini kian semakin cepat berdetak. Brewoknya yang dibiarkan mulai lebat, membuat sisi maskulin lelaki ini kian bertambah. Nilai seratus cukup untuk kuberikan atas penampilannya hari ini. “Sekarang kita mau kemana?” tanyaku tak sabar. “Ke suatu tempat. Sabar, ya?” Tangan kiri Mas Wisnu menggenggam jari jemariku. Kugenggam kembali tangannya yang begitu terasa halus. Hari Minggu kali ini begitu sangat indah terasa. Jalanan yang padat, motor-motor yang berjalan dengan ugal-ugalan, serta macetnya lampu merah sama sekali tak membuatku merasa kesal. Hanya bahagia dan bunga-bunga cinta yang mekar memenuhi d**a. Oh, beginikah jatuh cinta? Semua serba terasa indah tanpa sebuah cela. Mobil yang Mas Wisnu pandu masuk ke sebuah kompleks perumahan yang seringkali kulewati jika akan pergi ke sebuah pusat perbelanjaan terbesar di kota kami. Dulu sekali, aku pernah bermimpi jika suatu saat nanti dapat membeli salah satu rumah di dalam sini. Karena berada di pusat kota, harga yang ditawarkan developer untuk sebuah rumah tipe 45 bisa dibanderol dengan harga setengah milyar. Sangat fantastis untuk seorang rakjel sepertiku. Setelah melewati portal yang dijaga oleh seorang satpam, mobil kembali dipacu pelan dan tak lama berhenti tepat di depan rumah bercat kombinasi merah, abu, dan putih. Gaya arsitekturnya minimalis dengan dua tiang penyangga di depan. Rumah berpagar besi dengan nomor A10 tersebut terlihat asri dengan ragam tanaman hijau yang tersusun cantik di pot-pot besar. Mas Wisnu memarkir mobilnya di bahu jalan dan mengajakku untuk turun. Benak ini mulai penuh dengan tanya. Ada apa gerangan dirinya mengajak ke sini? Siapa yang akan kami temui? Tak kusangka, Mas Wisnu mengeluarkan sebuah kunci dari dalam saku celan pendeknya. Lelaki itu dengan santai membuka kunci gembok pagar lalu mempersilakanku untuk melangkah masuk duluan. “Ini rumah siapa?” tanyaku sangat penasaran. Mas Wisnu hanya tersenyum saja, tak mau menjawab sama sekali. Kucubit lengannya dengan gemas. Kenapa diam terus, sih? Kan aku jadi makin penasaran! Lagi-lagi, pria itu membuka pintu rumah dengan cat warna hitam tersebut. Terlihat olehku rumah dalam keadaan lengang tanpa penghuni. Namun, segala perabotan di dalamnya begitu lengkap dan didominasi oleh warna merah darah dan hitam. “Hadiah buatmu. Lihat, di ruang tengah ada etalase dan lemari kaca untuk jualanmu!” Mas Wisnu menarik tanganku dan memperlihatkan ruang keluarga yang luas. Hanya ada sebuah etalase dan lemari kaca, serta sebuah televisi layar datar ukuran 32 inch terpasang menempel di dinding. “Mas....” Tenggorokanku rasanya tercekat. Apa-apaan maksudnya semua ini? “Minggu lalu ada kenalan yang jual rumah karena butuh uang dan jual cepat. Mau pindah karena dapat kerjaan di Kalimantan. Cuma minta dibalikin seratus juta, terus melanjutkan kredit selanjutnya yang sisa tujuh tahun. Ya sudah, aku ambil. Kapan lagi dapat rumah semurah dengan isi selengkap ini? Kebetulan aku punya simpanan uang yang Melani nggak tahu sama sekali.” Mas Wisnu tersenyum penuh kebahagiaan. Tangannya melingkar pada lenganku, membuat diri ini seketika terharu luar biasa. “Jadi, kamu mau pindah kapan? Sertifikatnya mau sekalian dibalik nama atas nama kamu?” Kata-kata Mas Wisnu terdengar begitu istimewa. Tak pernah aku mendapatkan hadiah sespesial ini seumur hidup. “Mas, jangan bercanda!” Kupukul dadanya pelan, lelaki itu malah memeluk tubuhku dan mengecup puncak kepala. “Sudah, jangan nangis. Mas sayang sama kamu, Dek. Maafin Mas kalau belum bisa seratus persen bahagiain kamu.” Mas Wisnu menghapus air mata haruku. Lelaki itu benar-benar begitu lembut dan mencintaiku dengan seribu kejutan yang selalu mampu membuat diri ini tertegun. “Mas, aku tidak pernah minta yang aneh-aneh padamu. Aku... C-cuma ingin hidup bersamamu.” Aku tergugu lagi. Sungguh mati, hanya kebersamaan dan hidup bahagia berdua lah yang begitu ingin kurengkuh untuk saat ini. Masalah harta dan benda, semua dapat dicari. “Sabar, Dek. Mas juga sedang mengusahakannya. Kita pelan-pelan saja. Jangan gegabah seperti tempo lalu. Hasilnya hanya membuat kacau balau.” Mas Wisnu mengusap-usap kepalaku. “Kalau begitu, nikahi aku secara siri, Mas. Aku mohon.” Tak terduga, kata-kata itu malah keluar dari bibirku. Aku juga bingung mengapa terbesit ide nekat itu di kepala. Mas Wisnu hanya terdiam. Ekspresinya berubah menjadi tegang dan bingung. Kutatap dalam ke bola matanya yang serupa kacang hazel, mencari sebuah keseriusan di sana. Mas, akankah kau mengiyakan pintaku seperti aku pernah menuruti apa maumu pada tempo hari?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD