Kissmark

1827 Words
Dominiq: Kissmark  "Udah bangun?" Mata gue mengerjap beberapa kali. Mendadak aja otak encer gue kesulitan buat diajak berpikir barang sebentar aja. Bayangan seorang laki-laki berkemeja hitam berdiri di dekat ranjang gue—eh, tunggu! Sontak sepasang mata gue terbuka selebar-lebarnya dan memandangi ke seluruh penjuru kamar lalu refleks mendongak ke atas. Ini bukan kamar gue. Kamar gue jauh lebih luas, seluruh dinding sampe ke langit-langit kamar dicat berwarna pastel. Di sini nggak ada meja rias, nggak ada satu pun alat-alat make up, skincare gue yang biasanya berjejeran rapi. Aduh... kenapa rasanya pusing banget, sih! Gue kenapa, nih? Apa jangan-jangan gue baru aja jadi korban gempa bumi atau gimana ya? "Udah sadar kan?" tanya si laki-laki di samping ranjang. "Saya minta kamu segera pulang," katanya lagi dengan nada yang nggak ramah sama sekali. Laki-laki itu membalikan badan memunggungi gue yang masih linglung. Dalam hati gue bertanya-tanya kepada diri sendiri. Gue lagi di mana nih? Kalau emang ini bukan kamar gue, terus kamar siapa? Terus, kenapa juga gue ada di sini? "Permisi Non..." Selepas laki-laki itu pergi, muncul seorang wanita setengah baya mengenakan daster berwarna cokelat. Pelan-pelan wanita itu masuk ke dalam kamar seolah takut mengganggu gue. Otak gue lagi nggak bisa diajak kerja sama. Jadi, yang gue lakukan cuma menatap wanita itu dengan dahi berkerut. "Saya diminta Pak Bizar bantuin Non," kata si wanita terdengar takut-takut. Hm? Gimana? "Ayo, Non, saya tunjukin di mana kamar mandinya. Pak Bizar sudah menunggu dibawah sama Mas Daryl."  Maaf, bisa diulang lagi nggak? Bizar.... siapa katanya? Bizar? Sebelum wanita itu membantu gue turun dari ranjang, gue lebih dulu melompat akibat terkejut. Tunggu... wanita ini menyebut nama Bizar, kan? Kok, bisa? "Non baik-baik aja? Kepalanya masih pusing, ya?" tanya si wanita sembari menyentuh siku tangan gue, "Pasti efek mabuk, Non," katanya pelan. Bentaran, deh. Gue butuh menjernihkan pikiran lebih dulu sebelum masuk ke kamar mandi dan membersihkan diri. Pertama, gue ada di rumah Bizar. Kedua, gue abis mabuk semalam. Itu kata wanita di samping gue ini. Bukan kata gue.... ah! b*****t! Wanita itu memiringkan kepala dan menatap gue dengan bibir mengulum senyum jahil. "Non pacarnya Pak Bizar, ya?" tanyanya kelihatan menahan cengiran di sudut bibirnya. "Saya lihat wajah Non sama Pak Bizar muncul di tipi." Mata dan bibir gue kompakan membulat. Otak gue bekerja sangat-sangat lambat sekarang. Bahkan gue nggak mengingat kejadian semalam. Apa gue benar-benar mabuk? Kalau memang iya, kenapa gue bisa ada di rumah si duda? "Kalian serasi banget loh, Non! Saya ikut senang akhirnya Pak Bizar punya calon!"  *** Akh, bangke banget si duda! Sepanjang perjalan menuju ke rumah Chua, gue nggak berhenti memaki Bizar. Mulai dari A sampe ke Z. Mulai dari satu binatang ke binatang lain gue sebutkan semuanya hingga membuat supir taksi menolehkan kepalanya ke belakang dan menatap gue bingung. Gue melengos. Masih pagi, tapi perasaan gue kacau balau gara-gara si duda sialan. Seharusnya gue dikasih penjelasan dong, kenapa tiba-tiba aja gue bisa ada di rumahnya? Bukannya malah bersikap sinis dan menyuruh gue pergi secepatnya dari rumah dia. Hei! Dikira gue kesenengan tinggal di rumahnya? Sok banget, sih! Bahkan rumah gue jauh lebih gede dari rumah si Bizar-Bizar itu! Sumpah, ya, semalam gue benar-benar nggak ingat apa pun. Makanya gue tanya karena ingin meluruskan. Gue nggak mau gara-gara kejadian ini bikin dia makin sebal sama gue. Semuanya berawal dari pesta pernikahan Evan Cho beberapa hari yang lalu. Sehabis gue memberikan selamat kepada Evan dan istrinya, gue pergi cari minum sambil menunggu teman-teman yang lain datang. Entah gue yang terlalu bersemangat atau gimana, gue datang lebih dulu ketimbang yang lain. Gue coba chat ke Lomi sama Chua, gue tanya udah jalan apa belum. Gue males kalau harus nunggu lebih lama dan menjadi objek gosip dari orang-orang di sana. Lima tahun lalu, gue pernah menjadi salah satu bintang papan atas di negeri ini. Siapa yang nggak kenal gue, sih? Selain dikenal sebagai model dan bintang iklan dari berbagai produk terkenal, gue juga dikenal bar-bar, tukang mancing keributan dan cari sensasi. Iya, seburuk itu gue di mata netizen. Apa pun yang gue lakukan, mau itu sebuah prestasi atau bukan, mereka tetap menganggap gue buruk, tukang cari perhatian. Tukang cari perhatian p****t lo! Gue mana pernah cari perhatian. Kalau bukan gara-gara mantan suami gue yang berengsek, mungkin kehidupan gue nggak bakalan dipenuhi sama komentar jelek dari netizen yang budiman. Hampir setengah jam gue berdiri sembari menikmati segelas minuman di tangan, tiba-tiba aja ada seorang bocah laki-laki menarik lengan gaun gue. Sontak aja gue menunduk, memandangi bocah itu selama beberapa detik. "Tante jangkung, mau bantuin aku nggak?" Tante jangkung? Okay, ini terdengar setengah memuji, setengah meledek tinggi badan gue yang emang keterlaluan. Bukan cuma bocah ini doang yang memanggil gue dengan embel-embel 'jangkung' di belakangnya. Gue celingak-celinguk mencari keberadaan orangtua si bocah. "Kamu nyasar, ya? Orangtua kamu mana?" Bocah itu menggeleng. Ditariknya lengan gaun gue lebih rusuh sampe bikin gue parno. Kalau sobek, gimana? "Tante jangkung, mau bantuin aku nggak?" ulangnya. Gue menunduk, memerhatikan kedua kakinya yang agak diangkat. "Bantu apaan?" tanya gue ogah-ogahan. Si bocah menggerakkan satu jarinya seolah memberi isyarat supaya gue sedikit menundukkan badan. Gue mengikuti gerakan jari si bocah. "Itu..." bisiknya. "Pura-pura jadi pacarnya Papa, plis?!" "Hah?" "Pura-pura jadi pacarnya Papa supaya nggak digangguin sama Tante-Tante di sana...." Dahi gue berkerut-kerut. Pandangan gue mulai fokus pada sosok laki-laki berjas abu-abu yang tengah dikelilingi banyak perempuan. "Loh..." tunjuk gue. Kayaknya gue kenal, deh. Tapi... siapa ya? "Mas Bizar, pulang dari sini mau mampir ke rumah saya nggak?" Dih. Gue bergidik ngeri. Agresif amat si Tante. "Kapan-kapan mau makan malem saya nggak, Mas Bizar?" Kumpulan perempuan tersebut sama sekali nggak malu mendekati Bizar. Yang satunya maksa minta Bizar pergi ke rumahnya. Satunya kekeuh ngajakin makan malam di luar. Sedangkan Bizar sendiri cuma menggeleng, menolak para perempuan haus belaian kasih sayang tersebut dengan sangat-sangat sopan. "Ayo, Tante!" disambarnya sebelah tangan gue. "Eh, eh!" teriak gue sambil sedikit mengangkat gaun gue. "Papa!" panggil si bocah ke papanya. Bizar dan kumpulan perempuan di sana kompak menoleh ke gue. Salah satu dari mereka seakan mengenali siapa gue. Gue menarik napas tanpa kentara. Tatapan mereka seakan ingin memakan gue saat itu juga. "Daryl," Bizar melambaikan tangan kepada si bocah. Benar, kan! Gue merasa nggak asing sama laki-laki ini. Dia kan, Bizar. Laki-laki yang ngebet pengin nikahin Chua dulu? "Kamu abis dari mana?" tanya Bizar. "Nemenin Tante," jawab Daryl menunjuk gue. Para perempuan di dekat Bizar mengarahkan pandangannya ke gue. Salah satu dari mereka bertanya ke Bizar, "Siapa, Mas? Kok, anaknya Mas Bizar kayak deket ya." Daryl menjawil b****g gue dengan rusuh. Gue menunduk, melirik ke bocah itu setengah mendelik. Duk. Dengan kurang ajarnya si Daryl mendorong gue sampe menabrak dadanya Bizar. Seketika para perempuan heboh, menatap gue dengan tatapan lapar. Okay, tarik napas. Nggak ada salahnya membantu orang lain, kan? Siapa tahu gue dapet pahala. "Saya Dominiq..." gue melirik ke Bizar ragu-ragu. "Pacarnya... Mas Bizar." Kemudian, Bizar mendelikan matanya. "Mbak, udah sampai..." Gue mengangkat kepala dan memandang dari balik jendela taksi yang terbuka setengah. Ah, iya... gue udah nyampek aja. Gara-gara asyik ngomel, gue nggak sadar kalau taksi yang membawa gue telah berhenti tepat di samping pagar rumah Chua. Gue mengeluarkan uang sesuai ongkos taksi gue lalu bergegas keluar dari taksi. "Langsung masuk aja, Dom. Di rumah cuma ada Nae sama Bibi." Gue menengadahkan kepala, mengembuskan napas kasar setelah membaca chat dari Chua. "Lo di mana? Toko roti ya? Gue nyusul ke sana deh." Dengan cepat chat gue muncul dua centang biru menandakan chat gue udah dibaca. Chua sedang mengetik balasan. Satu chat masuk. "Lo tunggu di rumah gue aja. Lagian lo nyusul gue nggak ada gunanya." Bangke. Percuma juga kalau gue masih ngeyel mau nyusul ke toko rotinya Chua sama Lomi. Jadi, lebih baik gue masuk ke dalam sambil menunggu kepulangan Chua dari toko roti. *** "Di perutnya Tante ada gembelnya, ya?" Pertanyaan Nae selalu berhasil membuat ubun-ubun gue berasap. Bocah perempuan yang bahkan umurnya belum genap lima tahun, kalau ngomong suka sembarangan. Masa, di perut gue ada gembelnya?! Yang bener aja! Nae mendekati kursi lalu merangkak naik dan duduk di samping gue. "Kata Ayah, kalau lagi makan nggak boleh sambil ngomong." Potongan ayam yang baru aja masuk ke dalam mulut jadi keluar lagi gara-gara bacotannya Nae. Yang ngomong siapa sih? Dari tadi dia doang yang ngoceh, ya gue tanggapi. Kalau nggak gue tanggapi, ini bocah nggak akan ada habisnya gangguin gue yang lagi makan. "Yang ngomong siapa Naeee!"  Nae menunjuk hidung gue dengan satu jarinya. "Itu... barusan aja Tante ngomong." katanya polos. Bukan anak kecil gue tampol ni bocah! Gue heran sama Nae, deh. Dia ini masih anak-anak. Umurnya aja belum genap lima tahun, tapi kalau urusan bacotin orang kenapa pinter banget, sih? Makanya gue males kalau main ke sini, terus nggak ada Chua. Karena apa? Gue pasti digangguin, kadang gue didongengin sama kloningannya si Lakka. "Ayah bilang, Nae nggak boleh main sama anak cowok," ocehnya. Bodo, Nae. Bodo amat. "Tapi, Tante," Nae memiringkan kepalanya. "Tapi main sama Kak Beon boleh. Emang, Kak Beon bukan anak cowok?" Ya ampuuuun. Chua dulu ngidamnya apa punya anak kocak kayak Nae begini?! "Nae," kata gue menyingkirkan piring ke samping. Bocah perempuan itu mengerjapkan matanya. Sumpah deh, ya. Nae mah Lakka banget. Mulai dari cara ngomongnya, matanya, nyebelinnya sama. Takut banget si Nae nggak diakuin anak kayaknya. "Main sama Kak Beon sana," usir gue. "Tante lihat Kak Beon ada di depan tadi, tuh. Lagi godain anak cewek." Nae bergerak turun lalu berlarian keluar sambil berteriak memanggil anak sulung Lomi dan Endra. Gue pengin ngakak. Padahal Beon lagi ada di rumahnya, bukan lagi di depan. Mau aja si Nae gue bohongin. Nae udah pergi, nggak ada muncul lagi sampe nasi gue habis dan mau nambah lagi. Gue menuangkan nasi untuk yang ketiga. Jangan tanya atau pun protes kenapa gue bisa menghabiskan dua piring nasi, terus pake acara nambah lagi. Gue lagi kesal. Gue punya kebiasaan baru sekarang. Setiap kali gue sedang marah atau kesal, gue selalu melampiaskannya dengan makanan. Makanan apa aja, gue nggak akan nolak selama bisa bikin mulut sama cacing di dalam perut gue seneng. Gue menggigit sepotong ayam goreng di tangan, lalu menyendokan nasi dan memasukannya ke dakam mulut. Lagi asyik ngunyah, tiba-tiba gue teringat sesuatu. Sebentar.... gue berasa menemukan memori yang sempat hilang dalam waktu semalam. Bayangan seorang laki-laki dan perempuan tengah berciuman di dalam sebuah kamar. Gue menggeleng kuat, menampar pipi kanan gue mirip kayak orang bego. Bayangan yang semula samar-samar, kini jadi semakin jelas. "b*****t!" jerit gue, lalu beranjak dari kursi makan. Gue tidur di rumah Bizar. Semalam, gue mabuk, katanya. Nah, biasanya setiap gue mabuk, pasti ada aja kerusuhan yang gue buat tanpa sadar. Cuma, kerusuhan saat gue mabuk semalam bakalan bikin gue tambah malu. "Oh!" gue membungkam bibir dengan satu tangan. Gue inget sesuatu! Tanda keunguan di leher Bizar yang nggak sengaja gue lihat tadi pagi. Kissmark bukan, sih? Eiiii. Gue menggeleng, berusaha menepis. Tapi, gue nggak g****k sampe nggak bisa bedain mana kissmark sama digigit nyamuk! Bego, Dominiq! Mati aja lo sana! Jerit gue dalam hati.   To be continue--- 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD