Mas Wisnu cepat-cepat memakai pakaian, sedang aku membalik badan agar tak melihatnya tanpa busana. Gedoran pintu masih terdengar dan semakin kasar. Kedua kaki ini langsung terasa lemas. Sekonyong-konyong tubuhku terasa oleng dan mau pingsan.
“Sebentar!” teriak Mas Wisnu sambil terburu-buru berlari ke arah pintu.
“Mas Wisnu! Dek Ayu! Kalian jahat! Sungguh-sungguh kejam padaku!” Suara Mbak Mel menjerit histeris. Perempuan itu datang diiringi dengan tiga lelaki berpakaian santai dan seorang petugas berseragam hotel.
“Kami dari pihak kepolisian.” Seorang lelaki bertubuh tinggi dengan rambut sebahu dan wajah sangar memperlihatkan kartu tanda anggota polri.
Seketika aku dan Mas Wisnu hanya dapat diam membatu. Kami betul-betul syok. Mengapa nasib sial tak hentinya datang menerpa? Bagaimana bisa perempuan licik ini tahu keberadaan Mas Wisnu? Mengapa timing-nya bisa begitu tepat seolah aku dan suaminya tengah berzina?
“Pak, kami sama sekali tidak melakukan tindak asusila.” Mas Wisnu memohon pada pria berkaus polo dengan rambut cepat dan kulit sawo tersebut.
“Tapi kan kenyataannya kalian berdua di sini.” Pria tersebut membentak marah. Sementara seorang rekannya yang mengenakan kaus biru bertulis Turn Back Crime, berjalan menggeledah kamar.
“Jahat kalian, Mas! Kamu pikir aku bakalan diam saja atas perselingkuhan kalian? Pantas kamu tadi malam ngamuk dan minta cerai!” Mbak Mel terus meraung bagai singa betina yang marah akibat buruannya lepas. Perempuan yang telah berpakaian rapi seolah mau ke kantor tersebut mendekat ke arahku. Dia berjalan dengan wajah merah padan dan mendaratkan sebuah tamparan. Perih sekali rasanya. Penuh kemenangan, perempuan itu turut meludahi mukaku. Dia membalas apa yang telah kuperbuat tadi malam.
“Kamu jahat, Yu. Ibu memang benar, kamu itu persis dengan mendiang ibumu yang telah mati akibat kebiasaannya melacur dulu! Asal kamu tahu, ibumu itu p*****r dan menggoda Bapak sampai lahirlah anak haram ke dunia ini. Lihat dirimu sekarang, tega kamu melacur pada suamiku!”
Seolah gunung berapi yang memuntahkan lava dari dalam kawahnya, rasa amukku membara dan tumpah pada Mbak Mel. Tak kupedulikan lagi tiga orang polisi yang ada di kamar ini. Segera kutampar wajahnya sekuat mungkin dan mencekik wanita itu sampai dia keok di lantai.
“Kau yang p*****r! Kau yang anak haram!” Sekuat tenaga kutarik rambutnya hingga berguguran di tangan.
“Hentikan!” Dua polisi yang berambut gondrong dan berkaus polo berusaha melerai. Tangan keduanya kuat memisahkan kami berdua. Sialan, jika tak ada mereka, sungguh mati aku tak akan mau melepaskan perempuan licik ini.
“Sekarang, kalian berdua ikut kami ke kantor polisi. Kita selesaikan di sana karena perselingkuhan ini telah dilaporkan oleh Ibu Melani.” Polisi rambut gondrong tersebut mempersilakan kami untuk mengemaskan barang-barang dan ikut mereka ke kantor untuk memberikan keterang.
Aku mengumpat dalam hati sepanjang perjalanan menuju kantor polisi yang kami tempuh dengan mobil patroli bak terbuka. b*****h Mbak Mel, bisa-bisanya dia memainkan peran begitu ciamik di hadapan penegak hukum. Mengapa juga kami harus digerebek layaknya pasangan haram? Rasa amarah memenuhi aliran darah, membuatnya mendidih di ubun-ubun dan siap untuk meledak. Andai saja aku punya banyak uang, akan kuperkarakan balik perempuan sialan itu dengan pasal pencemaran nama baik. Apanya yang berzina? Aku hanya berada di dalam untuk menunggu Mas Wisnu, sudah hanya itu!
“Maafkan aku, Dek. Melani mungkin tahu keberadaan kita lewat aplikasi pelacak. Bodohnya aku, seharusnya GPS dan hape kumatikan saja. Maafkan kecerobohan Mas.” Mas Wisnu tertunduk lemas saat duduk di sebelahku dengan raut penuh penyesalan.
Aku hanya dapat terdiam sembari menahan muntab. Sembari menahan malu akibat dibawa dengan mobil seperti ini, aku bersumpah dalam hati untuk membalas semua rasa sakit yang telah Mbak Mel ukir. Cepat atau lambat, balas dendam itu akan mendarat mulus menghancurkan seorang Melani yang penuh dengan tipu daya serta kelicikan.
***
Di kantor polisi, kami dimintai keterangan dengan menjawab berpuluh pertanyaan yang membuat kepala sakit. Belum juga perut terisi, kami sudah harus mengeluarkan banyak energi untuk menjalani proses sialan ini. Berdasar oleh TKP, polisi tak menemukan barang-barang mencurigan seperti obat-obatan, alat kontrasepsi, pakaian dalam milikku, atau cairan bekas s****a di kasur. Mereka juga melihat sendiri bagaimana kondisi kamar yang aku dan Mas Wisnu sewa. Jelas-jelas melalui CCTV hotel pun aku masuk dan keluar jam berapa. Perzinahan seperti apa yang dapat dilakukan selama sepuluh menit tanpa menyisakan bekas apa pun? Dasar Melani sinting! Bisa-bisanya dia bergerak cepat untuk lapor polisi dan mengajak mereka untuk menggerebek kami. Uang dan kecantikan memang berperan penting dalam kehidupan ini.
“Cabut laporannya, Mel! Semua ini hanya membuat kita saling repot.” Mas Wisnu memohon pada sang istri untuk mencabut laporan sintingnya itu.
Mbak Mel memasang wajah angkuh. Berjam-jam kami di kantor polisi hanya untuk menyelesaikan perkara mengada-ada ini, sikapnya masih sama tak berubah. Seolah dialah yang paling benar dan hebat di muka bumi.
“Oke. Akan aku cabut sekarang juga. Kita anggap semua selesai, tapi Mas harus kembali ke rumah. Tanpa perempuan ini!” Mbak Mel membelalakkan mata. Nadanya tinggi seolah dia yang sedang memegang kartu AS dalam permainan.
“Baik. Mas, silakan kembali pada istrimu. Aku akan keluar dari rumah dan tak lagi mengusik kalian. Puas?” Kutantang balik Mbak Mel. Jika ini demi kebaikan bersama, aku rela.
Mas Wisnu hanya terdiam. Dia tertunduk lemas sembari menumpu keningnya dengan dua belah tangan.
“Aku cabut laporannya! Pergilah kamu, Ayu. Jangan pernah muncul lagi dalam kehidupan kami. Kalau sempat kamu menjual tanah peninggalan Bapak, lihat saja. Aku punya banyak cara untuk membuatmu celaka, sama seperti Ibu yang memiliki segudang langkah kala melenyapkan ibumu.” Mbak Mel menyeringai sadis, membuat ngilu ulu hatiku. Tercabik-cabik perasaan ini ketika mendengar lontaran jahat itu. Jadi, ibuku mati di tangan mereka? Bagaimana bisa? Ya Tuhan, ingin sekali aku mengetahui hal yang sebenarnya dari rahasia ini! Namun, pada siapa aku bertanya? Siapa yang akan menyingkap segala tabir?
Dengan penuh perasaan hancur layaknya serpih kaca, aku melangkah meninggalkan mereka sambil mengambin tas ransel di pundak. Tak ada tangis yang meluncur membasahi pipi, yang ada hanya kepal di tangan menunjukkan betapa geramnya diri ini. Melani, tertawalah dirimu sekarang di atas penderitaanku. Bukankah itu hal yang telah lama kau idamkan? Nikmati waktu bahagiamu, sebelum datang waktu sengsara. Yakin sekali, Tuhan itu Maha Adil. Keadaan akan cepat berputar layaknya roda, hanya tinggal menunggu waktunya saja.
“Ingat, Ayu, jangan pernah memimpikan Mas Wisnua dapat kau miliki. Seumur hidup, takkan pernah itu terjadi!” Kata-kata perpisahan sebelum aku benar-benar hilang dari pandangan mata mereka, meluncur mulus dari bibir Mbak Mel. Suaranya nyaring sehingga orang-orang yang kebetulan ada di sekita kami menoleh dan menatap rendah padaku. Sempurnalah drama yang dirancang olehnya. Kini cap perebut suami orang melekat jelas di kening.
Mbak Mel, percaya atau tidak, Mas Wisnu akan sungguhan jatuh dalam pelukanku. Tunggu saja dan sampai kau menyesalinya.