Duapuluh

1397 Words
Pertarungan terburukmu adalah  Memilih antara apa yang kau ketahui Dan apa yang engkau rasakan  __Alex Haditaghi ♥♥♥♥♥ “Kamu kenapa sih Chi? Sejak pulang dari acara reunian diam aja. Apa yang salah? Kamu bilang dong.” Tanya Arham ketika ia selesai shalat tahajjud. Arham menoleh kepada Achi yang sudah lebih dahulu selesai shalat. Malam ini mereka tidak shalat berjama’ah seperti biasanya. Memang sejak pulang dari acara reunian mereka hanya diam. Achi tak tahu harus berkata apa. Ia paham Arham bukanlah sesosok pria yang romantis, yang bisa mengungkapkan perasaan dan mengatakan berjuta kata sayang setiap hari.  Bukan salah Achi juga kalau dia terus-terusan menjadi perajuk yang handal. Ia melakukan itu untuk mendapat perhatian lebih dari suaminya yang super cuek itu. Tapi bukan Arham juga namanya kalau ia dapat mengerti suasana hati seseorang dengan cepat. Arham terlalu tidak peka untuk itu. Lihat saja, sudah pasti ada yang tidak beres dari istrinya kalau dia sampai diam seribu bahasa sejak pulang tadi. Ia hanya masuk kedalam rumah, menyiapkan pakaian ganti untuk Arham, sesudahnya ia sendiri membersihkan diri. Keluar dari kamar mandi ia shalat isya sejenak, lalu tidur tanpa berbicara dengan suaminya. Mungkin malaikat akan melaknatnya sampai pagi, tapi hatinya sudah terlanjur sakit. Kali ini Arham sangat keterlaluan padanya. Ia ingin laki-laki itu paham akan sakit hatinya. Arham bangkit dari duduknya. Mendekati Achi yang berbaring memunggunginya. “Chi, Abi punya salah ke kamu?” Achi hanya diam, Arham tahu bahwa istrinya itu belum tidur. Bukan kebiasaan Achi untuk tidur setelah shalat tahajjud. “Diam itu nggak menyelesaikan masalah, Chi. Kamu harus ingat, kalau punya masalah, kita harus diskusikan bersama. Ini rumah tangga kita. Tidak baik kalau sampai bapak sama ibu melihat kita diam-diaman seperti ini.” Achi tetap diam. Tidak ingin mengeluarkan sepatah katapun. Air mata yang terus menetes dipipi dibiarkannya mengalir, tidak ingin ditahan karena akan membuat tubuhnya merasa terguncang. Sesekali terdengar isakannya, pelan. “Kamu benar-benar nggak mau bilang apa masalahnya Chi? Kamu fikir dengan kamu diam masalah yang nggak jelas ini akan selesai, Chi?” Lagi-lagi diam. Hanya isakan yang terdengar. “Baik! Terserah kamu saja. Kalau kamu fikir diam dan tangismu itu bisa menyelesaikan masalah yang sebenarnya Abi nggak tau, menangis saja sampai kamu puas! Menangis saja sampai pagi! Kalau perlu sampai bapak dan ibu dengar!” Arham bangkit menuju keluar kamar. Bingung. Ia tak tahu harus berbuat apa. bukan sekali ini ia bertengkar dengan Achi, tapi ia juga belum pernah melihat Achi sekeras kepala ini, tidak ingin mengungkapkan apa yang menjadi permasalahannya. Kali ini ia tidak dapat mengontrol emosinya. Tubuhnya letih, ditambah lagi batinnya. Apa sebenarnya aku yang tidak paham? Memang apa masalahnya? Aku bukan ahli sihir yang bisa meramal apa yang telah terjadi sebelumnya. Ah kehidupan! ♥♥♥♥♥ Tak seperti hari-hari sebelumnya yang sehabis subuh Achi berada di dapur untuk membantu ibu mertuanya memasak. Hari ini ibu mertuanya absen memasak dengan alasan berbelanja keperluan warung. Hal itu memang selalu dilakukan sang ibu tiap tiga hari sekali. Jadilah Achi memasak apa yang ada di dalam kulkas sendiri. Syukurnya sang ibu pergi bersama Arham, jadilah ia tak perlu bersusah payah untuk menenangkan hatinya tiap sang suami ada disekitarnya. “Mbak, ikannya gosong tuh!!” Fadlan dengan sigap mengambil sutil dan membalik ikan yang dibiarkan Achi berenang sendiri di dalam minyak panas selagi ia terdiam merenung. “Oh, aduh!! Makasih ya Lan.” Achi menggaruk kepalanya yang terbungkus jilbab. “Kok bengong aja sih Mbak?” “Ah, nggak apa-apa kok Lan. Kamu nggak nemeni bapak ke kandang? Biasanya nggak absen kamu ngapelin kekasihmu itu,” “Mbak ini, masa Bejo dibilang kekasih aku sih. Kayak nggak ada cewek lain aja dikampung ini.” Fadlan menggaruk-garuk tengkuknya salah tingkah. “Males ah Mbak, bagusan nemenin Mbak masak, dari pada sarapan ikan gosong,” ledek Fadlan. Achi tertawa mendengar ledekan Fadlan. Fadlan sangat berbeda dengan abangnya. Lelaki yang satu ini periang dan humoris, berbeda dengan Arham yang pendiam dan kaku. Beberapa hari disini lelucon Fadlan lah yang membuatnya tidak merasa bosan. Kemarin ia baru mengambilkan kelapa muda untuk Achi, lalu hari ini dia menemani Achi memasak. “Kamu ini Lan, bisanya cuma ngeledekin Mbak aja. Sana cari kerjaan lain,” “Males loh Mbak. Ntar kalau Mbak bengong lagi gimana? Beneran makan ikan gosong kan jadinya,” “Nggak bakalan gosong lagi lah Lan. Tadi kan unsur ketidak sengajaan. Atau kamu tolongin Mbak masak nasi deh, Mbak belum masak nasi tuh.” “Hmm, oke lah kalau begitu. Alan masak nasi aja. Mbaknya bawel,” ledeknya lagi. ♥♥♥♥♥ Kalau ada kontes pemilihan aktris berbakat tingkat kampus, mungkin Achi akan menjadi juaranya. Tak salah dosen drama dan dosen poetrynya melabeli dirinya sebagai mahasiswa paling berbakat dalam akting. Lihat saja sekarang, jelas-jelas dia dan Arham sedang menghadapi perang dingin, tapi dengan kepandaiannya ia berakting layaknya suami istri yang rumah tangganya sangat harmonis. Menyendukkan nasi ke piring Arham, menuangkan air ke dalam gelasnya, menawarkan untuk diambilkan sayur, ikan, dan segala macam lauk yang dimasaknya bersama Fadlan pagi ini. Arham yang diperlakukan demikian berasumsi bahwa sang istri sudah tidak marah lagi padanya. Ia pun merespon dengan baik perlakuan Achi tersebut. Bapaknya tersenyum melihat Achi begitu perhatian kepada anak sulungnya itu.  Tapi tidak dengan sang ibu, pemilik naluri setipis kaca, yang dapat dengan mudah merasakan getaran lain yang terjadi. Wanita separuh baya itu melihat perlakuan Achi terhadap Arham dengan kaca mata lain. Ini bukan Achi yang biasanya.  Achi memang biasa menghidangkan makanan untuk Arham, tapi tidak seperti hari ini. Biasanya ia hanya menyendukkan nasi saja, lalu lauk, Arham sendiri yang akan mengambilnya, karena anaknya yang satu ini cukup pemilih soal makanan, tidak terlalu suka cabai, lain dengan Fadlan. Sepandai-pandainya tupai melompat, akhirnya tergelincir juga. Mungkin itu yang cocok untuk menggambarkan keadaan Achi sekarang. Sepandai apapun ia menyembunyikan perang dinginnya dengan sang suami, sepandai apapun ia berakting bahwa tidak terjadi apapun terhadap dirinya, pasti ada saja silapnya.  Mereka masih di meja makan ketika Achi membereskan piring bekas makan. Saat itu Arham hendak membantunya membereskan piring dan gelas itu, tapi Achi menolaknya dengan halus. Bukan Arham namanya jika keinginannya tidak terpenuhi, ia tetap memaksa untuk membantu Achi. Tapi Achi yang masih menyimpan bara dihatinya, mendesis tajam ke arahnya. “Lepas! Achi nggak butuh dibantu!” Pelan, sangat pelan, sampai hampir tidak terdengar. Tapi ibu mertuanya melihat gelagat aneh dari sang menantu. Ia memanggil Arham untuk membantunya di depan, membiarkan Achi mendinginkan perasaannya. ♥♥♥♥♥ Arham duduk di warung ibunya setelah membantu wanita itu membuka papan-papan penutup warung. Sang ibu duduk disampingnya, mengelus kepalanya. “Am, istri marah itu biasa dalam rumah tangga. Coba kamu yang ngalah nduk, mungkin kamu yang salah. Nggak mungkin istrimu sampai semarah itu kalau bukan karena salah kamu,” Arham terkesiap. Ia saja tidak paham bahwa Achi masih marah. Dipandanginya wanita yang telah melahirkannya itu. “Kamu bingung kok Ibu bisa tahu? Cara Achi untuk menyembunyikan kemarahannya memang luar biasa, tapi manusia tidak bisa melakukan semua hal dengan sempurna kan? Pasti ada celanya. Mungkin kamu masih kurang peka dalam menanggapi istrimu.” “Jadi Aam harus gimana, Bu?” “Coba kamu dekati baik-baik. Masak kamu yang anak kuliahan kalah sama Ibu yang cuma tamat SMA? Kamu calon guru pula, harus bisa dong kamu hadapi yang seperti ini.” “Tadi pagi Aam udah coba tanya baik-baik Bu, tapi Achinya cuma diam. Memangnya Aam lagi ngomong sama patung? Aam kan jadi emosi Bu,” “Itulah kamu, sifatmu seperti Bapak, emosinya suka tidak terkontrol. Tapi biar begitupun Am, Bapakmu itu nggak pernah sekalipun main tangan ke Ibu. Ia tetap menyayangi Ibu dan kalian anak-anaknya dengan cara tersendiri.  Mungkin kamu dan Alan menganggap Bapak itu galak, tapi sebenarnya dia yang sangat memikirkan kalian. Tiap minggu selalu dia yang mengingatkan Ibu untuk menelepon kamu di Medan.  Selalu ingin tahu kabar kamu, tapi dia merasa malu untuk menghubungimu sendiri. Hadapi istrimu Am, suami itu harus punya kesabaran yang luar biasa banyak. Karena kamu itu pemimpin di rumah tanggamu.” Arham tertegun, benar kata Ibunya. Ia masih tidak bisa mengontrol emosinya. Belum lagi sifatnya yang cuek dan egois. Inginnya mengatur, tapi paling tidak suka diatur. Maunya semua berjalan dengan rencananya, tapi begitu kenyataan tidak sesuai dengan harapan, ia dengan cepat putus asa. Kemandirian tidak membuatnya menjadi sosok yang tahan banting, ia malah tidak tahan menghadapi tekanan. Ia akan mencoba pergi jika tekanan yang didapatnya tidak lagi dapat dihadapinya. Berkali-kali ibunya membantunya untuk bangkit, wanita yang luar biasa itu sangat tabah menghadapi kelakuan anak sulungnya itu. ♥♥♥♥♥
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD