Pelukan hangat di rasakanya, sarat dengan kerinduan yang membuncah tanpa dapat di bendungnya. Bunda kembali memeluknya erat, ada air mata menghiasai wajah bunda yang sudah terlihat menua, meski sisa kecantikannya di masa lalu masih terlihat.
Bunda meneliti wajahnya dengan penuh kekaguman. "Bersyukur pada Tuhan, bunda masih bisa melihatmu nak, kamu semakin cantik."
Desha kembali memeluk bunda, "Maafkan Des Bunda.....telah meninggalkan Bunda tanpa pamit, waktu itu."
"Lupakan masa lalu, yang terpenting anak bunda sudah kembali sekarang."
"Bunda......" Desha semakin mengeratkan pelukannya. Ada tangis tertahan, lahir dari rasa harunya, ternyata bunda tidak membencinya meski dirinya sudah bertindak seperti anak nakal yang berani kabur dari rumah besar itu tanpa pamit.
Bunda mengelus rambutnya penuh dengan rasa sayang. Dari umur 12 Tahun ia telah merawat gadis yatim piatu ini, seperti anaknya sendiri. Meski ia tahu resikonya bahwa bila sudah besar, pasti kedua anak laki-laki kembarnya atau salah satunya akan jatuh cinta pada Desha. Selain anak ini cantik juga memiliki sikap yang sangat baik dan sedikit unik.
Setelah merasa puas dengan melepas kangen-kangenannya, Bunda langsung membawanya untuk menemui ayah.
Hati Desha di penuhi dengan rasa keprihatinan saat melihat kondisi ayah. Tubuhnya yang dulu sangat gagah itu, kini terbaring lemah dengan selang infus dan selang oksigen dihidungnya.
Tapi ada senyum dimata dan dibibirnya saat melihat Desha. "Ayah...." Panggilnya dengan air mata sudah memenuhi kelopaknya.
"Si cantik ayah sudah pulang." Katanya pelan agak serak.
Bagaimana ia bisa melupakan kasih sayang kedua orang tua ini? Semenjak ia kehilangan ayahnya lalu kemudian ibunya, ia sama sekali merasa tidak kehilangan kasih sayang dari orang tua. Karena meski tidak ada hubungan darah, ayah dan bunda telah memperlakukannya seolah dirinya itu anak bungsu mereka.
Gangguan utama yang ada di rumah itu hanya bersumber dari seorang yang bernama Morgan, kuda liar yang selalu mampu menemukan tempat persembunyiannya. Semakin ia ingin menghindarinya, semakin laki-laki itu menggiringnya ke tempat dimana tak seorangpun tahu keberadaan mereka.
Desha memandang wajah ayah, dengan air mata masih luruh melewati pipinya. "Ayah, maafkan Desha....."
"Kamu pasti punya alasan kuat saat memutuskan untuk pergi dari rumah."
"Ayah...." Desha sudah tidak bisa lagi meneruskan kata-katanya. Ada rasa bersalah karena dulu telah meninggalkan orang tua yang sangat baik hati itu tanpa pamit. Seandainya ia bisa bercerita kenapa alasannya ia pergi? Tapi tidak untuk saat ini.
Bunda memeluk bahunya, mengusap air matanya. "Jangan terus menangis dan meminta maaf, tanpa kamu mintapun kita telah memaafkan mu."
Desha kembali menatap ayah. "Ayah sakit apa Bun?" Tanyanya.
"Jantung. Ada sedikit pembengkakan."
"Tidak dirawat di Rumah Sakit?"
"Ayah yang tidak mau, memiliki dua anak dokter spesialis merasa cukup dirawat di rumah saja, katanya"
"Tapi peralatan medisnya yang mungkin tidak memadai."
"Kalau soal alat-alat medis, Morgan sudah membelinya. Lumayan lengkap untuk standarnya sebuah ruangan ICU, mungkin dalam dua hari ini akan segera sampai di tempat ini." Ucap Margo yang sejak tadi hanya diam, memberi kesempatan pada bunda dan ayah untuk melepas kerinduan mereka kepada Desha
"Mungkin kita butuh membicarakannya dengan Morgan, soal mau mendirikan klinik ini, kak." Ucap Desha memberi usul.
"Sudah kita bicarakan sejak lama, tapi kita belum merealisasikannya karena kesibukan."
"Kita lanjut membicaranya nanti." Desha menatap Margo. "Gimana kondisi ayah sekarang?" Tatapannya beralih ke tubuh tua yang tak berdaya itu.
"Untuk saat ini masih stabil, hanya fisik ayah yang sedang lemah karena kadar gulanya yang agak tinggi. Jadi itu yang sedang kita kontrol terus."
"Ayah harus ikutin apa kata dokternya ya, biar semua dokternya anak ayah, kalau ayah tidak disiplin maka semua usaha anak ayah akan percuma jadinya."
Tiba-tiba seseorang masuk dengan wajah cemberut. "Mom, kenapa ninggalin Sha sendirian di rumah."
"Hey, anak mommy sudah bangun rupanya, belum cuci muka dan sikat gigi?"
"Mom, kenapa banyak ribut di sebelah rumah kita? Om Morgan dan teman-temanya sedang bikin apa?" Masih dengan cemberutnya Danisha mengabaikan kata-kata ibunya.
"Jangan banyak tanya dulu, Sha harus berkenalan dulu sama Oma dan Opa, orang tua Mommy. Ayo...."
"Ini anakmu Des?" Tanya Bunda, agak terkejut.
"Iya Bun, namanya Danisha. Ayo Sha, kasih salam dan cium Oma mu."
Danisha dengan patuh menyalami Omanya. Dengan penuh haru, bunda segera memeluk Danisha dan menghujaninya dengan ciuman.
"Lihat Opa, anaknya Desha sangat cantik, persis waktu ibunya masih kecil." Bunda lebih mendekatkan Danisha ke ayah.
Ayah tersenyum, menatap Danisha terlihat senang. "Kalau sudah sehat, Opa pasti mengajakmu bermain dengan Marline."
"Iya Opa, makanya Opa harus cepat sembuh." Celetuk Danisha.
"Anak cerdas, kamu lebih mirip Morgan kalau lagi bicara, spontan gitu aja." Kata Bunda, mengelus kepala Danisha dengan penuh rasa sayang.
Desha agak tercekat mendengar ucapan bunda, tapi kemudian berusaha melupakannya. "Ayo Sha, mandi dulu dan sarapan. Baru nanti temenin Marline main ya? Pamit sama Opa, Oma dulu.
Setelah meninggalkan rumah besar itu, Desha membantu Danisha mandi dan berganti pakaian. Saat sedang mengepang rambut anaknya, muncul Morgan dengan gerakan terburu-buru.
"Aku ada panggilan darurat, tolong bilang ke Margo aku ke Rumah Sakit."
Morgan hanya mengganti pakaiannya dengan kemeja putih bergaris dan jeans biru, tetap menghindari pakaian formal. Kemudian menuju garasi, mengeluarkan mobil Range Rover sport berwarna putih. Desha agak terkejut, karena saat memasukan mobilnya ke garasi tidak begitu memperhatikan mobil yang sudah ada di dalamnya.
Mobilnya semahal itu? Apakah secara finansial Morgan sangat kuat? Desha mengingat kalau Morgan sempat bekerja di pelayaran selama hampir enam tahun, apakah sebagai dokter di sebuah kapal pesiar? Akhirnya Desha menghentikan segala tanya dipikirannya. Apa perlunya juga ia untuk tahu, sampai kapanpun Desha tidak pernah bisa menebak isi kepalanya.
Danisha meringis saat dirasakan rambutnya di tarik agak keras. "Mom, rambutku bukan rambut kuda yang suka ditarik-tarik." Protesnya.
"Maaf, maaf, Mom lupa sayang, kalau rambut yang Mom pegang ini bukan rambut kuda."
"Mommy jahat, gak bisa bedain rambut kuda sama rambut anaknya sendiri." Teriak Danisha kesal.
"Kamu nanggepinnya serius amat sih, mana mungkin Mom nyamain kuda sama Sha anak Mom yang cantiknya sejagat ini."
"Terus aja ledekin, Sha tahu pujian Mom gak tulus."
"Ya udah, Mom minta maaf deh, dari pada disalahin terus."
"Udah ah, Sha mau nemuin Marline aja. Mau main." Ucapnya sambil berlari keluar.
"Sha....!!! Belum sarapan." Teriaknya.
"Nanti aja," jawabnya, tak menggubris sama sekali teriakan ibunya.
Mau tidak mau, Desha kembali ke rumah besar itu dengan membawa sarapan Danisha.
Terlihat anaknya sedang bermain dengan Marline anaknya Margo di lantai, dengan mainan khas anak perempuan. Banyak boneka-boneka Barbie dengan berbagai pakaiannya yang cantik-cantik, begitupun dengan macam pernak-perniknya hampir semua berwarna pink dan ungu.
Desha mendekatinya. "Sambil main sambil sarapan ya Sha, Mom suapin." Anak itu tidak menolak, tapi saat disuapin tanpa rewel mengunyah makanannya, sementara tangannya tetap memegang boneka Barbie, mengatur rambutnya yang pirang itu supaya tidak kusut.
Desha melirik Marline, dengan senyumnya ia menawarinya untuk ikut di suapin. Anak itu mengangguk. Beruntung Desha membawa nasi goreng dan telur dadar itu agak banyak jadi cukup untuk membuat perut dua anak kecil itu kenyang.
"Oh, syukurlah, Marline kamu suapin, Des. Bunda belum sempat membuat sarapannya."
"Kenapa bunda yang harus sibuk? Kan ada mamanya."
Bunda malah memutar bola matanya, "Jangan harap, dia seperti barang pajangan di rumah ini. Yang di urus hanya dirinya sendiri."
Desha membulatkan matanya. "Kenapa kak Margo diam saja?"
"Semua orang di rumah ini akan diam, bukan karena takut padanya tapi sudah tidak peduli, jadi dianggapnya seolah tidak ada saja."
Desha agak merinding, kok orang bisa tahan di perlakukan begitu...
"Sekarang dia kemana Bun?"
"Ya, mungkin ngumpul sama teman-temannya, kalau tidak ke salon paling nongkrong di kafe."
"Tidak bekerja?" Tanya Desha heran.
"Margo telah mencukupi segala kebutuhannya, mana mau dia harus berlelah-lelah bekerja."
Desha menggelengkan kepalanya. "Apakah kak Margo begitu mencintainya?"
Bunda malah tertawa. "Mereka menikah karena kecelakaan, Velya menjebak Margo dengan minuman yang membuatnya mabuk. Banyak bukti foto-foto kalau mereka berhubungan intim di saat mabuk itu dan setelahnya Velya menyatakan dirinya hamil. Karena tak ingin ribut dan jadi gunjingan orang, akhirnya Margo menikahinya.
"Agak aneh aja sih Bun, bukannya Velya sangat terobsesi mengejar cintanya Morgan, tapi kenapa jadi beralih ke kak Margo?"
"Entahlah, bunda juga gak ngerti. Mungkin karena Morgan yang waktu itu berlayar dan tidak pulang-pulang, perhatiannya jadi teralihkan jadi kepada Margo." Bunda menggerakkan ke dua tangannya dengan ekspresi wajah yang menunjukan tanda menyerah.