Kiss

1743 Words
Dominiq: Ciuman Kita berdua duduk saling berhadap-hadapan. Dia yang sibuk mengobrol di telepon bareng anaknya, sedangkan gue juga sibuk memadangi laki-laki itu sambil melipat kedua tangan di depan d**a. "Kalian abis... ciuman, gitu?" Refleks, gue menepuk kening. Setengah membungkukkan badan sesekali merutuki mulut laknat gue. Dengan kurang ajarnya, lidah gue gerak gitu aja menyebutkan soal gue yang ciuman sama Bizar. Bisa kalian bayanginlah gimana hebohnya Lomi dan Chua pas tahu gue abis ciuman sama laki-laki. Tapi, yang bikin heboh bukan karena gue abis ciuman. Bukan. Gue tebak, yang bikin mereka pada heboh ya karena laki-lakinya si Bizar. Mereka mungkin nggak ngira aja kenapa bisa gue sama dia ciuman, sedangkan gue sama Bizar nggak pernah saling kenal sebelumnya. Ah. Okay, gue sama Bizar udah pernah ketemu sebelumnya. Kira-kira lima atau enam tahun lalu, ya? Pokoknya pas jaman-jamannya si duda getol banget deketin si Chua, bahkan berniat ngelamar Chua ke surabaya—rumah orangtuanya. Kita ketemu beberapa kali saat Bizar jemput Chua yang lagi main di rumah gue. Kesan pertama gue ketemu sama laki-laki itu. Apa ya, ya, cakep. Biarpun saat itu usianya hampir tiga puluh lima tahun, tapi nggak kalah ganteng sama yang muda-muda. Gue akuin, gue nggak munafik. Bahkan gue sempat mendukung Chua buat menerima lamarannya si Bizar. Tapi ya gitu, Chua udah kadung cinta mati sama Lakka. Jadi... ya, Bizar ditolak, deh! Haha! "Ngapain kamu ketawa?" Teguran dari sosok ganteng Bizar membuat gue nyaris keselek es batu yang lagi gue kunyah. Laki-laki itu melirik gue sinis sembari mengantongi ponsel ke dalam saku jasnya. Dalam hitungan detik ekspresi gue berubah datar, lebih tepatnya berusaha biasa-biasa aja setelah ketakuan cekikikan membayangkan raut wajah Bizar pas ditolak sama Chua. Mampusin jangan, nih? "Saya mau meluruskan permasalahan di antara kita," gumamnya. Gue mengangguk. "Gue udah nunggu dari tadi." Sebenernya, yang lebih bikin gue penasaran adalah: kenapa gue bisa ada di rumah dia malam itu? Seingat gue, gue lagi pergi ke kelab sendirian. Lagi pula, siapa yang bisa diajak pergi minum-minum, sih? Gue nggak punya temen deket selain Chua sama Lomi. Dulu, masih ada Evan yang bisa gue tarik buat nemenin gue minum. Sekarang, mereka pada sibuk sama keluarga masing-masing. Mana mungkin gue ngajakin salah satu dari mereka? Bisa ditabok rame-rame ntar. Bizar menarik napas panjang. "Kamu bener-bener nggak inget apa pun malam itu?" tanyanya. Sebelah tangan gue terangkat dan berhenti di atas meja. "Kalau gue inget, mana mungkin gue tanya lo." Bizar memijat keningnya pelan. "Kamu nggak lagi sengaja, kan?" Ganti gue yang menarik napas. Dalam hati nggak berhenti menggumakan kata sabar. Masalahnya tangan gue udah gatel pengin nampol mukanya yang ganteng. "Lo nuduh gue pura-pura nggak inget?!" Bizar mendelikan mata. Buru-buru dibungkamnya bibir gue sesekali menengok ke kanan dan ke kiri. Mungkin aja karena suara gue terlalu keras sampe orang-orang di kafe ini pada nengok ke gue dengan tatapan nggak enak. Seolah-olah mereka bilang, "Suara lo ganggu, anjing!" "Bisa kecilin suara kamu? Orang-orang jadi lihatin kita." "Ya biarin. Lagian punya mata gunanya buat apa?!" kata gue dengan nada suara yang nggak santai. Sekarang gue udah nggak peduli lagi lah. Udah jelek juga gue di mata orang-orang. Mereka bilang gue bar-bar, suka mancing keributan, anarkis, nggak punya hati karena udah gugurin anak kandung gue sendiri. Ah. Soal itu, ya. Anjir! Gue dibilang aneh-aneh bukan karena kesalahan gue sepenuhnya. Semua bermula dari Iwang yang nggak berhenti meneror gue setelah tahu kalau dulu—gue pernah gugurin anaknya. Iwang neror gue dengan berbagai hal. Bukan cuma mengirimi pesan dan telepon gue dengan berbagai nomor karena nomor lama dia gue block. Seolah nggak kehabisan ide, Iwang semakin menjadi-jadi. Bahkan berani nyamperin gue ke lokasi syuting waktu itu. Dulu, pas gue masih jadi istrinya, dia ke mana aja? Pernah nggak, dia ngasih perhatian sedikit aja ke gue? Nggak, kan? Yang ada dia sibuk sama perempuan ini, perempuan itu, sampe rasanya gue bener-bener muak sama tingkahnya. Gue udah nggak tahan, ya. Salah satunya opsi yang gue punya ya, cerai. Apa lagi? Mana bisa gue bertahan lebih lama sama laki-laki kayak Iwang? Gue udah berusaha ngalah, berusaha memperbaiki diri, tapi balasan dia nggak setimpal sama apa yang gue lakuin. Setelah gue nikah sama dia, gue udah berhenti jadi model. Gue nurut untuk diem di rumah dan jadi istri yang baik. Tapi balasan dia malah sebaliknya. Dia malah main gila sama banyak perempuan. Gue pernah denger dari seseorang. "Istrinya Iwang, kan, posesif parah! Mungkin aja itu jadi alesan kenapa Iwang nggak betah di rumah." Okay. Gue jawab aja nih. Dari gue nikah sampe udah cerai sama Iwang, orang-orang nggak berhenti menyalahkan gue. Katanya, gue terlalu galak, gue posesif. Gue gini, gue gitu. Nah, sekarang saatnya gue ngasih jawaban supaya orang-orang nggak bacot lagi. Gue galak, gue berubah posesif, semuanya gara-gara Iwang. Kalau aja dia nggak main di belakang gue, mana mungkin gue sering marah-marah sih? Kalau gue cuma diem aja, apa Iwang bakalan berubah? Nggak. Malah semakin menjadi-jadi. Bahkan dengan terang-terangan dia ngaku suka sama perempuan lain di depan gue. "Sialan." "Kamu ngatain saya?" kata Bizar menunjuk hidungnya dengan ujung jarinya sendiri. Gue tersadar. Umpatan kasar gue barusan bikin Bizar salahpaham. Gue nggak bermaksud ngumpat buat laki-laki di depan gue ini. Tapi buat mantan suami gue. "Saya tahu, saya udah bikin orang-orang salahpaham. Tapi, kamu harus inget, saya lebih tua dari kamu," protesnya nggak terima, sampe-sampe bawa usia segala. "Ya udah, saya minta maaf Om." gue mengatupkan kedua tangan di depan Bizar. Bizar mendelik, "Kamu panggil saya Om?!" Maunya apa, sih?! Tadi dia sendiri yang bilang dia lebih tua. Giliran gue panggil Om, dia nggak terima! Emang, ya, susah ngomong sama orang tua. Salah mulu, deh. Gue mengibas-ngibaskan tangan ke udara. Dia ngajak gue kemari bukan untuk berdebat. Tapi meluruskan kesalahpahaman di antara gue sama dia. Juga menunggu penjelasan Bizar, kenapa gue bisa ada di rumahnya, terus.... ciuman. "Anjing!" umpat gue, lalu menunduk. "Kok, kamu ngumpat lagi?!" seru Bizar nggak terima. Hidup gue bikin orang salahpaham mulu, heran. "Udah, udah! Kita bahas apa yang harus kita bahas," kata gue, akhirnya. "Dimulai dari mana dulu?" tanya Bizar. Ada beberapa kesalahpahaman yang terjadi di antara gue sama Bizar. Pertama, gue yang ngaku-ngaku jadi pacar di depan sekelompok perempuan gatal yang getol godain Bizar di pesta pernikahan Evan Cho. Kedua, soal ciuman. Tanda keunguan yang gue temuin di lehernya Bizar adalah hasil karya gue. Eh, tunggu. Berarti yang kedua bukan salahpaham dong? "Gue nggak mau lama-lama," kata gue memulai lebih dulu. "Gue minta maaf karena udah ngaku-ngaku jadi pacar lo. Tapi, lo harus tahu, ya. Gue disuruh sama anak lo." "Daryl?" Gue mendesis, "Terserah namanya siapa," sela gue. "Intinya, gue disuruh pura-pura jadi pacar lo supaya nggak diganggu sama Tante-Tante di pesta si Evan." "Terus, kamu turutin kemauan anak saya?" Tanpa sadar gue menggebrak meja. "Ya iya. Anak lo main narik gue gitu aja. Bahkan dia dorong-dorong b****g gue sampe nabrak lo!" kata gue menggebu-gebu. "Intinya, gue minta maaf. Maaf juga udah nyeret nama lo sampe jadi bahan gosip. Tapi ya, gimana lagi. Gue sama gosip, nggak bisa dipisahin." Bizar mengusap wajahnya pelan. Kemudian menyahut. "Okay, soal ini saya anggap selesai." Gue mengangguk, lantas menarik napas lega. Masalah pertama, selesai. Tinggal yang kedua, nih. Siapa yang mau mulai nanya duluan? "Dan... soal itu." Bizar menatap gue ragu-ragu. Soal ciuman pasti. Gue menegakkan badan dan bersiap mendengarkan penjelasan Bizar. Okay, tarik napas lebih dulu. Sebelum Bizar menjelaskan kronologi saat kita ciuman di rumahnya, bulu kuduk gue udah merinding duluan. Rasanya sayang banget nggak, sih? Gue ciuman sama dia pas lagi teler! Dom, eling, Dominiq. Eling, Nduk! "Ehem!" gue berdeham supaya mengurangi rasa gugup. Sepasang mata Bizar tertuju lurus ke gue. Memandangi gue selama beberapa detik, sampai akhirnya dia menjelaskan lewat gerakkan bibirnya yang bikin gue salah fokus. Pengin banget gue bunuh diri sendiri sekarang! Selain bar-bar, ternyata gue punya sisi jalang yang nggak gue sadari. Bisa-bisanya malah fokus ke bibirnya Bizar yang agak merah muda, bukan berwarna gelap kayak Bapak-Bapak di luaran sana. Apa... Bizar nggak merokok, ya? "Soal itu...." Bizar memiringkan kepala, sesekali mengacak rambut hitamnya. Sialan. Harus banget dia ngacak-ngacak rambutnya di depan gue! "Iya. Kita ciuman," katanya dengan penuh keyakinan. Gue menarik napas lebih dulu. Sebentar, gue mau nyetok udara sebanyak-banyaknya sebelum gue mati kehabisan napas gara-gara si duda di depan gue ini. "Siapa duluan yang nyosor?" Goblok, Dominiq! "Kamu duluan!" tanpa ragu-ragu Bizar menjawabnya. "Halah, bohong lo! Mana mungkin gue nyosor lo duluan? Apa lagi pembatu lo bilang gue mabuk. Bisa aja lo ambil kesempatan dalam kesempitan!" Bizar menggeleng-geleng kuat. "Saya nggak bohong! Nyatanya emang kamu duluan yang cium saya." Kontan gue menoleh ke kanan dan ke kiri. Siapa tahu pengunjung lain mendengar obrolan gue sama Bizar. Jari-jari Bizar membuka kancing teratasnya, seolah ingin menunjukan sesuatu. "Eh, apaan lo buka-buka! Kancingin lagi, nggak?!" kata gue mendorong-dorong tangannya. Bizar menarik kerah kemejanya dan menunjuk tanda ungu di lehernya. "Kamu tahu, siapa yang bikin tanda ini?!" Bizar menunjuk-nunjuk dengan ujung jarinya. Mata gue melotot. Pengin banget gue tampol mulutnya. Salah gue juga, sih, ah! Harusnya gue bilang maaf aja tadi, kenapa malah ngelak dan malah bikin Bizar nunjukin bekas kissmark yang belum hilang di lehernya. Gue malu banget, sumpah! "Okay! Gue minta maaf. Nggak perlu lo tunjukin lagi, kan?" kata gue. "Supaya kamu yakin. Saya nggak mau dituduh aneh-aneh sama orang." Wajah gue rasanya panas. Kedua tangan gue bergerak mengipasi wajah sesekali mengamati Bizar yang ikutan diem. "Gue... gue ke toilet dulu!" seru gue, lalu beranjak berdiri dari kursi. Si duda mengangguk tanpa mengatakan apa-apa. "Nemu kali, udah nyemplung gue." gue menepuk-nepuk kening sembari berjalan menuju ke toilet. "Dom—" Langkah gue berhenti kurang dari lima langkah dari pintu toilet perempuan saat mendapati orang yang paling gue benci muncul di ambang toilet laki-laki. Segera, gue balik badan dan mengurungkan niat buat masuk ke toilet. "Kenapa balik lagi?" Bizar menengadahkan kepala dan memandangi gue bingung. "Dominiq..." Gue memejamkan mata sambil menggigit bibir bawah. Nggak cukup Bizar yang bikin gue kesal, sekarang gue dihadapkan sama si berengsek—Iwang! Ini orang kenapa masih hidup aja, sih?! "Kamu dipanggil, tuh." Bizar menggerakkan dagu menunjuk Iwang di belakang gue. "Diem," kata gue menggerakkan bibir tanpa suara. Gue harap Bizar paham. "Domi...." Anjing, Iwang. Sialan! "Dom, kamu dipanggil sama orang di belakang—" Bizar membulatkan matanya. Kalimatnya yang belum selesai harus dia telan kembali saat dengan kurang ajarnya bibir gue menyentuh bibirnya. Suara gelas jatuh sama gerabak-gurubuk di belakang pada heboh. Belum lagi pengunjung lain kayaknya pada syok. Jalang. Dasar jalang lo, Dom! Ada banyaknya cara supaya bikin Iwang pergi, lo malah cium si Bizar? To be continue---
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD