Jangan Ganggu Pacarku!

2217 Words
Alex dan Larisa tidak sadar jika pembicaraan keduanya didengar oleh Resty yang duduk membelakangi bangku mereka. Posisi duduk Resty memang terhalang oleh tiang besar yang ada di antara mejanya dan meja kedua sahabat itu. Siang ini dia makan sendiri, karena kekasihnya sedang kunjungan ke pabrik bersama CEO. Selama mendengar pembicaraan Alex dan Larisa, berkali-kali dia mengepalkan tangannya. Kesal dengan sikap tidak tahu malu gadis itu dalam mengejar Dewa. Padahal berkali-kali Resty mengingatnya untuk tidak mengganggu lelakinya. Bahkan gadis itu beberapa kali dikerjai oleh dirinya dan teman-temannya. Larisa tetap tidak kapok. Dia pantang mundur dan menerima bulian darinya dan teman-teman yang lain. Wajah wanita dewasa itu masam mendengar semua celotehan Larisa. Amarahnya sudah sangat memuncak. Resty bergegas berdiri dengan menahan semua amarahnya. Di kepalanya penuh dengan rencana untuk membuat Larisa kapok mengganggu hubungannya dengan Dewa. Sampai di mejanya, dia sibuk berpikir, bikin rencana untuk mengerjai Larisa. “Hai Res, kog mukanya asem begitu?” sapa Liana yang tampaknya juga selesai makan siang. Keduanya jarang makan bareng karena dia lebih sering bareng teman satu timnya, sedang Resty bersama Dewa. Resty menoleh ke arah Liana. Sahabatnya yang sering membantunya untuk mengerjai Larisa. “Si keriting itu masih aja ngejar laki gue,” Resty mengadu. Liana tertawa, satu divisi sudah tahu hal tersebut. Liana pun heran dengan keberanian juniornya itu. Padahal Dewa tidak meresponnya, tetapi dia benar-benar pantang mundur. Tidak kurang-kurang dia dikerjai oleh Resty dan kawan-kawan, sudah pula diancam, tetapi si keriting cantik itu tetap saja menjatuhkan hatinya pada boss mereka. “Kenapa lagi anak itu?” Liana duduk bersandar pada meja. “Tadi di kantin, dia sudah dinasehati Alex supaya jangan ganggu gue dan Dewa, tapi anak itu bebal,” adunya kesal. Liana meringis mendengarnya. Dia tahu Alex yang kelewat sayang kepada Larisa, tetapi tidak bisa berbuat apa-apa selain menasehati. Mungkin karena hubungan kekerabatan, jadi laki-laki itu tidak bisa marah dengan sifat bebal gadis cantik itu. “Mana gue lagi pusing sama nyokapnya Dewa, ditambah kelakuan anak itu yang nggak punya malu,” keluh gadis cantik berkulit langat tersebut. Liana menatap Resty prihatin. Buat lingkaran pertemanan terdekat gadis itu, paham sekali tentang restu mamanya Dewa yang tak kunjung datang. “Nyokap Dewa masih nggak mau ngelamar elo ke bokap?” tanya Liana. Sedang kepala Resty mengangguk dengan gontai. “Gue takutnya kalau Dewa nyerah, Li. Takut dia lebih berat ke nyokapnya,” ujar Resty, nafasnya terasa sesak. “Selama ini kan dia membuktikan kalau nggak nyerah, Res,” hibur Liana. Resty mengangkat bahunya. “Kita nggak tahu ke depannya.” Liana mengerenyitkan dahinya. “Kenapa lagi?” “Bokap gue juga udah mulai susah, Li,” beritahu Liana. “Eh, maksudnya?” tanya sahabatnya bingung “Kata bokap, restunya nggak turun kalau nyokap Dewa nggak bersedia ngelamar gue,” akhirnya jebol juga pertahanan dirinya. Air mata Resty pun tumpah. Liana segera memeluk sahabatnya, mengambil tisu dan mengusapnya di kedua pipi Resty. “Jangan nangis, lo harus kuat demi Pak Dewa,” hibur Liana. Resty sengungukan dalam pelukan Liana. Sekitar lima menit, keduanya larut dalam diam. Liana memeluk dan menenangkannya, sedangkan Resty mencoba meredakan tangisnya. “Makanya, rasanya gue pengen banget nampar si keriting itu, biar nggak ganggu Dewa,” bisik Resty, begitu bisa meredakan tangisnya. Liana menghela nafasnya panjang. Kemudian sebuah ide tiba-tiba muncul di kepala jahatnya. “Kenapa nggak dibikin cacat aja? Kalau sudah cacat, mana mungkin dia berani ganggu kalian. Bisa jadi malah resign,” usul Liana. Resty menatap wajah sahabat kriminalnya itu. “Gila, Lo! Kalau ketahuan, habis gue,” protes gadis tinggi semampai bak model itu. Tangisnya masih tersisa di nafasnya yang belum sepenuhnya tenang. “Itu kalau ketahuan. Kalau nggak ketahuan, ya aman,” sergah Liana. Resty tampak berpikir. Tampaknya dia mulai tertarik dengan ide sahabatnya itu. Bisa dibilang sudah mentok untuk menghentikan tingkah bar-bar Larisa. “Enaknya diapain?” Resty meminta saran. “Bikin dia seolah nggak sengaja jatuh di tangga. Kan ngglundung tuh, sukur-sukur kepalanya kebentur. Paling ringan gegar otak lah,” Liana menjelaskan dengan santai. “Jahat Lo,” cengiran Resty menandakan dia tidak serius mengatakan sahabatnya jahat. Matanya masih sembab, tapi senyumnya sudah kembali begitu mendengar ide dari Liana. “Di tangga darurat sepi tuh, lakuin deh di sana,” saran Liana kemudian. “Ada CCTV, Neng,” sanggah Resty. “Cari sudut yang nggak kebaca CCTV dong, onenggggg,” Liana memutar bola matanya. “Gimana caranya?” tanya Resty dengan takut. Dia masih belum begitu paham dengan cara kerja CCTV. Selama ini perhatiannya tidak sampai ke sana. “Lo diem di sini dulu, gue cari tahu dulu,” ucap Liana. Sedetik kemudian, sahabatnya itu menuju ke arah tangga darurat berada. Sambil menunggu, Resty melanjutkan pekerjaannya. Tetapi sungguh, dia tidak tenang. Selama Liana pergi, duduknya gelisah. Adrenalinnya terpacu antara takut tapi juga senang bisa punya rencana untuk menghentikan kegilaan Larisa yang masih saja mengejar kekasihnya. “Gimana?” tanya Resty begitu dilihatnya Liana melenggang ke arahnya. Sejurus kemudian, setelah dirasa aman, dia mengajak perempuan itu ke tangga darurat. Liana membuka pintu menuju tangga hati-hati, kemudian menyuruh Resty untuk mengikuti gerakannya, yaitu berdiri dengan punggung menempel dinding di dekat pintu, di bawah CCTV yang terpasang. “Lo lihat kamera ada di bawah pintu?” tanya Liana untuk memastikan. Resty menganggukkan kepalanya. “Jadi tangga jelas dalam jangkauan pengawasan,” beritahu Liana Resty mengernyitkan dahinya. Masih belum terlalu paham dengan rencana yang dipaparkan Liana. “Kasih cairan pel agak banyak di situ,” Liana menunjuk ke anak tangga kedua dari atas. Resty memperhatikannya. “Nanti, Lo bikin Larisa berdiri di sekitar situ. Ajak berantem, pojokin ke arah cairan itu, biarin dia kepleset,” jelas Liana kemudian. “Cairan pelnya?” tanya Resty lagi. “Biasanya Cleaning Service bersihin toilet yang deket tangga ini jam empatan. Nanti gue alihin perhatiannya, Lo ambil cairan pelnya, terus lakuin apa yang sudah gue kasih tahu tadi,” jawab Liana menjelaskan panjang lebar. Resty mengangguk paham setelah mendengar penjelasan Liana. “Marahin dulu, terus tinggalin. Nanti dia jalan pasti kepleset. Karena langkah kaki dia lebar, kemungkinan besar nginjek cairan itu,” Liana kasih penjelasan lagi. Resty menyeringai mendengarnya. “Oh iya, kalau nuangin cairan, usahain Lo jangan terlihat kamera,” Liana mewanti-wanti. “Oke,” jawab Resty berseri-seri. Kena Lo sekarang anak nakal, geram Resty dalam hatinya. Di kepalanya sudah terbayang bahwa gadis kecil pengganggu itu akan celaka. Setelah dari tangga darurat, Resty dan Liana bergegas ke ruangan tempat Larisa bekerja. “Risa!” seru Resty memanggil Larisa yang asyik di meja gambarnya. Reina yang duduk di kubikelnya, terletak di paling ujung kumpulan kubikel para staffnya yang memanjang saling berhadapan, mendongakkan kepalanya, menatap heran ke arah Resty. “Kenapa manggil Larisa, Res?” tanya Reina seraya berdiri dari mejanya. “Aku ada perlu sebentar sama dia,” jawab Resty ketus. Reina menghela napas, membuang kesalnya pada perempuan yang mengganggu kerja anak buahnya ini. “Samperin langsung, bicara baik-baik kan bisa,” katanya dengan nada rendah. Kadang dia heran dengan Dewa yang tidak menyadari sifat Resty yang suka seenaknya seperti ini. Padahal dia beberapa kali memergoki keburukan kekasih boss yang lagaknya seperti nyonya besar. Cinta memang buta, ucapnya dalam hati. Tanpa merespon perkataan Reina, Resty menghampiri Larisa yang sudah duduk menghadapinya. “Pulang kerja, saya tunggu kamu di tangga darurat,” katanya ketus. “Ada apa, kak? Kenapa nggak sekarang aja?” tanya Larisa dengan mimik wajah kebingungan. Biasanya juga kalau mau marah langsung saja marah, ucap hatinya. Dia was-was kalau Resty mau mengerjai dirinya seperti yang sudah-sudah. “Nanti aja,” Resty ngotot. “Aku lembur kayaknya, Kak,” sergah Larisa. “Ya sebelum lembur lah,” Resty masih bersikeras. Dia lalu berbalik, meninggalnya ruangan diiringi oleh Liana, tanpa merasa perlu mendengar jawaban juniornya itu. Larisa menghembuskan nafasnya keras. Dia tahu akan ada masalah lagi. Meskipun sudah bersikap cuek, entah kenapa hari ini ada firasat nggak enak yang dirasakannya. Reina menghampiri Larisa, menepuk pelan bahunya. Prihatin melihat juniornya itu. “Nanti biar kutemani,” Reina menawarkan diri. Dia bukan tidak tahu jika juniornya itu suka mendapatkan perundungan dari Resty dan teman-temannya. Beberapa kali dilihatnya Larisa balik ke ruangannya dengan lebam di beberapa bagian tubuhnya yang tersembunyi. Tetapi gadis itu tidak mau mengaku jika ditanya. Kali ini dia ingin berjaga-jaga demi keselamatannya. Tapi tawarannya ditolak oleh Larisa. “Nggak usah, Bu. Paling dimaki-maki,” jawabnya sambil meringis. Lagi-lagi Reina menghela napas. “Apa nggak bosen dimaki-maki gitu, Sa?” tanyanya prihatin. Larisa tersenyum lucu, “cuma dimaki-maki.” “Lapor Pak Dewa, Sa,” saran Reina. “Ya nggak mungkin Pak Dewa percaya, Bu,” sahutnya riang. Reina memandang Larisa dengan tatapan yang sulit diartikan. “Udah sih Bu, santai. Saya pasti baik-baik saja,” kata Larisa mencoba meyakinkan. Meskipun ada debar di dadanya, tetapi dicobanya untuk mengabaikannya. “Janji kamu akan baik-baik saja?” Reina memastikan. Larisa mengacungkan jempolnya. Menjelang jam empat sore, Resty dan Liana janjian ketemu di toilet yang letaknya persis di sebelah tangga darurat. Mereka melihat seorang cleaning service perempuan sedang membersihkan lantai di sekitar toilet. “Toiletnya bisa dipakai kan, Mbak?” tanya Liana kepada petugas itu dengan ramah. “Oh silahkan,. Mbak. Sudah dibersihkan kog,” jawab si petugas kebersihan tak kalah ramah. Liana mengangguk, kemudian menggandeng tangan Resty untuk masuk ke dalam toilet. “Gue entar ajak omong petugas itu, Lo cari cara buat ambil cairan pel itu ya, terus cepet tuangin ke tangga yang gue bilang tadi. Jangan lama-lama, satu menit cukup itu. Lo nggak pake heels kan?” Liana memberi intruksi sambil memeriksa kaki Resty. Dia menghembuskan nafas lega, karena sahabatnya memakai sandal karet. “Aduh maaf ya, Mbak. Kami ngganggu ya?” Liana langsung melancarkan aksinya, mengajak petugas kebersihan itu buat ngobrol. “Enggak kog, Mbak,” sahut si petugas. Dia mengepel agak ke tengah menjauhi pintu yang menuju tangga. “Sampai jam berapa biasanya bersihin bagiannya, Mbak?” Liana terus mengajak bicara. Sementara Resty segera mengerjakan instruksi Liana yang tadi disampaikan di dalam toilet. Begitu dia dapat, Resty pun segera melakukannya. Tidak ada satu menit, botol cairan tersebut sudah kembali ke carry caddy milik petugas tersebut. Carry caddy adalah sebuah kotak untuk menyimpan segara peralatan kebersihan untuk petugas cleaning service. “Kita duluan ya Mbak,” pungkas Liana, begitu dilihatnya Resty sudah menyelesaikan urusannya. Keduanya kemudian menjauhi tetugas tersebut. Sedang si petugas, meski keheranan melihat sikap Liana yang mendadak ramah kepadanya, memilih untuk tidak peduli dan meneruskan pekerjaannya. Jam setengah lima Larisa ke tangga darurat. Dari tadi dia ragu untuk segera memenuhi panggilan Resty. Apalagi pekerjaannya belum sepenuhnya selesai. Tetapi seniornya itu terus saja menghubunginya lewat telepon seluler. Dia pun pergi ke tangga darurat, meski ogah-ogahan. Di sana sudah ada Resty yang berdiri di anak tangga keempat. Posturnya yang lebih tinggi dari si pegawai junior itu, membuat gadis keriting itu sedikit merasa terintimidasi. Larisa berjalan mendekat. Sampai anak tangga kedua, Resty berteriak menghentikan langkahnya. “Stop!” Larisa menghentikan langkahnya. Resty naik, berhenti di anak tangga ketiga. Postur tubuhnya yang lebih tinggi dari gadis berambut keriting itu membuat mereka hampir sejajar. “Kamu bisa berhenti nggak sih, buat ganggu Dewa?” tanya Resty mengintimidasi. Larisa diam menatapnya. “Kamu udah tahu kan kalau aku dan dia itu pacaran?” Larisa mengangguk, tetapi tetap diam. “Terus Kenapa masih ngejar-ngejar Dewa?” geregetan rasanya melihat wajah lugu Larisa yang dianggapnya terlalu dibuat-buat. “Saya suka sama Pak Dewa, Kak,” jawab Larisa pelan. “Tapi Dewa cintanya sama saya!” seru Resty, kesal menatap Larisa. “Saya hanya usaha deketin Pak Dewa, Kak. Jadi nggak perlu ngomel kalau yakin cintanya cuma buatmu,” ngotot Larisa bicara meski dengan suara pelan. “Kamu ngerasa nggak sih kalau sudah ganggu kami?” tanya Resty, semakin terpancing emosinya melihat gaya Larisa yang kalem meski sudah dimarahin. “Hubungan kalian terganggu ya Kak karena saya?” Larisa tetap berusaha santai menggapai kemarahan Resty. Sejujurnya dia agak tenang karena hanya kekasih Dewa seorang yang dihadapinya. Biasanya seniornya itu berombongan kalau mau melabraknya. “Otakmu dipake nggak sih? Mau jadi pelakor kamu?” tanya Resty semakin kesal. Resty kesal dengan sikap tenang Larisa, sama sekali tidak takut meski sudah diintimidasi olehnya. “Kenapa saya jadi pelakor, Kak?” Larisa balik bertanya. “Nggak nyadar ya kalau tingkah kamu ke Dewa kayak cewek mau merebut milik perempuan lain?” emosi Resty semakin tinggi. “Siapa yang saya rebut?” hebat memang dara berambut kriwil ini. Masih bisa tenang menghadapi Resty. “Kamu mau merebut Dewa dari saya kan?”. Resty masih meradang. Larisa menghela nafasnya. “Pak Dewa bukan barang sampai harus diperebutkan, Kak. Jadi yang saya lakukan hanya usaha untuk mendapatkan perhatiannya. Keputusan akhir tetap di tangannya.” “Kamu!” Resty tidak dapat neekata-kata lagi. Tangannya sudah terangkat untuk menampar gadis itu, tetapi ditahannya. “Saya disebut pelakor itu kalau Kakak dan Pak Dewa sudah menikah. Sekarang kalian belum resmi, seharusnya ya tidak ada yang jadi laki orang di sini,” Larisa berkata seraya membalikkan badannya. Dia berniat kembali ke ruangannya, merasa sudah cukup bicara dengan seniornya itu. Resty bertambah emosi, tidak terima dengan sikap gadis itu. Tanpa memikirkan hal lain, dia ikut berbalik dan naik ke anak tangga kedua, berniat ingin menarik punggung Larisa. Tapi naas, kakinya salah berpijak, sehingga terpleset. “Argggh!” teriak Resty sebelum dia jatuh terguling dan pingsan di dasar anak tangga. Darah mengalir dari belakang kepalanya. “Kak Resty!” teriak Larisa histeris.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD