Keceplosan

1794 Words
Dominiq: Keceplosan  "Ibuuuuu!" "Aduh, Nae. Udah dong!" "Mau sama Ibu, Tante! Kak Beon nakal!" jari kecil Nae menunjuk tepat ke hidung mancung anak sulung Endra dan Lomi. Yang ditunjuk cuma menatap Nae serbasalah. Gue menarik lengan Beon pelan-pelan sampai mendekati kursi yang diduduki Nae. Anak satu-satunya dari pasangan Chua dan Lakka tersebut nggak berhenti membuat kerusuhan dengan tangisan melengkingnya. Kedua kakinya yang dia selonjorin bergerak heboh, jarinya nggak berhenti menunjuk ke Beon yang cuma diem di tempatnya. Gue mengacak rambut, berasa ikutan serbasalah kayak Beon. Nggak jelas permasalahannya apaan, tahu-tahu pulang ke rumah sambil nangis jejeritan. Di belakangnya ada Beon. Gue memiringkan kepala, kembali mengacak-acak rambut sama rusuhnya kayak Nae. Pantes aja rumahnya Chua sama Lakka nggak pernah sepi, padahal yang tinggal cuma mereka bertiga sama seorang pembantu yang usianya di atas empat puluh tahunan. Kena bacotnya Nae aja rumah rasanya mau roboh. Badannya kecil, tapi tenaganya sama kayak ibunya. "Mau sama Ibuuuuu," rengek Nae menggerakkan kakinya. "Tanteeee, ayo ke Ibuuuu!" jeritnya. "Ibu kamu kan ada di toko roti," kata gue, niatnya mau gendong, tapi malah kena jambak. Bangke banget anaknya si Chua! Dengan takut-takut Beon memegang tangan Nae, mungkin aja mau bantuin gue menarik tangannya Nae supaya berhenti menjambak rambut gue. Gue udah parno aja sih, takut botak ntar. Itu bocah kuat banget tenaganya. "Jangan, Nae," Beon menarik tangan Nae pelan-pelan. "Sana! Aku nggak mau main lagi sama Kak Beon!" katanya seolah gemas sambil gigitin jarinya Beon. Beon masih aja memasang ekspresi biasa-biasa aja, nggak balas marah sama sekali. Sedangkan Nae, semakin dibaik-baikin malah kurang ajar. Heran gue, ini anak rusuhnya nggak nanggung-nanggung. Udah paling jago bikin orang salah tingkah, serbasalah kayak Beon begini. "On, kamu apain Nae sih?" tanya gue ke Beon. "Kak Beon janji mau main sama aku, Tante," adu Nae. Padahal gue nanya ke Beon, yang jawab si Nae. "Tapi Kak Beon malah main sama yang lain." bibir tipis Nae mengerucut lucu. Lagi-lagi gue menggaruk rambut. Bingung harus memberi komentar kayak gimana. Alasan Nae marah-marah, tuh, beneran nggak faedah. Ketimbang Beon main sama yang lain, kenapa dia sampe nangis sih? "Maaf, Nae," Beon menatap Nae tulus. Yang satu kloningan si Lakka. Satunya lagi, Endra banget. Ekspresi Beon pas minta maaf ke Nae, tuh, sama persis kayak Endra yang lagi minta maaf sama Lomi. Gue paham banget nih sama kelakuan temen-temen gue. Dan Beon, Endra banget. Walaupun wajah kebuleannya nurun dari Lomi, tapi dari sifat, cara ngomong sampe natap orang mah Bapak moyangnya banget. "Ayo Tanteee," Nae tahu-tahu merangkul leher gue, nyaris aja gue jatuh terjungkal karena terkejut. "Aku ikut!" sahut Beon. Nae menatap Beon, galak. "Nggak boleh! Kak Beon nggak boleh ikut pokoknya!" "Aku ikut, aku mau minta maaf sama Tante Chua," gumam Beon setengah menunduk. "Minta maaf buat apa, On?" tanya gue. Beon mengangkat kepalanya. Sepasang mata cokelatnya mengerjap, "Karena udah bikin Nae nangis," jawabnya. "Kata Ayah aku, kita harus minta maaf kalau bikin salah. Aku udah bikin Nae nangis. Jadi harus minta maaf ke Tante Chua." Bangke, Endra! Dia ngajarin anaknya ngalus apa gimana? Sebentar, kok, gue ikutan meleleh. Beon—masih tujuh tahun, tapi udah jago bikin cewek ambyar! *** Demi keselamatan para bocah-bocah, gue menggandeng keduanya. Di kanan gue ada Nae yang nggak berhenti ngoceh karena Beon ikutan pergi menyusul ibunya ke toko roti. Beon memandangi Nae beberapa detik lalu fokus lurus ke depan. Beda sama Nae yang rusuh, Beon anaknya anteng. Bocah laki-laki berusia tujuh tahun itu sama sekali nggak terpengaruh sama mulut laknatnya Nae. Dia tetep stay cool, paling cuma nengok sebentar, abis itu fokus sama jalanan. Susah payah gue membawa kedua bocah itu nyebrang jalan. Gara-gara Nae yang nggak mau diajak naik taksi dan memilih naik angkutan umum, terpaksa harus nyebrang dulu karena angkotnya nggak berhenti di depan toko roti Chua sama Lomi. Jadi, beberapa tahun lalu, tepatnya pas Chua hamil Nae. Lakka sama Endra berniat membuka usaha untuk istri-istri mereka. Lomi sama Chua kan suka masak, tuh, sering bikin kue bareng-bareng karena rumah mereka cuma beda dua rumah doang. Melihat para istri getol banget tiap bikin kue, Lakka mengajak Endra buat join aja. Ya itung-itung nyenengin istri lah. Apa lagi Chua sama Lomi tipe orang yang nggak bisa diem. Toko kue yang direncanakan dari lima tahu lalu baru terealisasikan tiga tahun yang lalu. Selain karena Chua sama Lomi harus ngurus anak-anak, waktunya belum tepat aja. Pas Nae agak gedean, baru di bangunlah toko kuenya. Lomi sama Chua mah jelas seneng-seneng aja. Kapan lagi bisa mengeksplor hobi sekaligus nambah penghasilan, kan? "Jangan lari, Nae! Aduh!" seru gue, kemudian ikutan lari sambil gandeng-gandeng Beon masuk ke dalam toko kue. Nae lari-lari masuk ke dalam tanpa menoleh ke gue sama sekali. Keadaan toko kue lagi rame-ramenya. Dari tempat gue berdiri, gue bisa melihat Chua sama Lomi ikutan turun tangan meladeni pembeli. "Ibuuuuu!" teriak Nae, kemudian memeluk pinggang Chua. "Nae, sama Tante Domi dulu, okay?" kata Chua sedikit membungkuk. "Nggak mau!" Nae mengentakkan kakinya kesal. "Tapi Ibu masih ada pembeli, nih," kata Chua, kelihatan banget kalau dia nahan gemes. Mampus. "Lo bawa Nae dulu sana, Wa," Lomi menoleh ke Chua. "Dom, sini! Gantiin Chua bentaran." perempuan berwajah kebulean itu melambaikan tangan ke arah gue. "Wa, sekalian titip Beon, ya. Beon ikut kan, Nae?" Yang ditanya malah melengos. "Nae!" tegur Chua ke anak perempuannya. "Kalau ditanya harus dijawab. Kenapa nggak sopan gitu? Mau Ibu aduin ke Ayah, ya?" Nae langsung lemes, mirip permen yupi. "Jangaaaan!" "Minta maaf dulu sama Tante Lomi," perintah Chua. Setengah mewek, bocah itu mendekati Lomi yang kelihatan kewalahan sama pembeli. "Maaf, Tante."  "Wa, jangan dimarahin. Kasian," balas Lomi, lantas mengusap puncak kepala Nae. "Nggak apa-apa, Nae." Chua berdecak, "Biarin aja, Mi. Dimulai dari sekarang harus dikasih tahu. Gue sama Lakka nggak pernah ngajarin anak kurang ajar sama yang lebih tua." Lomi cuma geleng-geleng kepala. Setelah meminta maaf ke Lomi, Chua menggendong Nae sambil menggandeng Beon pergi ke belakang. Gue menggantikan Chua sementara karena toko roti mereka lagi rame-ramenya. Kalau cuma disuruh bantuin ngeladenin pembeli gini mah gampang. Malahan asyik banget. Sebagian pembeli mengenali siapa gue. Bahkan ada beberapa yang minta foto bareng sama tanda tangan. Lomi cuma ketawa kecil sembari mengingatkan gue masih ada banyak yang antre. "Mi, gue mau kerja sama kalian, deh!" seru gue menoleh ke tempat Lomi berdiri. Lomi memasukkan roti sosis sama cokelat ke dalam kantong. "Mana sanggup gue sama Chua bayarin lo," candanya. Gue balas, "Nggak dibayar juga nggak apa-apa." Lomi mendengus. "Di mana-mana kerja ya harus dibayar, Dodo!" Gue berdecak, "Don't call me, Dodo! My name is Queen Dominiq!" protes gue. Perempuan itu cuma ketawa-tawa sambil meladeni pembeli. Gue melihat pintu masuk didorong seseorang. Antreannya udah nggak sepanjang tadi, cuma ada beberapa orang. Gue menunduk, memasukkan roti yang disebutkan sama pembeli. "Oi, Abang!" sapa Lomi pada seseorang yang baru aja masuk. Oh, bukan seseorang. Tapi ada dua orang. "Bang Hans mau nyamperin adek lo atau mau beli roti?" tanya Lomi. Bang Hans—abangnya Chua menanggapinya dengan senyuman kecil. "Mau ambil pesenan. Udah dikasih tahu sama Chua, kan?" Lomi mengacungkan Ibu jarinya dengan semangat. "Udah, dong! Tunggu bentar, ya!" Lomi pergi ke belakang, mungkin aja mau ambilin pesenannya Bang Hans. Laki-laki itu menyapa gue dengan sopan. Ini kali pertama gue ketemu samq Bang Hans setelah lima tahun yang lalu. "Jadi, bener ya Dom?" tanyanya. Gue melirik pergerakan laki-laki yang menyenggol lengan seseorang di sampingnya. Gue udah pura-pura nggak lihat sosok Bizar di samping Bang Hans. Apa ya, gue masih malu aja. Setiap kali gue inget sama Bizar, bayangan-bayangan aneh itu bikin gue bergidik ngeri. Dalam hati gue nggak berhenti bertanya ke diri sendiri. Beneran nih? Masa iya gue sama dia.... ciuman sih? Sisi gue yang lain seolah berontak, "Ya bisalah bego!" gue geleng-geleng kepala. "Lo pikir, lo bisa mengendalikan diri pas lagi mabuk?" Bener. Kayaknya Bizar bukan laki-laki pertama yang gue sosor pas mabuk. Sebelumnya, Evan adalah korban pertama gue. Malah paling sering jadi sasaran gue setiap kali mabuk. Cuma, kan, waktu itu gue sama dia pacaran. Jadi sah-sah aja dong? Lah, kalau Bizar? Pacar, jelas bukan. Suami? Apa lagi! "Beneran apaan, Bang?" gue nggak paham sama pertanyaan Bang Hans. Bang Hans melirik Bizar di sampingnya yang dari tadi sibuk sama ponsel di tangan. "Kalian... pacaran?" tunjuknya ke gue lalu ke Bizar. Bizar mengangkat wajahnya, menatap galak ke Bang Hans, terus ke gue. "Nggak ada yang pacaran, Hans!" elaknya. "Dih. Siapa yang pacaran sama Om-Om ini?" satu jari gue menunjuk ke Bizar secara refleks. Ini bukan pertama kalinya orang-orang nanya gue soal Bizar. Entah siapa yang menyebarkan gosip di antara kita berdua. Kalau gue inget-inget lagi, apa salah satu Tante-Tante di pesta pernikahannya Evan, ya? Bisa aja mereka yang menyebarkam gosipnya, kan? Emang siapa lagi? Emanglah, nasib gue gini amat. Hidup gue nggak berhenti dikomentarin orang, dibenci netizen budiman, sekarang nambah lagi satu yang kayaknya nggak suka banget sama gue. Bizar. Gue yakin alasan dia nggak suka sama gue, tuh, ya gara-gara gosip itu. Sehari setelah kejadian di pesta pernikahan Evan, muncul berita aneh-aneh. Yang jadi berita utama ya, gue yang ngaku-ngaku pacaran sama Bizar. Lengkap sama fotonya juga. "Tapi, Mas Bizar cerita kamu nginep di rumahnya?" sebelah alis Bang Hans terangkat, jahil. Gue mendelik. Jari-jari gue mencengkram capitan roti. Rasa-rasanya pengin banget ngelempar benda itu ke arah Bizar. Bisa-bisa dia cerita ke Bang Hans?! Dia sendiri yang minta supaya gue nggak bilang siapa-siapa gue tidur di rumahnya. Kenapa Bang Hans bisa tahu kalau bukan dia yang cerita? Bizar ngajak gue perang?! "Hans," Bizar menegur Bang Hans. Gue mengelilingi etalase roti dan berdiri di tengah-tengah kedua laki-laki jangkung tersebut. "Lo sendiri minta gue supaya nggak cerita siapa-siapa. Kenapa Bang Hans malah tahu?!" protes gue sembari menunjuknya dengan pencapit roti ke wajahnya. "Saya nggak cerita," jawab Bizar mendorong pencapit roti dari tangan gue. "Terus, kenapa Bang Hans tahu kalau gue ada di rumah lo, kalau bukan lo sendiri yang cerita?!" Bizar mengusap wajahnya, kasar. "Saya keceplosan." "Pptttt." Bang Hans menahan tawanya, tapi keburu ditutup mulutnya. "Ayaaaah Haaaaans!" teriak Nae lari-larian dari arah dapur. Bang Hans menghampiri Nae, kemudian menggendongnya. "Kok, Naera di sini?" tanya Bang Hans. "Nangis-nangis minta ke sini. Ceritanya dia mau ngadu," sahut Chua di belakang Nae. "Eh, Mas Bizar!" Chua menyapa Bizar. Bizar menyambar tangan gue. "Ikut saya." "Apaan sih?!" gue mengempaskan tangannya. "Saya mau jelasin sesuatu." Bizar menarik tangan gue, lebih kuat dari sebelumnya. "Mau jelasin apaan?" gue meletakkan sebelah tangan ke pinggang. "Bang Hans aja tahu gue nginep di rumah lo. Atau jangan-jangan lo juga bilang kalau kita juga ciuman? Gitu?!" kata gue tanpa sadar. Gue melihat rahang Bizar mengeras. Wajahnya mendadak aja bersemu lalu melirik ke sekeliling. Goblok. Dominiq, kok lo g****k sih, Dom! Sekarang bukan cuma Bang Hans doang yang tahu. Tapi juga Chua dan Lomi. Reaksi Lomi sampe mangap gitu di dekat pintu dapur.   Ekspresi Mas Bizar pas ketemu Dominiq di toko roti si Chua sama Lomi. To be continue--- 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD