Bab 1

1502 Words
Mobil sedan berwarna merah itu bertengger di atas puncak bukit di senja hari yang mulai temaram. Seorang perempuan berparas elok, bertubuh mungil, turun memandang sekitarnya. Di depannya terhampar luas kebun teh yang menghijau, memanjakan pandangan matanya. Inilah kampung halaman dari seorang Desha Gitary Hardy berusia 27 Tahun, ia sudah sembilan tahun meninggalkan kampung halamannya ini. Statusnya sudah berubah, kini ia sudah menjadi janda dengan seorang anak bernama Danisha William berumur delapan tahun. Desha mengusap air matanya, sudah teramat kangen dengan keadaan tempat di mana ia dilahirkan. Tidak banyak yang berubah selain bertambahnya bangunan Villa, yang mungkin hanya dikunjungi di saat-saat tertentu saja. "Mom," terdengar panggilan dari gadis ciliknya yang tadi masih tertidur pulas di jok samping kemudinya, membuyarkan lamunannya. Segera ia mengusap matanya yang masih berair. Desha masuk kedalam mobil di belakang kemudinya. "Sudah bangun?" tanyanya, memperhatikan Danisha yang nampak masih mengerjap-ngerjapkan matanya. "Ini di mana Mom?" "Sudah dekat dengan rumah kita, sayang." "Dingin Mom." rengeknya manja. "Pakai jaket mu." Tapi anak itu sepertinya malas untuk mengambil jaketnya yang tergeletak di jok belakang. Desha bergerak, berusaha menjangkau jaket anaknya. "Ini pakailah, anak malas." katanya sambil melebarkan matanya dengan gemas. Danisha hanya memanyunkan bibirnya lalu memakai jaketnya. "Ayo Mom, kenapa berdiam terus disini?" ajak gadis cilik itu terlihat sudah tidak sabaran. "Mom tidak begitu yakin, apakah rumah Mom masih layak ditinggali atau tidaknya. Sudah sembilan tahun, Mom meninggalkannya." Mata Danisha yang bulat itu terbelalak. "Tidak ada yang mengurusnya?" "Mom hanya punya tetangga satu keluarga yaitu keluarga Martin. Nanti mungkin Sha akan bertemu dengan om Margo Martin dan om Morgan Martin. Belum tentu mereka mengurusnya kan?" "Gak ada tetangga lain memang Mom?" "Agak berjauhan ada juga beberapa tetangga, tapi yang paling dekat adalah keluarga Martin itu." "Ok, kita lanjutkan perjalanan kita lagi." Desha menginjak gas mobil maticnya secara perlahan, berbelok dari jalan raya utama menuju jalan yang tidak begitu mulus. Semakin dekat ke rumahnya, hatinya semakin bergemuruh tidak karuan, mengapa ada rasa takut di hatinya? Apalagi saat mendekati jembatan sebuah sungai. Airnya masih sejernih dulu, membagi dua gundukan bukit kecil di mana ia tinggal. Sudah nampak ada wujud dua rumah, yang satu sangat besar dan yang satunya lebih kecil. Desha menghentikan mobilnya di depan rumah yang lebih kecil itu. Ia tertegun, melihat halaman yang nampak masih terawat dengan baik. Kalau halamannya terawat seperti itu, berarti rumahnyapun masih ada orang yang merawatnya. Udara terasa sangat dingin saat Desha dengan ragu masuk ke halaman rumahnya, ia melirik ke rumah besar sebelahnya yang sudah terang karena lampu sudah di nyalakan sementara rumahnya masih gelap. Desha tidak memiliki kuncinya, tapi saat mencoba mendorong pintunya, ternyata dengan mudahnya terbuka. Ruangan tidak nampak seram seperti rumah yang sudah lama tidak ditinggali, tapi tercium harum pembersih lantai beraroma lavender. Ia berusaha mengingat, tombol saklar listrik untuk menghidupkan lampu ruangan tamu. Matanya kembali terpana, melihat ruangan tamu yang masih seperti asalnya, bersih dengan sofa yang dulu, tidak ada kerusakan yang berarti. Ia cukup penasaran ingin melihat kamar pribadinya, harus melewati ruang tamu yang belum dinyalakan lampunya. Dalam cahaya remang ia berjalan secara perlahan, di belakangnya Danisha mengekor, memegang bajunya tanpa berani berucap sepatah kata pun. Desha hendak membuka pintu kamar. Baru saja tangannya terulur ke handel pintu, dirinya sudah dikejutkan oleh sesosok tubuh tinggi yang terlebih dahulu membuka pintunya. Mereka hampir bertabrakan kalau saja tubuh Desha tidak segera mundur selangkah. Rambut orang itu terlihat acak-acakan, sepertinya baru terbangun dari tidurnya. Keduanya terkesiap, saling memandang dengan intens. "Morgan." seru Desha, langsung mengenalinya. Morgan melihatnya kemudian pada gadis kecil di belakang tubuh mungil wanita yang ada di hadapannya ini. Inilah orang yang paling terakhir yang ingin dijumpai nya, tapi kenapa malah yang pertama kalinya? Batin Desha, tak habis pikir. "Ku pikir ada hantu yang menyerupaimu datang ke rumah ini." ucapnya dengan nada kasar. Ternyata waktu tak mudah mengubah watak tempramentalnya, tak juga mengubah penampilannya. Rambutnya masih nampak gondrong dan ya Tuhan dengan bertambah usianya membuat tampang laki-laki ini terlihat semakin tampan dan matang. Bukan seorang laki-laki remaja tanggung yang selalu menatapnya dengan sorot mata macan yang siap menerkam mangsanya. Selalu menjahilinya dengan berbagai cara dan menculiknya ke tempat sunyi di mana tak seorangpun tahu keberadaan mereka. Desha membatalkan untuk masuk ke kamarnya. Ia menarik Danisha hendak meninggalkan tubuh tinggi laki-laki itu yang masih tertegun di tempatnya. Desha segera menyalakan lampu ruangan tengah yang di jadikan ruang keluarga juga. Ia mengedarkan pandangannya, semua tidak ada yang berubah dan terlihat rapih. Tanpa tahu bahwa laki-laki yang di panggilnya Morgan itu terus memperhatikannya tanpa berkedip sedikitpun. "Kau yang sudah merawat rumah ini?" tanya Desha, sudut matanya melirik Morgan yang sekarang sudah menyandarkan tubuhnya ke dinding sebelah pintu kamarnya, memasukan kedua tangan ke saku celana pendek yang dikenakannya. "Aku tinggal disini, maaf bila tanpa seijin mu" masih menatapnya dengan seksama. Desha kembali mengarahkan pandangannya ke obyek lain. "Aku malah sangat berterimakasih padamu, telah merawat rumah ini hingga tidak jadi rumah hantu yang seram karena lama ditinggalkan penghuninya." tangannya mengelus patung kayu yang tak berdebu sama sekali. Patung ini salah satu karya pahatan ayahnya disela kesibukannya melayani penduduk sebagai dokter sukarela. Dulu banyak penduduk setempat, untuk memeriksakan dirinya dengan bayaran semampunya, kadang tidak membayarnya sama sekali. Patung itu berbentuk anak kecil berambut keriting, sedang berdiri memegang ranting-ranting kayu yang di beri daun-daun plastik berwarna hijau. Patung itu Desha yakin saat ayah memahatnya, mengingat dirinya sebagai anak satu-satunya. "Aku pun baru kembali ke sini belum lama, tapi aku selalu membayar orang untuk merawat rumah ini." Desha berbalik untuk menatap Morgan. "Mengapa kamu peduli pada rumah ini?" "Karena rumah ini, milikmu." katanya datar. Lalu beranjak mendekatinya. "Kamu belum memperkenalkan anakmu." liriknya pada Danisha yang terus nempel di belakang mommynya. "Oh ya, ini anak ku, namanya Danisha." Morgan lebih mendekatinya. Dengan agak membungkuk, ia tersenyum menyapanya dengan ramah. "Kamu mirip sekali dengan ibumu, hanya rambut ibumu keriting seperti mie atau seperti rambut patung itu." tunjuknya, pada patung yang baru diletakan Desha di tempatnya semula. "Om siapa?" tanya Danisha dengan wajah polosnya. "Nama om, Morgan. Kita kenalan dulu." tangannya diulurkan, dengan malu-malu anak itu menerima uluran tangannya. Ada debaran aneh saat melihat senyumnya, seakan ia melihat Desha kecil yang memang sudah terlihat cantik, mungkin sejak dilahirkan. Tiba-tiba Morgan menarik tangan Danisha dan membawanya ke arah dapur. "Om membuat sesuatu, pasti Danisha suka." "Duduk disini." pintanya, sambil memangku tubuh cilik itu ke kursi yang di depannya ada meja makan berbentuk oval. Kemudian Morgan menyalakan lampu dan mengeluarkan puding s**u yang di atasnya dipenuhi buah mangga dan setrowberi, dari kulkasnya, nampak cantik. Menyodorkan piring kecil dan menaruh satu potong di atasnya. "Makanlah." ucapnya, menatap Danisha dengan senyum jenakanya. Desha yang menyaksikan itu merasa tidak tahan, sudah ada titik air mata yang mengambang dipelupuk mata tanpa disadarinya. Serasa ada rasa tersayat di hatinya. Ia tidak jadi untuk masuk ke dapur, tapi kembali ke ruang tengah, duduk di sofa single tempat biasa mereka menonton televisi, saat masih sama-sama berkumpul. Morgan mendekatinya, ikut duduk di sebelahnya. Menatap wajah yang sudah lama tidak dilihatnya ini. Mereka sudah sama-sama dewasa sekarang, dengan perbedaan umur hanya empat tahun. "Des, mengapa kamu kembali?" tanyanya dengan nada rendah. "Tak bolehkah aku kembali kesini?" malah balik tanya. Morgan nampak kesal dengan pertanyaan balik dari Desha. "Apa hak aku melarang mu untuk kembali? Hanya heran saja setelah sekian tahun tak pernah sekalipun kamu pulang kesini.". ketusnya. "Aku punya suami dan dia selalu sibuk hingga tak pernah terpikirkan untuk membawanya kesini." Desha menatapnya begitupun dengan Morgan, banyak gejolak di hati keduanya. "Bukankah suami mu sudah meninggal? Sekarang kamu telah jadi seorang janda dari seorang dokter terkenal yang tentunya juga kaya raya, karena memiliki klinik sendiri." Tatapan Desha kini berubah, ada kilat kemarahan dimatanya. "Dia yang telah menyelamatkan hidupku, disaat aku terpuruk dan tak seorang pun peduli padaku." "Kamu sendiri yang pergi dari sini. Mengapa kamu tidak mau menunggu?" Morgan sama marahnya. Tangannya terkepal, seolah ingin meninju seseorang. "Adakah kepastian Morgan? Kamu datang dan pergi sesuka hatimu. Margo pun tidak ada dan aku sendirian disini." Sepertinya Desha sudah tidak bisa menahan dirinya lagi, ia bangkit dan berlari ke kamarnya. Morgan menyusulnya, jadi sebelum pintu itu tertutup, Morgan tetap bisa masuk. Desha nampak panik, berada berduaan seperti itu. Tapi pintu sudah tertutup dan tubuh Morgan yang tinggi itu menghalangi jalannya. Tatapannya seperti macan hendak menerkam mangsanya. Kebodohan yang selalu sama dilakukan Desha saat ia panik bila berhadapan dengan Morgan, pasti ia akan berlari dengan tujuan ingin menghindarinya tapi justru selalu terperangkap dalam situasi yang sama. Berduaan. "Jangan mendekat." pintanya. "Tapi kamu tahu, kita masih kuliah waktu itu." jawab Morgan, malah lebih mendekatinya. "Jangan mendekat, kataku." Tapi Morgan tak menggubrisnya, ia segera meraih tubuh mungilnya dalam pelukan, hanya dengan sekali gerakan. Mendesak tubuhnya lalu mencium bibir mungil itu dengan rakusnya. Desha tahu, tak mungkin ia bisa melawan kekuatan tenaga kuda yang dimiliki Morgan. Dulu ia tidak pernah bisa melepaskan diri bila sudah ada dalam cengkramannya, hingga tubuhnya jadi lemah tak berdaya. Hanya satu harapannya, Danisha segera menghabiskan pudingnya dan mencari keberadaannya, sebelum ia ikut larut dalam cumbuan laki-laki yang tidak jelas tentang perasaannya itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD