Sembilanbelas

1701 Words
Jika kamu mencintai seseorang, Bebaskanlah mereka.  Jika mereka kembali maka ia milikmu.  Jika tidak, tinggalkanlah. [] ♥♥♥♥♥ Achi menatap lemari yang kemarin baru ditatanya ulang. Bingung mau mengenakan baju apa untuk menghadiri acara reunian Arham. Sudah tiga kali ia membongkar dan menyusun baju-baju itu, tapi dia belum menemukan sesuatu yang pas untuk dikenakannya sampai Arham masuk kedalam kamar. “Kok bajunya diserakin lagi Chi?” Achi menoleh ke asal suara, suaminya sudah berdiri di sampingnya.  “Oh Abi. Ini, Achi bingung mau pakai baju apa. Pakai baju apa ya bagusnya?” “Pilih aja salah satu. Istri Abi makai apa aja bagus kok, apa lagi kalau nggak...” ujar Arham nakal. Achi mendelik ke arah Arham. Mencubit pinggang Arham yang mengerling nakal itu.  “Abi ini loh, istrinya serius malah di main-mainin. Ntar Abi juga yang malu kalo Achi asal-asalan pilih bajunya.” “Ya jangan asal-asalan juga lah Chi. Pilih yang bagus dong...” “Bingung mana yang bagus Bi. Rasanya semua sama aja. Coba deh Abi lihat,” Arham melihat baju-baju yang ditunjuk Achi. Ia ikut membolak-balik beberapa. “Yang ini bagus sayang, Abi belum pernah lihat kamu makai yang ini. Coba pakai, biar Abi lihat,” Achi meraih baju terusan yang dipilihkan suaminya. Ia jarang memakai baju itu, tapi entah mengapa ia memasukkannya kedalam tas pakaiannya.  Baju itu panjang menjuntai ke bawah. Kainnya ringan dan akan bergoyang ketika Achi berjalan. Di bagian bawah d**a ada pita yang membuat tubuh pemakainya terlihat ramping. Coraknya polkadot berwarna mirrabella dengan warna dasar hitam. Tidak norak, malah Achi terlihat anggun ketika memakainya. Kulitnya yang kuning langsat terlihat cerah ketika memakainya. “Gimana kelihatannya Bi?” Arham terkesima melihat sang istri mengenakan pakaiannya itu. “Kamu cantik Chi. Wah, pasti banyak yang iri nih kalau Abi bawa kamu nanti. Atau jangan-jangan kamu malah ditaksir orang lagi.” “Boleh lah ditaksir Bi, asal jangan ditawar aja lah..” Achi terkekeh. “Sembarangan kamu,” Arham mengecup pipi Achi lalu beranjak bangkit dari duduknya. “Udah, buruan siap-siap, ntar lagi kita berangkat ya.” “Abi pakai baju itu aja? Nggak ganti lagi?” “Ini juga udah cakep kan? Atau Abi harus ganti lagi?” “Abi ganti aja deh. Pakai kemeja ini, biar keren.” Achi menyodorkan sebuah kemeja kotak-kotak berwarna merah hati. Arham tersenyum, “Baiklah istriku sayang.” ♥♥♥♥♥ “Oi Am....” teriak teman-teman Arham begitu melihatnya masuk ke aula sekolah mereka dulu. Arham yang dipanggil langsung mengajak Achi untuk mendekati teman-temannya yang sudah berkumpul itu. “Cie, bawa cewek cantik dia ah...” ledek beberapa temannya. “Kenalin, ini Arsy, istriku.” Kata Arham memperkenalkan Achi kepada teman-temannya. Mereka terkejut, tak menyangka bahwa Arham akan menikah secepat itu, maklumlah, juara umum di sekolah mereka itu terkenal cukup pendiam dan pemalu. Achi merapatkan kedua telapak tangannya, tidak bersentuhan langsung dengan tangan teman-teman Arham. “Wah, nggak ngundang-ngundang kau ya Am,” salah seorang teman menepuk pundak Arham. “Pas PPL kemarin akad nikahnya, resepsinya pertengahan bulan kemarin. Agak mepet, jadi nggak sempat ngabar-ngabari kalian. Lagian kalau dikabari juga belum tentu kalian datang, kan acaranya di Medan,” Seseorang diantara mereka melirik curiga, “Mepet Am? Jangan-jangan....” “Jangan-jangan apa Cep? Jangan mikir aneh-aneh kau ya Ceper...” Arham menepuk pundak temannya yang dipanggil Ceper itu. Arham langsung cepat berbaur dengan teman-teman lamanya itu. Diantara mereka terlihat ke tiga sahabat Arham, Agus, Enda, dan Saiful. Mereka langsung mengajak Achi mengobrol dan berkenalan dengan kekasih mereka, lebih tepatnya kekasih Agus dan Saiful. Linda dan Dessy. Kekasih Enda berada di Medan, jadilah Enda sendiri hari itu. Mereka memperkenalkan Achi sebagai kekasih Arham, bukan nyonya Arham. “Chi, sebentar ya. Abi dipanggil guru tuh. Kamu tunggu disini ya,” kata Arham ketika salah seorang guru melambaikan tangan memanggilnya. Achi menganggukkan kepalanya, tersenyum. Dia tidak begitu suka keramaian, apalagi dengan orang-orang yang tidak dikenalnya. Namun karena sang suami mengajaknya untuk ikut menghadiri acara reunian ini, maka ia harus ikhlas mengikutinya. Diambilnya es buah yang sudah diletak di dalam gelas dan duduk menunggu Arham sambil menikmati buah-buahan yang dicampur sirup berasa leci itu. Linda dan Dessy yang bukan merupakan alumni sekolah itu pun duduk disampingnya. Menikmati alunan musik yang disajikan, sambil sesekali bercengkrama untuk berbasa-basi. “Achi teman kuliah Bang Arham?” tanya Linda. “Iya, teman kuliah, tapi nggak satu fakultas. Kalau Linda sama Dessy teman kuliah Agus sama Saiful juga?” “Iya. Kami sama-sama di kuliah Riau. Aku satu kelas malah sama Agus.” Jawab Linda. “Kalau Dessy?” Achi beralih pada gadis berjilbab hijau di samping Linda. “Dessy beda jurusan sama Saiful. Tapi fakultasnya dekat,” gadis itu tesenyum malu-malu. “Achi jurusan apa?” tanya Linda yang lebih banyak bicara. “Achi ngambil pendidikan bahasa Inggris. Berarti Linda anak pertanian juga ya?” “Gitu lah. Gimana kuliah di Medan, enak?” “Lumayan. Sama kayak kampus-kampus lain juga kok.” “Iya ya. Sesekali pengen juga main ke Medan. Tapi nggak tahu mau kemana.” “Main-main lah ke Medan. Ntar Achi temenin jalan-jalan. Dessy juga dong. Cowok-cowok kita kan sahabat dekat tuh, kita juga sahabatan dong,” tawar Achi. “Ah iya. Ntar dikabarin deh kalau main ke Medan.” Achi tersenyum kearah kedua gadis itu. “Achi tunggu loh kabarnya.” Mereka kembali terdiam, menikmati alunan musik yang terkadang slow, terkadang ngebit. Linda permisi ke toilet ditemani Dessy.  Di pojok ruangan seorang gadis sedari tadi tengah memandang ke arah mereka dengan pandangan tajam. Lebih tepatnya ke arah Achi yang menikmati es buah di tangannya. Melihat Linda dan Dessy beranjak pergi, gadis yang didampingi dua orang temannya itu berjalan mendekati Achi. Mengenakan dress sepanjang paha yang membungkus ketat tubuh langsingnya, berjalan bak seorang model top diatas catwalk. Dengan wajah cantiknya, bergaya layaknya gadis di kota metropolitan. “Hai,” sapa teman si gadis cantik sinis. Disapa demikian Achi hanya tersenyum. Dia tidak mengenal gadis itu. Sejak tadi Arham hanya mengenalkannya pada beberapa teman lelakinya. Wanita yang dikenalnya di acara ini pun hanya Linda dan Dessy yang saat ini sedang ke toilet. “Bukan alumni sini ya?” tanya teman yang satunya. “Iya,” jawab Achi singkat, masih tersenyum. Dari jauh Enda memandang ke arah istri sahabatnya itu. Melihat siapa yang sedang menyapa gadis itu, ia bergegas mencari ketiga sahabatnya. Jangan sampai ada perang dunia disini. Rutuk batinnya. “Kamu siapanya Aam? Kok tadi datang sama dia?” tanya gadis cantik itu tanpa basa-basi, nada suaranya terdengar sinis. Achi sedikit terkejut. “Oh, temannya Aam. Kalian temannya Aam juga ya?” Teman si gadis cantik menaikkan alisnya. “Kamu nggak kenal dia? Dia ini mantan pacarnya Aam. Cewek yang paling dicintai Aam.” Si gadis cantik mengulurkan tangannya untuk bersalaman, “Zha, Hafiza. Mantannya Aam.” DEG!!! Orang yang sedari tadi tidak ingin dijumpainya malah mendatanginya. Cemburukah dia Achi datang bersama Arham. Achi menyambut uluran tangan itu. “Kamu siapanya Aam? Temannya kok keliatan mesra banget tadi?” selidik Hafiza. “Ah, enggak, biasa aja kok. Udah lama dulu pacaran sama Aam?” tanya Achi ringan. Dia cukup bisa mengendalikan diri, biarlah makhluk-makhluk cantik di depannya ini tidak tahu apa-apa. Pertanyaan Achi tak dihiraukannya, dia malah balik bertanya, “Kamu bukan alumni sini kan?” Achi tersenyum, perasaan tadi udah dijawab deh, cantik-cantik kok b***k. “Iya, bukan. Kenapa ya?” “Enggak, aneh aja ngeliat si Aam bawa orang asing. Kamu siapanya sih?” tanya Hafiza lagi. “Dia pacarnya Aam!” Enda yang berada di belakang mereka menjawab pertanyaan yang ditujukan untuk Achi itu. Ia tidak dapat menemukan kedua sahabatnya. Mereka sibuk berbicara dengan kepala sekolah, begitu juga Arham. Jadilah ia bergegas untuk menghampiri Achi tanpa sahabat-sahabatnya. Hafiza dan kedua temannya tampak terkejut. Tapi dengan cepat ia mengendalikan dirinya lagi. “Oh, jadi ini toh pengganti aku. Aduh, matanya si Aam itu dimana sih? Masa jauh-jauh kuliah ke Medan dapetnya cewek kayak gini.” Ujarnya berkacak pinggang. Enda ingin membalas ucapannya, tapi sudah terdahului Achi. “Memangnya harapan kamu Aam dapat pacar yang gimana sih?” Hafiza melipat tangannya di d**a. “Hhh... Ya paling nggak yang ada lebihnya dari aku lah, bukan yang sederhana kayak kamu gini.” Ia menunjuk Achi.  “Katanya anak Medan ya? Masa orang kota gayanya sederhana kayak gini. Apa sih lebihnya kamu dari aku? Aam... Aam...” Achi merasa dadanya perih. Seperti tertusuk pisau yang dalamnya luar biasa. Ingin sekali ia membalas ucapan perempuan yang ada di depannya ini, tapi untuk apa membalas kejahatan dengan kejahatan? Hanya akan menambah luka saja kan? “Ah, kalau begitu sayang sekali ya Hafiza. Ternyata harapan kamu nggak sesuai dengan kenyataan yang ada. Tapi itulah kenyataannya, Arham lebih memilih saya yang sederhana ini rupanya.” Achi tersenyum. DAMN!!  Hafiza merasa tersinggung. Bisa-bisanya Achi tersenyum ketika disindir seperti itu. Tangannya terangkat, mengarahkannya ke pipi Achi tepat saat MC mengajak hadirin untuk menari bersama.  Achi menunduk menghindar, untungnya tangan Enda jauh lebih cepat dari tangannya. Ia menarik Hafiza ketengah, mencengkram tangan gadis itu sambil bergaya seolah-olah mereka sedang menari. “Jangan ganggu dia! Untuk Aam, dia lebih dari sekedar pacar.” Enda mendesis tajam.  “Walaupun kamu pernah jadi kekasih Aam, sekarang kamu itu nggak lebih dari sekedar cewek murah. Beruntung Aam lepas dari kamu dan sekarang dia dapat Achi sebagai gantinya. Istrinya!”  Enda menekan ucapannya pada kata istri. Ia melepas tangan Hafiza yang seperti tersengat listrik ketika mendengar ucapan Enda. Ditempatnya Achi berdiri mematung. Badannya gemetar menahan emosi. Berkali-kali dia beristigfar untuk menenangkan hatinya. Arham yang menerima SMS dari Enda langsung mendekati istrinya itu. “Kamu nggak apa-apa Chi?” tanyanya khawatir. “Boleh kita pulang sekarang, Bi?” suara Achi terdengar parau.  Matanya memerah, menahan butiran air mata yang meronta ingin segera keluar menggantikan rasa sakit yang ada di d**a. Arham bingung. Mereka baru setengah jam disini. Ia masih rindu pada guru-gurunya.  “Sebentar lagi ya Chi. Abi masih ada urusan sama guru. Kamu nikmati aja dulu hidangannya. Okey?” Achi tersentak. Tidak bisakah Arham merasakan bahwa dia sedang terluka? Tak ingin membantah suaminya, ia pun menganggukkan kepalanya. “Ya udah, kalau gitu Abi nemuin guru lagi ya. Kamu disini aja yah.” Arham mengelus kepala Achi. Huh! Enda ngagetin aja. Wong Achi baik-baik aja toh. Buat khawatir aja. ♥♥♥♥♥
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD