Tabah Atau Tidak Tahu Malu?

2220 Words
Jam sepuluh tepat, meeting rutin divisi desain PT Mega Star yang dipimpin oleh Dewa pun dimulai. Sebagai perusahaan yang memang bergerak di bidang fashion, divisi ini cukup penting. Itu kenapa mereka selalu dituntut mengeluarkan ide-ide inovatif untuk selalu jadi yang terdepan, bersaing dengan para kompetitor. Meeting kali ini khusus membahas desain yang bertemakan liburan. Dan unit teenagers yang pertama kali mempresentasikan rencana rancangan mereka. Kali ini Larisa yang ditunjuk oleh Reina, supervisornya, untuk maju memprentasikan proposal yang sudah disusun unitnya. Alasannya, karena unitnya memakai banyak desain rancangan si gadis berambut keriting tersebut. Gadis itu berdiri di depan dengan rasa percaya diri yang tinggi. Dengan lugas, dia menjelaskan semua rancangannya yang diajukan oleh timnya. Dewa menatap Larisa dengan kosentrasi tinggi. Dia cukup terkesan dengan juniornya yang belum ada setahun bergabung di perusahaan sebagai karyawan. Kinerjanya luar biasa. Dan sekarang cukup baik mewakili timnya bicara. Dia pun bisa menjawab dengan baik semua pertanyaan peserta, meski bisa dibilang jadi peserta termuda. “kenapa pakai tema Funtastic Mall?” tanya Liana. Sama dengan Resty, staff senior unit Wanita Dewasa ini pun tidak menyukai Larisa. Setiap ada kesempatan, dia selalu bekerja sama dengan sahabatnya itu untuk menjatuhkan si anak baru. “Karena buat remaja metropolitan, Mall adalah tempat yang bikin mereka senang,” jawab Larisa. “Ini buat tema liburan, lho,” cecar Liana. “Ya, unit kami merancang ini buat remaja berlibur,” Larisa masih tenang menjawab. “Liburan di Mall?” sarkas Liana. Resty dan beberapa sahabatnya yang jadi peserta rapat tersenyum simpul. Mereka tahu niat Liana bertanya hanya untuk menjatuhkan gadis itu. Sedangkan yang lain menyimak sesi tanya jawab ini. Larisa tersenyum, menegakkan punggungnya. Kemudian menghampiri Dino yang membantunya presentasi. Sesaat gadis itu sibuk membuka file di laptop. Berbisik sebentar ke arah teman satu unitnya, kemudian berjalan lagi di depan. Di layar terpampang beberapa foto remaja yang sedang berkunjung ke Mall. “Seperti yang kita lihat di foto-foto ini, Mall tetaplah tempat tujuan para remaja menghabiskan waktu. Meski pun liburan sekolah, tempat ini tetap jadi favorit mereka. Ingat, tidak semua keluarga bisa berlibur keluar kota, jadi pusat pembelanjaan tetap destinasi pilihan anak sekolah menengah untuk berlibur,” urai Larisa panjang lebar. Liana dan yang lain masih diam, menunggu staff junior itu melanjutkan perkataannya. “Itu kenapa unit kami mendesain baju-baju remaja untuk jalan ke Mall, di sana juga ajang mereka untuk memperlihatkan selera fashion yang dipunyai. Para remaja ini lah sasaran desain kita,” lanjut Larisa. Semua menganggukkan kepalanya, Liana dan teman-temannya diam. Mereka tidak bisa lagi banyak mencecar. Reina mendesah lega, ketika dilihatnya Larisa bisa mengatasinya. Dewa pun tersenyum puas dengan presentasi itu. Kalau sedang presentasi, gadis itu tetap fokus dan profesional. Tidak sekali pun dia mengganggu bossnya itu. Benar-benar berdedikasi. Kredit untuknya pasti luar biasa. Tetapi jangan ditanya apa yang dia lakukan jika rapat selesai. Semua sikap profesionalnya langsung rontok seketika. “Gimana, Pak? Presentasiku oke kan?” tanya Larisa dengan suara manjanya. Dewa mengangkat dua jempol sebagai jawaban. Terlepas sikap bar-bar gadis itu, kinerja dia sungguh memukau. Itu kenapa dia tidak punya alasan untuk menyingkirkan Larisa. “Saya bawa bekal makan siang buat kita berdua, Pak,” tampaknya gadis itu masih pantang menyerah. Dan ruangan