Bab 6

1559 Words
Makan malam di rumah besar itu berlangsung dengan suasana gembira, Marline terlihat sudah ceria kembali, wajahnya sudah tidak sepucat tadi. Velya tidak terlihat diantara kegembiraan mereka dalam bercengkrama, terutama Danisha yang terus dicandai oleh Morgan. "Kenapa rambutmu gak kriwil seperti Mommymu? Kamu dismoothing ya rambutnya?" "Ih, rambut Sha asli lurus loh, kayak rambut Om Morgan. Coba samain aja." Anak itu mengambil sejumput rambutnya dan ditunjukan pada Morgan. "Ingat aja rambut Daddy juga lurus Sha...." Kata Desha. "Eh iya Mom, rambut Deddy juga lurus." Ujar Danisha membeo. Morgan melirik Desha yang sedang memutar matanya, menanggapi atas ucapan anaknya barusan. "Kak Sha cantik kayak Mom, tapi Alin kata orang gak ada mirip-miripnya sama mama maupun papa." "Siapa bilang Alin? Tahu gak, kalau Alin itu lebih cantik dari tante Velya, tapi jangan bilang-bilang Tante Velya ya? Takut marah, serem." Bisik Danisha pelan dikalimat terakhirnya. Morgan dan Margo jadi tergugu oleh tingkah Danisha, hingga keduanya tertawa secara bersamaan. Sementara Desha agak melebarkan matanya, "Jangan suka gitu ah, Mom gak suka, Sha." Yang di tegur malah ikut tertawa. "Emang beneran, mukanya gak pernah tersenyum tapi kalau liat om Morgan, matanya gak pernah mau berkedip." "Wah, yang jadi suaminya kan om Margo." Tunjuk Morgan pada Margo yang langsung mulutnya merapat jadi garis lurus. "Udah deh jangan suka ngomongin orang di meja makan, tutup mulutmu Sha lanjutkan makannya." Desha menatap tegas pada anaknya. "Kalau soal mulut, sepertinya anakmu klop sekali dengan Morgan." Ucap Margo. "Aku kan Omnya Danisha juga, jadi kita cocok ya Sha?" Mata Morgan dikedip-kedipkan pada Danisha, hingga anak itu tergelak lagi, melupakan teguran Mommynya. Bunda hanya senyum-senyum saja melihat mereka bercanda di meja makan, terlihat ikut gembira dan kembali mengenang bagaimana ketiganya suka ribut bercanda atau berdebat sampai bunda harus turut campur untuk melerainya. Margo memang dari dulu agak pendiam, lebih sering mengalah bila mereka berdebat, sementara Morgan dan Desha tak akan saling mengalah kalau bunda belum berteriak dan mengambil piring mereka yang masih tersisa. Kalau sudah begitu, keduanya akan merajuk untuk mengambil makanannya kembali dan duduk manis menyelesaikan acara makannya. Desha membantu bunda membereskan meja makan lanjut mencuci piring dibantu Danisha yang menawarkan jasanya untuk mengeringkan piring dengan lap. sementara para cowok sudah bubar entah kemana. "Kamu mendidik anakmu sangat baik, Des." Kata Bunda, tangannya mengelus anak itu dengan lembut. "Mencontoh juga dari Daddy nya, Bun, yang tak segan untuk mengerjakan apa saja di rumah bila punya waktu luang." "Oh, ya bunda belum mendengar ceritamu tentang suamimu. Sayangnya bunda belum mengenal sosoknya, Dia sudah terlebih dahulu meninggalkan kita." Kata Bunda sambil membersihkan sekitar kompor yang tadi belum begitu sempat dibersihkannya dengan benar. "Maaf Bun, Des belum sempat memperkenalkannya pada Bunda dan Ayah, berhubung kesibukan David sebagai dokter kandungan yang terkenal, juga mempunyai klinik sendiri. Desha membantunya, sambil kuliah di kedokteran dan baru menyelesaikan spesialisnya beberapa bulan yang lalu." "Bunda mengerti kesibukanmu, Des." "David usianya memang sudah tidak muda lagi Bun, saat meninggal sebulan yang lalu, usianya 64 tahun." Bunda nampak terkejut, sampai sempat menghentikan kegiatannya. "Setua itu? Sepantaran ayah?" "Sepantaran Papa juga Bun, beliau memang rekan kerja Papa, pernah datang ke rumah juga untuk membujuk Papa agar kembali bekerja di Rumah Sakit. Kata David, saat itu Des masih bayi." "Sebentar, Mamamu juga pernah bercerita, dulu ada beberapa orang yang datang untuk membujuk Papamu, tapi selalu di tolak. Benar, waktu itu kamu masih bayi." "Iya Bun." "Bagaimana kamu ketemu dengannya." "Beliau lah yang menolongku, saat aku pingsan di trotoar karena dehidrasi dan kelaparan." Bunda kembali tersentak, "Desha, apa yang sebenarnya kamu lakukan dengan bertindak senekad itu? Pergi dari rumah tanpa pamit sama Ayah dan Bunda." "Maaf Bunda, tadinya Desha hanya ingin mencari pengalaman di Jakarta, tapi takut Bunda dan Ayah tidak mengijinkannya." Desha tertunduk dengan penuh penyesalan karena sudah mengecewakan kedua orang tua itu yang sudah jelas-jelas sangat menyayanginya. "Apa tidak ada alasan lain, Des?" Tanya Bunda agak menyelidik. "Tidak Bunda, mungkin karena bosan aja karena kak Margo dan Morgan balik lagi ke Bandung untuk kuliah." "Kamu cukup berani menikah dengan orang yang lebih tua, bisa di bilang terlalu tua malah." "Mau di gimanain lagi Bun, aku tinggal di rumahnya, David juga orangnya sangat simpatik dan baik. Aku menyayanginya Bun, kadang seperti kepada papa atau ayah." Senyumnya sudah menjelaskan apa yang dirasakannya, tidak ada kepalsuan disana. "Bunda malah membayangkan, kamu akan bersanding dengan salah satu anak kembar bunda." Tatap Bunda, nampak ada cahaya yang penuh harapan di manik matanya. Ada semburat merah meronai wajah Desha. "Kalau salah satu yang ku pilih, pasti yang satunya akan tersakiti, Bun." "Itukah alasannya yang membuatmu pergi waktu itu? Bunda lihat Margo maupun Morgan pergi dengan wajah yang tidak bersahabat." Desha menatap bunda. "Des, tidak ingin menyakiti keduanya." "Sampai sekarang pun, kamu masih jadi impian mereka." "Bun, aku kadang bingung dengan sikap keduanya." "Kamu hanya tinggal menentukan sikap, memilih si lembut hati atau si kuda liar yang sangat susah di pegang ekornya." Tawa bunda meledak, mengingat Morgan yang memang sangat susah ditebak. "Tapi kak Margo sudah punya Velya." "Sepertinya sejak awal pernikahan, Margo tak pernah menyentuhnya, kamar tidurnya saja terpisah. Bunda kadang heran sama Velya, kenapa dia tidak sakit hati di perlakukan begitu?" "Mungkin yang dikejarnya bukan anak kembar bunda tapi lebih ke kenyamanan dan jaminan hidup di rumah ini Bun. Bunda sendiri tahu, bagaimana kehidupan ekonomi keluarganya." Bunda menarik nafas panjangnya. "Kamu tahu yang merawat rumahmu selama ini? Morgan telah memberi penghasilan tetap kepada kedua orang tua Velya, untuk mengurus rumahmu." "Oh, ya? Tapi Des belum pernah ketemu lagi dengan mereka." "Kalau membersihkan halaman memang tidak pernah setiap hari dan biasanya Morgan lebih suka membereskannya sendiri, baru bila ia sudah sangat sibuk akan memanggil kedua suami istri itu." "Pantesan sudah tiga hari ini, mereka belum kelihatan." "Des, anakmu sudah tertidur. Ya ampun, kasihan sekali cucu Oma sampai tertidur di atas meja makan gini." Seru bunda, menghampiri Danisha yang menelungkupkan kepalanya dengan lengan sebagai bantalnya, di atas meja makan. "Sha memang sangat mudah tertidur, bila ia kelelahan dan perutnya penuh. Padahal tadi masih main sama Alin." Desha tertawa, kebetulan ia melihat Margo yang melongok ke dapur. "Alin sudah tidur duluan, tadi aku yang yang membawanya ke atas." Kata Margo. "Kita terlalu asik ngobrol Bun, sampai anak-anak terabaikan." Liriknya pada Bunda. "Tapi Sha mengerti ya? Kalau orang tua lagi ngobrol, dia tidak mengganggu." "Sha sangat tahu soal itu Bun, karena seringnya banyak tamu ke rumah jadi dia sudah biasa lagi kalau orang tuanya ada tamu, berarti tak bisa diganggu." Desha menatap pada Margo. "Kak, bisa tolong gendong Sha ke rumah?" Margo langsung mengangkat tubuh anak itu. Sebelum pergi Desha pamit dan berterimakasih atas makan malamnya pada Bunda. "Sebenernya kita nunggu kamu dari tadi loh, Des." Ucap Margo sambil terus berjalan. "Memang ada apa?" Tanya Desha agak kaget. "Ada yang akan kita bicarakan." "Mengapa tidak bilang tadi?" "Kamu lagi asik ngobrol sama Bunda." "Kita bisa membicarakannya sekarang." Gadis cilik itu ditidurkan di kamar, setelah Margo masuk rumah. Morgan sedang membuat teh di dapur ketika Desha berniat membuat sesuatu untuk camilan mereka. Sesaat mereka saling pandang, tapi Desha segera berpaling ke rak di mana ia ingat melihat terigu di dalamnya. "Aku melihat pisang yang sudah ada beberapa yang matang. Aku akan menggorengnya." Katanya, menuju rak, mengambil terigu dan mencari pisang yang tadi pagi dilihatnya ada di sudut ruangan sebelah kanan. "Mengapa kamu tidak bertanya padaku?" Ucap Morgan, muncul lagi sikap jahilnya. Desha memutar bola matanya yang bulat itu. "Kenapa harus bertanya? Kamu tahu kan apa yang kucari?" "Ini." Margo menaruh pisang itu satu tandan penuh, di atas meja makan. "Kamu gak usah bertanya pada Morgan. Akan jadi panjang urusannya." Katanya dengan wajah datar. Kedua orang yang tadinya ingin saling berdebat itu jadi tertawa. Merasa lucu, selain wajah datarnya Margo, juga pisang itu setandan, sangat besar berdiri di atas meja dengan beberapa sisir yang saling bertumpuk, hanya ada beberapa saja yang terlihat menguning kulitnya di bagian paling atas. "Kakak, harusnya mengambil beberapa saja dari pada berat-berat menaruhnya di atas meja." Seringai Desha sambil memilih beberapa biji untuk digorengnya. "Cukup kak." Ujarnya. Margo menyimpan kembali pisang itu di sudut ruangan sebelah kirinya. "Kita bicarakan di sini aja, sambil aku goreng pisangnya." Usul Desha. "Tapi kamu tak akan begitu fokus nantinya." Protes Morgan. "Memang apa yang akan dibicarakanya sih?" "Tentang klinik." Jawab keduanya berbarengan. "Tumben kompak." Cibir Desha. Menaruh pisang yang sudah diberi tepung itu keminyak yang sudah panas. "Aku mau kopi dong." Pinta Margo. "Bikin aja sendiri, aku sudah bikinin sepoci teh manis." "Siapa juga yang minta teh." Desha kembali memutar bola matanya. Ada diantara anak kembar ini memang selalu membuat kepalanya pening, kadang ngadak-ngadak serasa tumbuh dua tanduk iblis di kepalanya. "Baiklah kakakku yang baik hati, adik akan membuatkan kopinya, dengan syarat agar mahluk aneh yang itu di sumpal mulutnya pake cabe." Tunjuknya pada Morgan. Morgan malah terkekeh dan tangannya malah mencomot pisang yang baru saja di angkat. Belum terlaksana, tangannya sudah ditepis oleh Desha. "Kebiasaan, masih panas udah diambil. Sabar dikit kek." "Apa kek? Suamimu yang udah kakek-kakek tuh, aku masih seger buger gini." Canda Morgan. Desha memelototkan matanya. "Biar kakek-kakek dia sangat sayang aku, gak kayak kamu. Dasar asem!" Margo mendekati penggorengan, membalikan pisang yang sudah kecoklatan lalu menaruh pisang yang sudah matang itu di piring, membawa ke meja dan memakannya. Morgan dan Desha hanya melongo melihat kelakuan Margo. "Makanya jangan banyak berdebat hal-,hal yang gak penting, gak bakalan kenyang. Des, aku nunggu kopinya." Katanya dengan wajah tanpa dosanya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD