Kuhilangkan semua duka, kecewa, dan rasa malu yang telah mencoreng wajah. Sejenak aku beristirahat di sebuah cafe sambil menikmati segelas teh tarik dingin dan sepotong sandwich daging. Satu per satu siasat telah tersusun rapi di dalam pikiran. Mulai dari mencari tempat tinggal murah, kembali menjalankan bisnis, dan mencari tahu asal usulku melalui keluarga Bapak—itu pun jika mereka mau mengungkapkannya. Tahu betul bagaimana sikap keluarga besar Bapak pada diriku. Mereka kebanyakan dingin dan cuek. Tak pernah mau peduli terlebih lagi kala Bapak telah tiada. Jangankan mau bercengkrama, mampir ke rumah pun tak lagi sudi.
Kutimang-timang sertifikat tanah yang telah balik nama menjadi kepunyaanku tersebut. Ini adalah penguat langkah. Persetan dengan ancaman Mbak Mel. Jika tak bisa menjual, tentu saja benda ini bisa digunakan sebagai agunan pinjaman. Kelak, uang pinjaman tersebut dapat dimanfaatkan sebagai tambahan modal usaha. Lihatlah nanti wahai Ibu dan Mbak Mel. Sesungguhnya hak untuk sukses itu bukan Cuma milik kalian! Aku yang selalu disudutkan dengan embel-embel pengangguran ini juga bisa berdikari dan melesat jauh ke atas.
Setelah mencari tahu keberadaan rumah kost dengan biaya sewa murah lewat jaringan internet, kuputuskan untuk segera menuju lokasi yang diiklankan. Hampir tiga puluh menit kaki ini berjalan menyusuri kota tanpa mengenal letih. Jika naik kendaraan umum atau ojek online, itu artinya uang yang tersisa akan berkurang. Lebih baik disimpan saja untuk makan dan tambahan menyewa kamar.
Tibalah aku di sebuah rumah kost-kostan yang lokasinya berada di pemukiman padat penduduk. Rumah tersebut berlantai dua dengan cat hijau murahan yang mulai mengelupas. Aroma bacin dar saluran air yang mampet menguar saat aku hendak membuka pagarnya.
Memang, dari segi kebersihan lingkungan luar, tampak begitu tak menjanjikan. Namun, saat masuk ke dalam dengan dipandu oleh pemilik rumah bernama Bu Jaya, suasana kostan putri ini begitu bersih dan nyaman. Kamar-kamar berjejer dari lantai satu hingga lantai dua. Setiap kamar disediakan tempat sampah plastik di depannya. Ada dapur, ruang makan, ruang tamu, dan mesin cuci yang dapat digunakan dengan menambah ongkos. Sedang kamar mandi, jumlahnya ada lima di lantai satu dan tiga di lantai dua. Semua kondisinya terawat serta bersih. Bu Jaya bilang, selain ada petugas yang membersihkan rumah, semua penghuni juga wajib piket harian. Jika ada yang ketahuan jorok dan absen piket, maka dikenakan denda bahkan siap diusir dari kost. Salut juga aku mendengarkannya.
“Di sini tidak boleh bawa masuk laki-laki ya, Mbak. Tidak boleh ada yang menginap juga kecuali keluarga dan sudah izin sama saya sebelumnya. Ada kulkas di lantai satu, dekat kamar saya. Silakan pakai, tapi ingat jangan jorok! Jangan naruh sayur atau makanan sampai lewat satu hari di kulkas. Kalau tidak, bakal saya buang!” Bu Jaya yang bertubuh besar dengan wajah jutek itu memberikan peringatan keras. Aku hanya mengangguk dan menyutujui segala wejangannya.
“Ini kamar yang kosong. Baru aja kemarin habis kontrak. Kamu beruntung bisa dapat. Biasanya sebelum habis, sudah ada yang ngantri duluan. Tolong dijaga kasur, lemari, dan meja belajarnya. Jangan sampai rusak atau kotor. Kalau rusak, harus ganti rugi.” Bu Jaya kembali memberi warning.
“Oke, terima kasih banyak, Bu.” Aku tersenyum sembari meletakkan tas sambil melihat-lihat keadaan sekitar. Kamarnya lumayan luas, ada fasilitasnya pula. Catnya yang putih bersih membuat suasana kamar jadi semakin lapang. Aku pasti betah di sini.
Setelah berkemas dan mandi, aku merebahkan tubuhku di kasur. Rasanya begitu tenang. Tak ada suara ribut-ribut maupun teriakan yang biasa kudengar di rumah. Coba dari dulu aku seperti ini. Pasti kejiwaanku lebih sehat ketimbang sekarang.
Kurogoh tas untuk mencari keberadaan ponsel. Dari tadi malam aku tak membalas pesan para customer maupun supplier. Pasti banyak yang marah akibat respon yang lambat. Saat mengecek isi pesan, mataku tertuju pada sebuah teks yang dikiri dari nomor tak dikenal. Penasaran, langsung saja k****a isinya.
[Dek, ini Mas Wisnu. Kamu di mana? Mas pakai nomor dan hape baru agar Melani tidak bisa mengkloning w******p Mas.]
Jantung ini tiba-tiba berdegup semakin keras saat mengetahui lelaki itu kembali mencari keberadaanku. Teramat ingin aku memblokir nomornya. Namun, hati kecil ini tetap menginginkan untuk dekat kembali dengan dirinya. Mas Wisnu, harusnya kamu berhenti untuk menghubungiku, tapi mengapa malah seperti ini?
Ragu-ragu aku membalas pesannya. Berkali-kali aku mengetik, lalu menghapusnya kembali. Tiba-tiba aku berpikir, bagaimana jika yang mengirimiku pesan adalah Mbak Mel yang mengaku-ngaku? Bisa saja dia ingin mencari lokasiku untuk mengirimkan seseorang pembunuh bayaran atau sejenisnya?
Kutekan tombol panggilan video di layar. Jangan sampai aku kena perangkap licik seorang Melani. Bisa hancur semua rencana yang telah tersusun rapi.
Beberapa detik kemudian, gambar seorang lelaki muncul di hadapanku. Dia sedang menatap layar dengan wajah yang khawatir.
“Kamu di mana, Dek?” Mas Wisnu bertanya dengan nada cemas.
“Mas di mana sekarang?” Tanpa menjawa pertanyaannya, aku malah balik bertanya.
“Aku di kantor. Pulang dari kantor polisi, aku pulang ke rumah sebentar lalu pergi ke kantor. Maaf Dek, aku tadi nggak bisa berbuat apa pun. Semua demi kebaikan kita.” Wajah Mas Wisnu penuh dengan penyesalan.
“Sudahlah, Mas, lupakan. Matikan saja video call ini. Nanti istrimu mendengar dan marah lagi.” Suaraku sudah penuh dengan keputusasaan.
“Aku di ruang meeting sendirian. Tidak ada orang di sini. Melani juga izin tak masuk tadi. Dia nangis-nangis di rumah makanya aku tinggalkan.” Wajah Mas Wisnu berubah malas saat mengucapkan nama istrinya tersebut.
“Oh.” Hanya itu yang dapat keluar dari bibirku. Sudah hilang minat untuk berbicara panjang lebar akibat kejadian tadi pagi.
“Sabar ya, Dek. Aku sedang berpikir bagaimana cara yang tepat untuk lepas dari Melani. Cepat atau lambat kami memang harus berpisah.”
Aku terhenyak. Apa masalahnya denganku? “Lho, apa hubungannya denganku, Mas? Tolong jangan libatkan aku lagi dalam kehidupan kalian. Jika mau berpisah, itu urusanmu. Jangan bawa-bawa aku.” Nadaku ketus. Ingin segera kumatikan saja sambungan panggilan ini.
Mas Wisnu terdiam. Pandangannya menuju ke arah lain. Dia seolah sedang menelan pahit kekecewaan.
“Dek... A-aku, sayang padamu.” Mas Wisnu terbata. Wajahnya kini menatapku dengan serius.
Air mataku tak terasa mengalir dari pelupuk mata, membasahi pipi hingga tumpah ke bantal. Ini adalah sebuah tangis sedih, simbol cinta yang tak dapat memiliki. Mas Wisnu, tahukah kau jika aku pun memiliki rasa yang sama? Bahkan perasaan milikku lebih besar lagi ketimbang dirimu.
“Sejak pertama kita tinggal bersama, aku tahu ada sesuatu yang lain dalam hati ini. Ya, aku ternyata jatuh hati padamu. Sikap dan ketegaran hatimu lah yang membuatku merasakan hal demikian.” Mata Mas Wisnu tampak berkaca. Wajahnya sendu. Cepat jemarinya mengusap kedua sudut mata, mungkin untuk menghilang jejak tangis kecil itu.
Aku hanya dapat tersedu dengan bibir membisu. Hanya ada suara isakan yang kutahan agar tak keluar. Lebih baik, dipendam saja perasaan ini. Kubur dalam-dala dan tak usah dibiarkan untuk berkembang. Untuk apa? Hanya menambah luka dan derita semata. Nyatanya, kami tak akan bisa bersama selama Melani masih berpijak di dunia.
“Dek Ayu, aku sayang padamu. Aku cinta. Kamu mau, menjadi istri dan pendamping hidupku?” Lelaki berkulit putih itu menekan nada bicaranya. Tak ada pura-pura yang k****a dalam larik yang dia ucap. Semua tampak begitu tulus dan apa adanya. Lelaki itu sedang berkata jujur, tanpa sedikit pun rekaya. Seratus persen hatiku percaya.
“C-cukup, Mas....” Rasa sesak yang mendesak d**a kini tak mampu lagi kutahan. Cepat jemariku mengusap tombol merah tanda mengakhiri panggilan. Jika terus melihat wajahnya, sungguh mati aku tak akan sanggup untuk menolak setiap pinta yang dia utarakan. Ini permintaan gila namanya, bunuh diri jika aku mengiyakan. Tidak, Mas Wisnu, setidaknya untuk saat ini. Entah, jika esok atau lusa, saat semesta telah berbaik hati merengkuh jiwa kita menjadi satu tujuan. Mungkin saja, aku akan berkata iya nantinya.