mulai sedikit berisik. Beberapa peserta rapat tidak dapat menahan tawa dengan sikap gadis muda itu. “Here we go again!” seru Vinny yang satu unit dengan Liana. Dua bukan lingkaran pertemanan Resty, tetapi termasuk yang tidak menyukai Larisa. “Sa, udah dong,” tegur Reina, merasa tidak enak dengan Dewa. Sebenarnya, sebagai staff junior Larisa belum berhak untuk maju mempresentasikan proposal program kerja unit mereka. Tetapi karena sebagian besar yang diajukan adalah desain gadis itu, maka Reina memberikan keistimewaan itu. Desain yang diajukan si mungil itu sesuai tema yang sudah ditentukan oleh perusahaan. “Emang kenapa Bu Rein? Kan saya cuma nawarin bekal makan siang ke Pak Dewa,” sergahnya heran. “Yang kamu tawarin makan bekalmu itu pacarku! Paham?!” suara Resty langsung tinggi, memberi peringatan. Sementara Dewa langsung memeluk pinggang kekasihnya, mencoba meredam amarahnya. “Loh kan aku cuma nawarin makan siang, bukan ngajak nikah,” balas Larisa masih tetap santai. Reina menggelengkan kepalanya melihat sikap santai junior kesayangannya itu. Beberapa staff perempuan yang ikut rapat cekikikan. Sedang yang laki-laki hanya menggelengkan kepala mereka. Kadangkala sikap tak tahu malu Larisa jadi hiburan tersendiri di divisi ini. Sudah tahu Dewa punya pacar, masih saja ngejar-ngejar. Sudah tahu kekasih bossnya keturunan Singa, tetap saja menggodanya. Apa namanya kalau nggak tahu malu? “Cari laki-laki lain, Sa. Pak Dewa already taken,” komentar Reina ditengah cengirannya. Berbeda dengan Dewa dan sebagian besar pegawai PT Mega Star yang tahunya Resty itu manis, Reina tahu benar kalau perempuan itu bermuka dua. Dia punya pengalaman tidak enak dengan sang sekretaris. Dan itu cukup membekas di hatinya. Menurutnya, perempuan yang seumuran dengannya itu punya dua kepribadian yang kontra dan bisa ditampilkan sesuai dengan kebutuhan yang ada. Ohhh bukan bipolar, tetapi lebih ke arah bermuka dua. Flashback On Reina pernah dengan terpaksa harus sering menghabiskan waktu berdua dengan Dewa, karena proyek pagelaran busana remaja tahunan yang digelar oleh perusahaan. Dan itu sudah memicu kecemburuan seorang Resty Prameswari. “Sengaja ya deket-deket Dewa?” ketika itu mereka berdua sedang di toilet. Seperti biasa, Resty masuk bersama gerombolannya. “Karena pekerjaan,” sahut Reina pendek. “Alasan,” salah satu sahabat Resty dan Liana mengompori Resty yang memang mudah terprovokasi. “Kamu pikir, aku bodoh?” Resty memincingkan sebelah matanya, menatap Reina remeh. Ya memang kamu bodoh dan sok tahu, kata hati Reina. “Terserah, tapi itu kenyataan yang terjadi,” itu kalimat yang keluar dari bibir perempuan bersahaja tersebut. Resty menatap Reina penuh intimidasi. “Awas kalau kamu curi kesempatan,” ancamnya. Flashback off Reina meringis mengingat kenangan buruk tersebut. Itu kenapa dia kadang setengah berharap Larisa bisa merebut Dewa dari Resty, meski itu mustahil. “Belum sah, Bu. Belum bisa dibilang already taken,” sahut Larisa, semakin menjadi saja. Reina menahan senyum mendengarnya. Ingin rasanya Resty mengumpatnya, kalau tidak ingat dia sedang jaga citranya di depan banyak orang Dewa merasa perlu bertindak tegas kali ini. Menurutnya sikap Larisa sudah sangat keterlaluan. “Larisa, kalau bukan karena pekerjaanmu yang baik, sudah lama saya ingin menyingkirkan mu dari sini!” bentak Dewa. Larisa terdiam sedangkan yang lain membuka mulut mereka, ternganga dengan bentakan Dewa. Biasanya laki-laki itu hanya menghindar dengan sopan, jika si kriting mungil itu sudah mulai merusuhinya. Baru kali ini pimpinan divisi bisa sangat marah diluar pekerjaan. Dewa menghampiri Larisa. “Jangan lagi mencoba mengganggu saya dan kekasih saya, mengerti?” pertanyaan itu penuh penekanan, sorot matanya menatap gadis itu dengan penuh kemarahan. Kemudian laki-laki itu keluar dari ruangan sambil menggenggam erat tangan Resty. Diam-diam kekasih Dewa itu melempar senyum penuh kemenangan ke arah Larisa yang kini hanya menunduk. Sebagian pegawai perempuan tertawa mengejek. Liana and the gank puas melihatnya. “Sekali-kali harus dibentak Pak Dewa, biar tahu diri,” celetuk Liana, disusul tawa yang lain. “Bebal banget, mesti dikasari dulu kayaknya,” celetuk yang lain. “Rasain,” suara lain menimpali. Sedang beberapa senior laki-lakinya melewatinya setelah menepuk bahunya tanpa kata. Mencoba menghiburnya. “Istirahatlah Sa,” usul Reina. Menepuk bahunya pelan, kemudian meninggalkan ruang rapat. Larisa masih terpaku. Hatinya merasa tercubit dengan sikap Dewa yang tidak dia duga sama sekali. Biasanya laki-laki itu memilih mengabaikan dan menjaga jarak dengan lebih halus. Makanya dia berani mendekati, karena dipikirnya lama-lama juga akan luluh, asal dirinya gigih mendekati. Saat sedang sibuk berpikir, ada notifikasi masuk di telepon selularnya. Alex [Non, lagi ada di mana? Kusamperin mejamu kog kosong] Larisa menghela napas panjang. Dibalasnya chat dari laki-laki itu. Larisa [Sebentar aku ke sana, Kak] Diambilnya peralatan kerjanya, kemudian keluar ruangan, pergi ke kubikelnya. “Kak,” panggilnya kepada laki-laki jangkung langsing yang berdiri di belakang kursi kerjanya. Sepertinya sedang ngobrol dengan Reina. “Hei Sa, yuk makan siang,” Alex menjawab sapaannya. “Aku bawa bekal, Kak,” ujarnya sambil menunjuk kotak bekal yang lumayan besar di mejanya. Satu kotak yang dilempar Resty sudah dia bersihkan dan masih tersimpan di pantri. “Ya udah nanti dimakan bareng,” Alex langsung menarik tangan Larisa seraya mengambil kotak bekalnya. Larisa menahan langkah Alex, kemudian menoleh ke arah Reina. “Bu Rein sudah makan siang?” tanyanya. Alex ikut menoleh, merasa tidak enak hati dengan Reina. “Aku udah selesai makan,” jawabnya seraya melangkahkan kaki ke mejanya. “Kalau gitu kami makan dulu ya, Mbak,” pamit Alex sambil terus menyeret Larisa mengikuti langkahnya. Reina menatap kepergian mereka sambil menghela napas. Kemudian melanjutkan pekerjaannya. Alex membawanya ke kantin yang berada di lantai dasar. Suasananya tidak terlalu ramai, karena jam istirahat sudah berlalu sejak tiga puluh menit yang lalu. Setelah mendudukkan Larisa ke sudut kantin yang dekat jendela, dia pergi untuk memesan makanan. Tak lama kemudia, mereka duduk saling berhadapan. “Bawa bekal apa?”. Basa-basi laki-laki berusia 27 tahun itu bertanya. Tangannya sendiri tanpa permisi membuka kotak bekal tersebut. “Wow... Bulgogi, yummi ini!” Larisa memutar matanya malas mendengar seruan senior sekaligus sahabatnya itu. “Banyak amat, Sa,” ujar Alex sambil mencomot daging berbumbu itu. “Tadinya buat Pak Dewa, tapi ditolak sama herdernya,” jawab Larisa sambil menopang kan dagunya di meja. Alex tertawa. “Kamu juga aneh, cowok udah available masih aja dikejar. Ya ngamuklah pawangnya.” “Namanya juga cinta,” Alex meringis mendengar ucapan Larisa yang terkesan tidak tahu malu. Laki-laki itu hanya mampu menghela nafasnya seraya menatap intens sahabat kecilnya. Nasi campur pesanan Alex pun datang bersama dua minuman untuk mereka. “Ayo makan dulu, baru setelah itu kita bergosip!” ajak Alex. Dalam sepuluh menit ke depan, mereka sibuk dengan makanan di depan mereka. Sesekali Alex mengambil Bulgogi yang dibawa oleh Larisa. Kemudian, sambil minum baru lah mereka ngobrol. “Kamu bikin masalah apa tadi di rapat divisi?” tanya laki-laki itu dengan suara santai. Alex adalah staff divisi marketing, jadi pasti tadi ada yang membocorkan kepadanya. “Apa sih, Kak,” pelan suara Larisa menyanggah. Laki-laki itu nyengir. “Lantai delapan heboh dengar berita Pak Dewa ngamuk ke staff junior kesayangan Pak Arya,” ceritanya. “Serius?” Larisa membelalakkan bola matanya, kaget dengan cerita yang disampaikan Alex. Laki-laki itu mengangguk mengiyakan. “Sampai seheboh itu,” gumam Larisa tak percaya. Alex menghela nafasnya. Ingin sekali dia membedah otak sahabat kecilnya ini. Membuang nama Dewa yang seperti terlalu kuat tumbuh di sana. “Pak Dewa sama Resty itu sudah pacaran lama, tinggal nunggu akad aja loh, Sa,” beritahu laki-laki yang punya wajah setengah Arab itu kepadanya. “Ya terus kenapa ga segera akad?” Larisa masih ngotot mempertanyakan. Sebenarnya pertanyaan itu pun sempat mampir di kepala para pegawai kantor. Tetapi hanya sambil lalu, tidak ada yang bertanya terlalu dalam. Kita tidak perlu mengurusi orang lain kan? “Ya kita nggak tahu keadaan yang sebenarnya, Sa,” Alex berkata sambil mengacak pucuk kepala gadis itu dengan gemas. “Nah itu makanya. Kalau udah nyaman kenapa nggak nikah saja?” Larisa masih membenarkan sikapnya. Alex menggeleng-gelengkan kepalanya. “Mungkin mereka nyaman seperti ini, Sa. Apakah arti sebuah dokumen,” kata Alex. “Ya kan kalau nikah, hubungan itu akan kuat di mata hukum, Kak,” Larisa tetap ngotot menyanggah. Alex tertawa, dia bingung apalagi yang harus dikatakan kepada gadis cantik itu. Niat hati ingin menasehati sahabatnya itu, yang ada nanti malah adu debat. Berkali-kali diingatkan, tetap teguh pendirian. “Cari laki-laki lain, Sa. Atau mau kucarikan?” tawar Alex kemudian. Larisa tertawa remeh. “Carikan aku pacar, Kak Al sendiri belum punya,” sarkasnya. Alex tertawa sambil menggaruk tengkuknya yang mendadak gatal. “Kamu tahu aku suka sama siapa, Sa,” sahutnya pelan. Larisa mengangguk. “Kejar, Kak. Nanti direbut orang,” dukung gadis kriwil itu. Alex mendesah. Pembicaraan jadi beralih topik. “Kalau ditolak gimana?” tanya Alex putus asa. “Ya terus usaha jangan putus asa, kayak aku gitu loh. Pantang menyerah!” seru Larisa dengan percaya diri. Alex tertawa. “Kamu sih bucin, mengejar tanpa henti,” ejek Alex. “Aku udah mentok sama Pak Dewa, kak,”sergah gadis itu. “Risa! Dia pacar orang!” seru Alex gemas. “Masih pacar, Kak. Yang nikah aja bisa cerai, apalagi baru pacaran,” cuek saja Larisa membalas perkataan Alex. “Kamu tuh-,” Alex speechless dengan sikap Larisa. “Pokoknya selama janur kuning belum melengkung di depan rumahnya, tetap usaha,” kata Larisa semakin percaya diri. “Gila kamu, Sa!” seru Alex terkaget-kaget. “Aku tabahlah, Kak. Gigih berjuang!” Seruan Larisa membuat mulut Alex ternganga. Benar-benar tidak tahu malu perempuan cantik di depannya itu. “Ikatan mereka kuat lho, Sa,” Alex mengingatkan. “Ah mereka nggak sekuat itu, Kak,” sanggah Larisa. Alex mengerenyitkan dahinya. “Tahu dari mana?” “Kalau ikatan mereka kuat, pasti sudah menikah,” jawab Larisa yakin. “Mungkin memang belum waktunya,” Alex menyanggah. Diskusi ini kembali ke awal. Seperti berputar-putar tidak jelas. “Ini Indonesia, Kak! Menikah itu masih merupakan tujuan akhir sebuah hubungan,” Larisa memaparkan. Alex terpaku memandang sahabat mungilnya itu. “Dan nggak mungkin banget kalau Kak Resty tidak ingin menikah,” lanjutnya. “Bisa jadi memang hubungan mereka tidak direstui atau ikatannya tidak sekuat yang kita kira,” tutup Larisa yang disahuti dengan deheman dari Alex. Sementara, ada hati yang panas dari orang yang duduk di dekat mereka.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD