Bab 2

1237 Words
Matanya terbelalak saat melihat puding itu hampir habis setengahnya. Desha menatap anaknya. "Sha lapar ya?" Anak itu malah nyengir gak jelas. "Pudingnya enak Mom, coba aja rasa." Ucap Danisha. Morgan mengambil piring kecil dan menaruhnya satu potong, ia menyodorkan ke hadapan Desha, seolah tadi tidak terjadi apa-apa. Mengingat perlakuan Morgan tadi, membuat Desha marah. Untung saja seperti dugaannya, kalau Danisha akan mencarinya bila anak itu sudah selesai makan pudingnya. Sehingga dapat menyelamatkan dirinya dari cengkraman hasrat liar Morgan. "Sejak kapan kamu peduli masuk dapur?" Tanya Desha sekedar basa-basi. Karena ia sangat tahu, seorang Morgan sangat anti mengerjakan tugas dapur, dirinya lah yang selalu mengerjakan tugas itu dengan Margo. Desha memasukan satu sendok kecil puding itu ke mulutnya. Pantas saja Danisha menghabiskan segitu banyaknya, rasanya memang enak. Morgan menatapnya. "Hampir enam tahun aku bekerja di pelayaran, disitulah aku belajar banyak tentang memasak pada ahlinya." lalu Morgan mengeluarkan satu loyang cetakan lagi puding itu, menaruhnya secara terbalik di piring datar agak besar. "Aku juga punya ponakan kecil lainnya, yang sangat menyukai puding s**u ini." Ia melihat kepada Danisha. "Apa kau mau mengenal sepupumu? Mari ikut denganku." "Kemana om?" Danisha terlihat antusias. "Rumah sebelah." Apakah keponakan yang di maksud adalah anaknya Margo? Karena Morgan tidak punya saudara yang lainnya selain saudara kembaran indentiknya itu. Batin Desha. Tapi sebentar, Danisha ia anggap anak siapa? Sementara ia dan keluarga Martin itu sama sekali tidak ada hubungan darah, selain hanya tetangga terdekat dengan rumahnya, dimana dulu iapun tinggal di rumah besar itu setelah kepergian ayahnya yang disusul setahun kemudian oleh ibunya. Dengan kebaikan hati keluarga Martin lah, ia di rawat seolah anak mereka sendiri. "Mom, boleh?" Tatap Danisha memandangnya penuh harap. Iapun sebenarnya ingin datang ke rumah besar itu, untuk bertemu dengan Margo. Tapi sama sekali tidak menduga bahwa Margo sudah menikah. Walaupun kemungkinan itu pernah terpikirkan olehnya, hanya siapa gadis yang bisa membuat Margo tertarik? Gadis selingkungan itu juga atau gadis dari luar yang belum dikenalnya? Desha mengangguk. "Mom juga mau kesana." Morgan hanya memandang keduanya secara bergantian, lalu mendahului berjalan keluar rumah itu dengan membawa piring berisi puding di sebelah tangannya. Morgan melihat mobil merah yang masih bertengger di luar halaman. "Harusnya kamu masukan mobilmu ke garasi, supaya lebih aman." Komentarnya dengan nada datar. "Apakah disini sudah tidak seaman dulu?" Tanya Desha, agak heran. "Masih aman, tapi Aku bilang lebih amannya ada di garasi." Jawaban ketus dari Morgan, membuatnya tambah malas untuk berbicara dengan lelaki arogan itu. Beruntung mereka sudah tiba di depan rumah besar dan masuk ke dalamnya tanpa mengetuk pintu. Dengan melewati ruang tamu yang luas dan langsung masuk ke ruang keluarga yang lebih besar, pandangan Desha bertemu dengan pandangan teduh mata Margo, yang nampak baru keluar dari kamarnya setelah mandi. Keduanya sama-sama tertegun, saling menatap. Margo yang lebih tidak mempercayai penglihatannya sendiri, nampak terkejut. Sementara gadis cilik itu juga sama terkejutnya, melihat pada dua wajah yang sama hanya beda penampilannya saja. "Om Morgannya kok ada dua." Tunjuk Danisha pada keduanya. "Ini om Margo, mereka saudara kembar indentik, makanya mereka hampir sama persis." "Ini anakmu, Des?" Margo menipiskan jarak, lebih mendekat pada Desha dan Danisha. "Halo om, namaku Danisha." Gadis kecil itu mengulurkan tangannya dan di terima oleh tangan besar itu dengan senyum lebarnya. "Waw, persis Desha kecil, hanya rambutnya saja yang tidak kriwil." Tangan Margo menyentuh rambutnya yang memang lurus tidak seperti rambut milik Mommynya. Perhatian Margo yang sempat teralihkan karena melihat Danisha, kembali ia menatap Desha dan merekapun berpelukan. Pelukan yang sarat dengan kerinduan yang segunung, tak bisa mereka sembunyikan. Tangan Danisha ditarik oleh Morgan, menuju ruang makan. Setelah agak lama, baru Margo bertanya, "Kamu kemana aja Des?" Tatapannya dan tutur katanya yang selalu lembut, membuat ia kembali memeluknya. "Des sendirian waktu itu, jadi Des nekad pergi juga." "Ada ayah ada bunda, Des. Mengapa pergi juga?" "Kak, saat itu memang aku harus pergi." Tatap Desha, memejamkan matanya mengingat kejadian masa lalu. Margo mengecup keningnya. Saat yang sama, seseorang turun dari tangga lantai dua. Tubuh tinggi semampai itu, masih seperti dulu. Segera Desha melepaskan pelukannya dari Margo begitu menyadari kehadirannya. Matanya terkesima begitu tahu siapa orangnya. "Velya?!" Serunya tertahan. Wajah cantik yang dingin itu, tak mau menampakan senyumnya sedikitpun. "Si Trouble Maker, sudah kembali." Ejeknya, berjalan menuju sofa, tampak tak memedulikan kehadirannya. Dapat di mengerti Desha, kalau Velya menyebutnya 'si trouble maker', baginya yang selalu berada diantara cowok kembar idaman semua gadis itu adalah dianggap sebagai pengacau bagi mereka, Nyali gadis mungil ini juga tidak kecil, keberaniannya dalam melawan sikap pembullyan mereka, adalah suatu hal yang membuat mereka semakin membencinya. Biar tubuhnya mungil tapi Desha seperti cabai rawit. Bahasanya menyayat seperti sembilu dan tajam seperti belati. Belum keterampilannya dalam bela diri yang lumayan bisa mengusir lalat berbentuk gadis-gadis usil yang ceriwis dan punya hati yang dipenuhi dengan iri dengki. Salah satunya yang bernama Velya ini. Desha melihat lagi pada Margo. "Kakak menikah dengannya?" "Ya, diharuskan menikah dengannya." Katanya datar, "Morgan bawa apa tadi? Biasanya makanan yang di buat olehnya selalu enak." Margo menarik tangan Desha menuju ruang dapur. Menghindar supaya Desha tak bertanya lebih banyak lagi. Dua anak perempuan, selayaknya kakak-adik karena perbedaan umurnya hanya dua tahun, sedang mengobrol. Di dekat mereka, Morgan sedang mendengarkan celotehan keduanya, puding di piring kecil milik gadis cilik itu sudah hampir habis. "Danisha, Marline, kalian bisa jadi teman." Ucap Morgan dengan senyumnya. "Aku suka punya kakak Danisha." "Kamu adik yang lucu, gemesin." Tangan kecil itu, memegang pipinya dengan geregetan. "Itu anakku, namanya Marline umur lima tahun." Tunjuk Margo memperkenalkan anaknya. "Untung tidak mirip ibunya." Bisiknya, dekat Margo. "Tidak mirip juga denganku." Desha tercekat mendengar kata-kata Margo barusan. "Kalau ada keraguan, kasih sayang kakak tidak akan tersampaikan ke anak itu. Anak kecil biasanya lebih peka perasaanya." "Kamu benar Des, aku tidak pernah bisa dekat Marline dan hanya dengan Morgan anak itu ceria." "Jangan sia-siakan masa kecilnya, kak. Apapun yang di rasakan kakak terhadapnya, dia tetap layak mendapat kasih sayang dari kakak." Desha mendekati anak berusia lima tahun itu dengan senyumnya, duduk di sebelahnya. "Hai anak cantik, sudah mengenal kakak Danisha? Tante, mamanya, panggil Tante Desha aja ya? Nama kamu siapa?" Anak kecil itu melebarkan senyumnya. "Marline, Tante." Jawabnya dengan tatapan yang masih melekat pada wajah Desha, sepertinya Marline terpesona. "Tante cantik sekali." Puji anak itu polos. "Kamu juga anak yang cantik." Tangannya menjawil pipinya yang chubby. Morgan berdiri dan pergi dari hadapan mereka, wajahnya nampak tidak bersahabat, entah kenapa. Margo yang melihat itu, mengikuti langkahnya meninggalkan ruang makan. Tiba di halaman belakang, keduanya terdiam untuk sesaat, Margo lah yang memulai percakapan. "Kamu akan tetap tinggal di rumah itu, meskipun Desha sudah kembali?" Tanyanya. "Untuk kembali ke rumah inipun aku tak sudi, selama wanita iblis itu ada di rumah ini." Jawabnya kasar. "Aku sendiripun tidak bisa mengusirnya, statusnya tetap istriku." "Aku memutuskan untuk membangun rumahku sendiri." Margo melirik saudara kembarnya. "Kalau kamu masih tinggal di rumah itu. Kamu dan Desha akan jadi gunjingan orang." "Aku tidak peduli tentang penilaian orang." "Tapi kamu harus memikirkan nama baik Desha juga." "Aku akan secepatnya membangun rumah itu." Tegasnya. "Padahal kamu bisa tinggal di rumah ini untuk sementara." "Apa kamu bisa jamin, dapat menjaga istrimu?" Margo terdiam, mengapa bisa serunyam ini? Velya yang terobsesi dari dulu untuk mengejar cintanya Morgan, tak pernah berhenti untuk selalu mengganggu Morgan dengan segala tingkah polahnya. Membuat laki-laki itu muak sampai ke ubun-ubunnya, hingga untuk tinggal satu rumah pun tidak mau. Margo menarik nafas panjangnya, wanita yang satu itu seperti duri dalam daging mereka.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD