Bab 3

1259 Words
Desha tidak lama tinggal di rumah besar itu, begitu kedua mahluk kembar itu tidak terlihat, ia mengajak Danisha untuk kembali ke rumah miliknya. Ia memasukan mobil ke garasi, setelahnya membereskan kamar yang dulu ditempati kedua orangtuanya. Ia berusaha melupakan kamar miliknya yang sudah ditempati Morgan. Membersihkan dirinya, berganti dengan baju tidur dan tidak mau berpikir banyak untuk segera memejamkan matanya. Di sisinya Danisha yang sudah terlebih dahulu tertidur dengan lelapnya. Pagi harinya, dibangunkan oleh aroma masakan yang sangat menggugah selera perutnya yang sedang lapar. Ia lupa semalam hanya makan sekerat puding s**u itu, tanpa makan malam. Dengan hanya cuci muka dan sikat gigi, berjalan keluar kamar menuju dapur. Dilihatnya di atas meja makan ovalnya, sudah terhidang nasi goreng di dalam mangkuk keramik putih yang masih mengepul panas. Morgan berdiri sedang memegang teko kaca berisi jus jeruk. "Semalam aku mengetuk kamarmu untuk mengajak makan malam. Tetapi sepertinya kamu sudah terlelap dan aku yakin bila kamu terbangun, merasa akan sangat lapar." ucapnya, mendekat ke meja makan Desha memandang laki-laki yang sudah terlihat segar itu dengan T-Shirt hitam polos dan celana denim-nya. "Aku sangat lelah, hingga langsung tertidur." "Makanlah, jangan sungkan." Morgan duduk di sebrang mejanya. "Hari ini aku sibuk dan di sebelah akan ribut sekali karena banyak para pekerja yang akan membangun rumah." "Kamu membangun rumah di sebelah?" tanya Desha. "Aku tidak ingin membangun rumah di belakang rumah besar itu, aku lebih suka di sampingnya. Ada jarak 20 meter antara rumah ini dan rumah besar itu." Desha mengambil nasi goreng ke piringnya, kemudian telur dadar tebal dengan sayuran dan kornet yang sangat membuat air liurnya menetes. Saat nasi goreng itu masuk ke mulutnya, Desha jadi malu sendiri karena ia sendiri tidak bisa membuatnya selezat ini. "Nasi gorengnya sangat enak." ungkapnya jujur. Morgan hanya menatapnya, kemudian mengambil dua gelas bening tinggi untuk di isi jus jeruk. Lalu mendorong satu gelas itu ke dekat Desha. "Aku akan memeriksa ke sebelah, mungkin para pekerja itu sudah pada datang." Dia berdiri, meminum jusnya sampai tandas, kemudian pergi. "Terima kasih sarapannya." ucap Desha. Morgan tak menjawabnya, meliriknya pun tidak, tetap melanjutkan langkahnya menuju pintu keluar. Setelah menghabiskan sarapannya, Desha bermaksud mau membersihkan rumah itu. Namun, begitu melihat sekitar rumah sudah nampak bersih dan rapih. Dapur pun sudah terlihat kinclong, hanya tinggal membereskan bekas mereka sarapan. Desha agak terheran-heran dengan perubahan yang terjadi pada Morgan. Lelaki yang berlaku semaunya itu, tak pernah ada yang bisa mengaturnya, bahkan ayah dan bunda sekalipun. Morgan seperti kuda liar di tengah padang rumput yang luas, bersikap sekehendak hatinya. Akan tetapi, di balik itu semua hanya seorang Desha yang mampu menghentikan sepak terjangnya. Menguntitnya seperti sedang berburu mangsa, selalu mencari kesempatan saat gadis itu lengah dan sendirian. Tapi di luar itu, Desha akan di anggapnya tidak ada, seolah dia ingin menunjukan ke semua teman-temannya bahwa Desha yang sangat cantik, tak membuatnya tertarik sedikitpun. Tidak terasa, sambil melamun pekerjaannya sudah beres. Ia bermaksud mau membangunkan Danisha, tapi saat melihatnya masih bergelung selimut, Desha jadi tidak merasa tega. Tentu saja perubahan iklim dari tempat yang panas ke tempat yang sangat dingin ini, belum terbiasa dialami oleh gadis cilik itu. Terdengar suara ribut-ribut di halaman sebelah rumahnya. Jadi benar apa yang dikatakan oleh Morgan tadi. Membangun rumah? Mengapa Morgan tidak mau tinggal di rumah besar itu? Jadi dia tinggal di rumahnya ini karena menghindari rumah besar itu? Begitu banyak pertanyaan di benaknya. Desha segera mandi dan berganti pakaian. Saat melihat udara yang cerah, jadi ia mengenakan dress terusan berwarna putih dengan bunga-bunga kecil berwana kuning dan berdaun hijau. Terlihat lebar di bagian bawahnya dengan tinggi selutut, sangat manis. Rambutnya yang kriting seperti mie itu, ia ikat tinggi seperti ekor kuda hingga memperlihatkan kulit lehernya yang lembut dan berwarna seputih s**u. Benar saja saat Desha keluar melihat keramaian yang sedang terjadi, Morgan sudah menggerakkan begitu banyak laki-laki berbadan pekerja keras. Desha jadi merasa seperti peri berada di antara mereka, atau seperti kurcaci mungkin karena tubuh mungilnya. Kalau dihitung ada sekitar 20 orang. Ada yang sedang mengukur, menggali dan satu orang yang sedang memegang kertas gambar berisi denah sederhana di tangannya. Saat melihat kehadiran Desha, laki-laki itu langsung melebarkan senyumnya, hingga Desha langsung mengenalinya. "Wow! Aku kira tadi ada peri cantik ikut hadir di tempat ini. Ternyata kamu, Des." ucap lelaki itu antusias. "Hai, Jack. Apa kabar?" sapa Desha ramah berjalan masuk ke area tanah yang akan di bangun itu. Jack adalah teman Margo. Sudah pasti sebagai cowok baik-baik yang tidak pernah bikin ulah dan tidak bertingkah neko-neko. "Kamu bisa lihat sekarang, aku jadi seorang kuli tukang bikin rumah." jawabnya merendah. Baru saja bibirnya akan mengucapkan sesuatu, tubuhnya sudah terangkat secara tiba-tiba. Kakinya mendarat kembali di jalan yang biasa mereka lewati, antara rumah miliknya dan rumah besar itu. Desha segera melihat orang yang melakukannya. Mukanya langsung memerah, saat tahu Morganlah pelakunya. Ia segera menyingkirkan tangan yang masih memegang pinggangnya itu. "Tubuhmu seringan bulu." tawanya mengejek. "Dan aku ingatkan, bila kamu berada di sana lagi, aku tak akan segan melemparkan tubuhmu seperti bulu tertiup angin." ejek Morgan sekali lagi. Lalu ia mendengar tawa dari arah lain, sepertinya sangat puas melihat perlakuan kasar Morgan terhadap dirinya. Desha tak perlu melihatnya, ia lebih baik menyambut Margo yang berjalan mendekatinya. "Hai, selamat pagi." sapanya dengan manis. Sangat mudah baginya untuk membalas perlakuan Morgan, yang sudah berada di dekat Jack. Dia sedang memperlihatkan denahnya, sekaligus menyumpal mulut yang menertawakannya tadi. Desha melirik tubuh tipis ramping milik Velya, yang kini terdiam mengatupkan mulutnya. Wajahnya yang cantik terlihat datar seperti layar telivisi plasmanya. Ingin saja ia menjahilinya seperti dulu, tetapi mengingat kalau sekarang sudah sama-sama dewasa. Jadi, ia menekan keinginannya itu. Kecuali Velya sendiri yang memancingnya. Margo mengusap puncak kepalanya dengan senyum tulusnya. "Pagi ini kamu terlihat manis sekali." Desha memperlihatkan senyumnya, "Sudah sarapan, kak?" tanyanya. "Sudah. Bunda tadi buat bubur ayam, sekalian buat Ayah yang kurang sehat badannya." "Oh, ya? Semalam aku belum bertemu dengan Bunda dan Ayah." "Semalam Bunda tidak bisa keluar, karena sedang merawat Ayah yang lagi menggigil demam." "Ayah sakit? Aku ingin menemuinya." Spontan Desha melangkah cepat menuju rumah besar itu. "Hey, tenang saja di sini ada dua dokter spesialis, aku dan Morgan. Kamu lupa profesi kita?" Desha agak termangu, ia lupa kalau kedua kembar itu kuliah di fakultas yang sama yaitu kedokteran. Ia menatap Margo. "Apakah kalian bermaksud mendedikasikan keahlian kalian, di desa ini?" "Terinspirasi dari Ayahmu. Kita memang ingin membuat klinik sendiri di sini, tinggal menunggu surat ijinnya turun." "Sudah lama?" tanya Desha. "Lumayan, tapi memang mengurus surat-surat seperti itu kan, tidak mudah" "Memang tidak mudah." Desha meneruskan langkah, melewati Velya yang terdiam. Margo ikut di sampingnya. "Spesialis apa yang kakak ambil, juga Morgan?" tanya Desha sedikit penasaran. "Aku spesialis internis dan Morgan spesialis bedah." "Kalian memang kompak kalau soal otak," "Otak Morgan lebih jenius dari aku." kekeh Margo. "Kalian tidak terikat kerja di rumah sakit?" "Untuk saat ini masih, di rumah sakit kabupaten. Namun, bila kliniknya sudah berdiri, mungkin kita akan fokus ke klinik saja." "Aku akan membantu jadi staffnya, bila kalian membutuhkan bantuanku." ujar Desha. "Aku dengar suamimu almarhum, punya klinik pribadi. Pasti sekarang jadi milikmu." "Untuk sementara, aku sudah wakilkan ke orang kepercayaan suamiku, untuk mengurusnya." Mereka sudah memasuki halaman saat Margo bertanya lagi. "Apa yang kamu akan lakukan, bila klinik ini sudah berdiri?" "Aku sudah menyelesaikan spesialisku di bagian anak, jadi aku akan ikut bergabung." "Wow!" Margo menghentikan langkahnya. Batal membuka pintu utamanya, memandang Desha dengan kagum. "Ternyata kamu ambil kedokteran juga?" "Aku mengingat Ayah yang tidak kesampaian membuat klinik di sini, karena terbentur masalah biaya." "Jadi itu alasan kamu balik ke sini?" "Salah satunya." Desha tersenyum penuh misteri. Membuka pintu dan masuk kedalam.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD