Merayakan Kematian

1043 Words
Maura terkepung, dengan kedua tangannya yang bergetar. Tidak ada siapa pun yang membelanya saat ini. Tepat di saat dia melihat celah di antara Ririn dan juga Mitha, dia dengan segera menabrak tubuh mereka. Namun sayangnya, Ririn sudah terlebih dulu mencekal kakinya. "Mau kabur, ya?" Ririn tersenyum penuh kemenangan. "Cepat habisi dia, sebelum wartawan itu kemari." Kedua kaki Maura ditarik paksa oleh mereka. Maura menggerang, mencoba menendang mereka tapi itu semakin membuat mereka bringas. Sementara semua keluarga angkatnya itu justru tertawa puas melihat keadaan Maura.  "Aku tidak akan memaafkan kalian!" teriak Maura.  "Tidak apa-apa, aku juga tidak butuh maaf darimu." Mitha membalas dengan menatapnya miris.  Sementara sopir pribadi Maura yang melihat itu segera berlari ke arah mereka dengan berteriak, "Apa yang kalian lakukan?"  Dengan isyarat gerakan kepala dari Permana, salah satu dari preman itu menahan tubuh sopir itu dan menghajarnya habis-habisan.  "Jangan sisakan siapa pun. Kalau perlu, habisi dia juga!" seru Permana dengan begitu entengnya. Seolah mengambil nyawa seseorang itu semudah meniup ubun-ubun. Kedua tangan dan kaki Maura terikat sekarang. Bukan hanya itu, mereka juga menyumpal mulut Maura hingga mulut dia ternganga dengan menggigit kain itu. Mereka mengikatnya begitu erat, hingga pipi Maura tertekan sekarang. Kemudian tubuh Maura dibawa seperti karung beras, dan sudah ada mobil hitam yang menunggunya di luar. "Nona, Nona!" teriak sopir itu. Tubuhnya sudah penuh dengan darah sekarang. Dia menatap Maura, yang sudah dibawa oleh mereka. BUGH Pukulan terkahir, membuat sopir itu tergeletak dengan begitu menggenaskan. Maura sempat melihat saat itu, tapi dia pun tidak bisa berbuat apa-apa. Tubuhnya di lempar ke dalam mobil dengan dua preman itu yang mengapitnya dari kedua sisi. Entah apa yang akan mereka lakukan setelah ini, Maura hanya bisa pasrah dan berharap semuanya akan baik-baik saja. Mereka melaju dengan mobilnya sendiri, menuju ke kawasan yang terbilang cukup sepi dengan jurang di sekelilingnya. Dia menggeliat, saat mereka bukan hanya mengapitnya, melainkan tangan mereka yang juga ikut menjalar ke mana-mana. "Sebenarnya akan lebih menarik jika kita menjelajahinya terlebih dulu." Salah satu dari mereka berkata dengan bermain di wajah Maura.  "Diamlah! Kamu mau kita semua dihabisi sama Bos Permana?"  "Sayang sekali, padahal dia sangat cantik."  "Cantik-cantik matinya muda." Mobilnya berhenti, mereka keluar satu persatu. Wajah Maura semakin panik, dengan Kedua matanya sudah berembun sekarang. Dia memandangi mereka bergantian dan salah satu dari mereka berkata, "Selamat tinggal Nona Cantik, semoga anda diterima di surga nanti."  Permana memang sudah gila. Semua keluarganya sudah gila dan ingin menghabisinya. Mobil kembali dihidupkan, dan itu berjalan sendiri menuju jurang. Maura sangat ketakutan, dia tidak bisa berkutik dengan semua anggota tubuhnya yang terikat.  Bayangan wajah kedua orang tuanya pun mulai terlintas. Maura meneteskan air mata dengan kedua matanya yang terpejam.  'Ma, Pa, tunggu aku! Aku akan segera menemui kalian,' batinnya saat mobil itu mulai terpesok. *** Di rumah Maura, Permana dan keluarganya bersorak-sorai. Mereka tertawa bersama, dan bukan hanya itu, mereka juga merayakannya dengan minuman dan bersulang ria.  "Sekarang, semua kekayaan Morgan akan menjadi milik kita," ucap Permana dengan mengangkat gelasnya dan kembali mengajak mereka bersulang.  "Kita tinggal menunggu kabar kematiannya, dan tanpa kita rekaysa, mereka akan mengira kalau dia mati bunuh diri." Mitha tertawa mengerikan setelah mengatakan itu.  Ternyata mereka memang berniat untuk meyingkirkan Maura sejak awal. Bahkan Radit pun juga ikut andil dalam rencana mereka. Tidak ada cinta untuk Maura, hanya sebetas mendekati untuk mendapatkan kekayaan keluarganya saja.  "Kita akan menikah sayang," ucap Radit dengan memeluk Mitha. Dia tidak sungkan untuk mencium gadis itu meskipun mereka tengah berkumpul sekarang.  Melihat itu, Ririn hanya memperhatikan mereka dengan senyum senang. Dia juga menoleh ke arah Permana yang juga melihat mereka dengan tertawa kecil. "Pa, bagaimana kalau kita pergi berlibur? Kita rayakan kemenangan kita."  "Tentu saja kita akan pergi berlibur. Tapi kita harus menunggu waktu yang tepat. "KIta juga harus memasang wajah bersedih, agar mereka juga tidak curiga dengan kita. Kalau perlu, kalian berdua harus nangis-nangis di depan wartawan dan juga kepolisian nani." Permana menunjuk ke arah Mitha dan istrinya bergantian.  "Tenang saja, Pa! Aku paling jago untuk masalah itu."  "Mama juga. Kita buktikan, akting siapa yang terbaik di antara kita nanti."  Mereka kembali bersulang, wajah mereka terlihat begitu puas dan senang. Selang beberapa menit, bel rumah mereka kembali berbunyi. Mereka saling melempar pandang, dan Mitha berkata dengan sangat yakin, "Itu pasti polisi."  "Benar, mereka pasti sudah mendengar mobil dia yang meledak itu. Ayo cepat, cepat, bereskan ini dan bersikap biasa saja sebelum mereka mengabari kita." Permana kelabakan, membersihkan semua botol minuman dan gelas dengan dibantu oleh mereka.  Setelahnya, Ririn keluar sebagai perwakilan, sementara mereka berada di ruang keluarga seolah mereka tengah berkumpul bersama.  "Iya, ada apa ya Pak? Apa ada masalah yang membuat kalian datang ke mari?"  Cih, pandai sekali Ririn berkata-kata. Wajahnya begitu polos, seolah tidak mengetahui apa pun.  "Kami ke sini membawa kabar bahwa mobil anak anda yang bernama Maura Azzalea Morgan telah terperosok ke dalam jurang dan meledak."  Wajah Ririn berubah sok panik. Mulutnya menganga dengan tangan kanan yang membungkam mulut itu. Kemudian, Permana keluar dari dalam rumah dengan berkata, "Ada apa, ma?"  "Ara, Pa! Mobil Ara masuk ke dalam jurang dan meledak." Ririn berkata dengan nada yang gemetar dan mulai sesenggukan.  Kemudian, Radit dan Mitha keluar bersamaan. Mereka memasang wajah yang sangat terkejut sampai Mitha menangis histeris.  Dasar, b******k memang.  Ririn menggerang dengan merangkul Permana. Dia terisak di dalam d**a suaminya itu dengan terus menerus memanggil nama Ara.  "Tenanglah, anak kita pasti baik-baik saja, Ma. Pak, bagimana dengan anak kita?"   "Kebakaran itu sangat hebat, kami sudah mengirim tim penyidik, tapi kami juga belum bisa menemukan jasad anak kalian. Apa kalian bersedia ikut kami ke kantor polisi untuk memberikan keterangan?"  Sementara Ririn dan Mitha masih menangis histeris, hingga Mitha berteriak, "Kakak!"  Munafik sekali. Padahal selama ini Mitha tidak pernah menyebut Maura seperti itu. Sekarang, mereka berdalih seolah-olah mereka sangat menyayanginya.  Sampai di kantor polisi, mereka memberikan laporan, kalau mereka tengah menyelesaikan permasalahan mereka tadi. Kemudian, Maura pergi begitu saja, menceritakan seolah Maura tidak bisa menerima kejadian ini.  Termasuk Radit yang juga diminta keterangan dan dia menjawab, "Saya tidak bisa mengejar dia Pak, karena dia begitu marah dengan saya."  Berita perseteruan mereka sudah menyebar luas, bahkan itu menjadi tranding topik hari ini. Akan tetapi, baik Radit maupun Mitha seperti tidak keberatan dengan kejadian itu.  "Bagus, tidak ada yang curiga dengan kita. Malam ini kita akan berpesta," lirih Permana kepada mereka semua. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD