"Ini kopinya kak." Desha menyodorkan gelas kopi di depan Margo lalu mengambil piring yang terisi pisang goreng itu untuk ditambah dengan yang baru digoreng.
Mereka duduk bertiga. Morgan meminum tehnya dan Margo menyeruput kopinya.
"Kita mulai saja, apa yang kalian rencanakan untuk mendirikan klinik ini?" Tanya Desha, menatap keduanya secara bergantian.
"Kamu akan ikut menanam modal, Des?" Tanya Margo serius.
"Tentu, bila dibutuhkan." Liriknya pada Morgan, karena menurutnya, Morgan tidak akan kesulitan kalau soal uang.
Yang diliriknya, terlihat duduk santai sambil menikmati pisang gorengnya. "Kita akan memulai pembangunan kliniknya, mungkin kamu punya beberapa ide atau impian sehubungan dengan Papamu atau impianmu sendiri."
"Terus terang, aku kembali ke sini salah satunya ingin mewujudkan cita-cita Papa yang ingin mendirikan klinik di sini dan lebih spesifiknya aku ingin mendirikan tempat khusus untuk penderita kanker anak-anak."
Kedua kembaran itu menatapnya intens. Mendengar jawaban dari Desha.
"Kita memiliki tanah yang luas, di mana aliran sungai ada di bawahnya, udara yang masih bersih dan jauh dari hirup pikuknya keramaian kota. Lingkungan di sini sangat cocok untuk pasien yang butuh ketenangan atau dalam proses penyembuhan." sambung Desha, memberi penjelasan lebih luas lagi, saat kedua mahluk di depannya ini masih terdiam.
Setelah hening untuk sesaat, akhirnya Morgan angkat bicara. "Idemu bagus Des, jadi selain menerima pasien rawat jalan, kita juga bisa mengkhususkan menerima pasien penderita kanker, baik untuk perawatan maupun dalam proses penyembuhan. Bagaimana Go?" Tatapannya beralih pada Margo.
"Bisa diterima, aku setuju. Hanya kalau sudah menerima pasien rawa inap lebih dari 5 hari, berarti bentuknya sudah bukan Klinik lagi tapi kita harus mendirikan Rumah Sakit" Jawab Margo.
Ketiganya saling menatap, ternyata tidak sesederhana itu, harus di pikirkan secara lebih matang lagi.
"Ok, kita harus sudah menyusun rencana, bagaimana pelaksanaan ke depannya." Kata Morgan, mengambil laptopnya dan ketiganya mulai serius mendiskusikan rencana mereka sampai jauh larut malam.
Suara ribut di sebelah, membuat orang yang tidur lelap pun jadi terbangunkan. Desha membuka matanya yang masih terasa berat, melihat ke sebelahnya Danisha sudah tidak ada. Dengan perlahan ia bangun, berjalan menuju kamar mandi.
Sepertinya ia harus mulai terbiasa dengan suara berisik di sebelah rumahnya, melongokkan kepalanya dari jendela yang terbuka. Dilihatnya rumah itu sudah berdiri dengan kusen-kusen jendela dan pintu yang sudah terpasang. Cepat sekali? Sepertinya memang Morgan berniat membangun rumah secepat kilat. Pikirnya.
"Mom," panggil Danisha, dari arah dapur. "Sha udah sarapan sama om Morgan dan om Margo." Gadis cilik itu mendekati ibunya.
Desha mengusap puncak kepala mungilnya, "Sha udah mandi juga?" Tanyanya lembut.
"Udah dong, tadi om Morgan juga yang bantu siapin mandinya untuk Sha."
"Sha harusnya jangan terlalu ngerepotin om Morgan, kasian kan? Udah repot bikin sarapan harus ngurus Sha juga."
"Nggak kok Mom, Om kembar itu bagi tugas."
"Bagi tugas gimana?"
"Om Morgan beresin rumah, Om Margo yang bikin sarapan. Masakannya sama enaknya kok."
"Kalau itu sih, Mom sudah tahu. Dari dulu om Margo memang suka masak."
"Mom lebih suka sama om Margo ya? Dan sepertinya Mom agak takut sama om Morgan." Nah, anak kecil aja sudah bisa baca bagaimana sikap mommynya terhadap dua kembar itu.
"Hushh! Pagi-pagi kamu sudah berkicau kayak burung." Anak itu cekikikan, berlari keluar.
"Mom, Sha mau main lagi sama Alin ya..." Belum mengiyakan, ia sudah melihat kepala mungil itu nongol kembali di pintu depan "Sha lupa bilang, kalau om Morgan sama om Margo sudah berangkat kerja tadi pagi." Pintu itu pun tertutup.
Desha menikmati sarapannya. Sudah lama ia tidak merasakan nasi goreng buatan Margo, ingatannya jadi ke masa di mana ia masih kecil.
Dulu, Margo akan membuatkan sarapannya bila bunda sedang sibuk pagi-pagi dan belum sempat menyiapkannya. Dan seingatnya, dari sebelum usia TK, Desha suka bertandang pagi-pagi ke rumah tetangga terdekatnya itu, akibatnya Mama sering minta maaf kepada keluarga Martin karena ulahnya itu.
Sebenernya Ia hanya suka suasana rumahnya yang selalu ramai oleh tingkah polah si kembar dan sikap ramah Bunda yang dengan baik hatinya selalu melibatkan ia ikut sarapan bersama mereka.
Dengan kehadiran gadis cilik bermata bulat yang indah dan rambut mienya itu, cukup menarik perhatian si kembar. Mereka berebut memberi perhatian yang kadang membuat Desha kecil tertawa atau menangis. Terlebih Morgan yang suka menjahilinya, sering mencubit pipinya yang chubby itu jadi kemerahan seperti tomat matang. Kalau sudah begitu Morgan akan tertawa terpingkal-pingkal melihat Desha menangis kejer-kejer saking merasa kesalnya, maka Margo lagi yang akan jadi penyelamatnya, cowok kalem yang menjadi idolanya ini, akan mengusir badut nyebelin itu dari hadapannya.
Desha menarik nafas panjangnya, berusaha menyingkirkan kenangan masa kecilnya itu.
Ia menghubungi Lita sekretarisnya di Klinik Sehat Sentosa milik almarhum suaminya yang kini jadi miliknya, melalui telepon.
Desha meminta Lita untuk mengatur agar ia bisa mengadakan rapat online melalui aplikasi, dengan orang-orang penting di klinik itu. Ya, untuk sementara ini, ia bisa memantau kliniknya melalui laptopnya sebelum ia sendiri nanti kembali ke sana.
Dengan waktu yang terbatas karena tugas kerja yang tidak bisa ditinggalkan juga mengurus surat-surat yang tidak mudah di lakukan, membuat ketiganya merasa lebih lelah, sangat menguras tenaga dan pikiran mereka. Setiap kesempatan mereka mengadakan rapat lalu membuat suatu keputusan mengenai langkah selanjutnya yang akan mereka lakukan
Rencana awalnya hanya akan membuat sebuah Klinik saja tapi kemudian setelah dipertimbangkan lebih jauh lagi akhirnya diputuskan untuk sekalian saja mendirikan Rumah Sakit.
Setelah berbulan-bulan kemudian, dengan menggunakan banyak tenaga kerja, impian mereka terwujud juga. Sebuah rumah sakit berdiri dengan megahnya, meskipun belum semua yang sudah direncanakan bisa di selesaikan. Namun, bagian-bagian penting diutamakan sudah selesai.
Perekrutan tenaga medis sudah berjalan sebelumnya, ada juga yang diambil dari warga sekitarnya sesuai dengan kemampuannya masing-masing.
Banyak hal yang sudah di korbankan, terutama keuangan yang membengkak berkali-kali lipat karena melenceng dari rencana awalnya. Untungnya Morgan mendapat kepercayaan dari Bank untuk mendapat pinjaman, begitu juga dengan Desha. Selain tabungan suaminya yang ternyata tidak sedikit, Klinik kandungan yang dimilikinya juga tidak pernah sepi pasien.
Ada juga beberapa dokter yang sudah menyatakan diri bersedia bekerjasama. Baik sebagai penanam modal ataupun sebagai tenaga ahli medisnya.
Masa-masa paling berat itu sudah bisa mereka lewati, tinggal persiapan peresmian Rumah sakitnya diakhir Minggu yang tinggal beberapa hari lagi.
Rumah Morgan sudah selesai dibangun, terdiri dari dua lantai. Dibagian bawah ada ruangan tamu yang sangat luas dan terbuka tanpa ada ruangan lagi di atasnya. Dibatasi oleh tangga lebar yang menuju ke lantai 2, di belakangnya ada ruangan luas yang tak bersekat untuk rapat atau pertemuan-pertemuan, hanya ada ruang dapur dan kamar mandi di bagian lainnya. Sementara ruangan atas, lebih keruangan pribadi Morgan yang terdiri dari 2 ruang kamar tidur yang sama luasnya dengan masing-masing kamar mandi di dalamnya. Di depan kamar hanya ruangan memanjang sebagai koridor menuju tangga ke ruang bawahnya.
Ruang luas di rumah baru itulah yang yang biasa mereka pakai untuk rapat-rapat baik secara resmi dengan orang-orang yang berkepentingan dalam pembangunan Rumah Sakit atau rapat pribadi yang hanya di hadiri oleh mereka bertiga saja. Kadang sampai jauh larut malam, sehingga tanpa sadar mereka sudah tertidur di mana saja karena kelelahan. Tak jarang pula, mereka akan tertidur di karpet tebal dengan tidak beraturan, lebih seringnya perut Morgan atau Margo yang akan dijadikan bantal oleh Desha dan mereka sama sekali tidak keberatan.
Sesekali Bunda memergoki mereka dalam posisi tidur seperti itu, melihat wajah-wajah terlelap yang tampak lelah sampai lupa untuk berganti pakaian. Tapi tak pernah mereka mengabaikan tentang kebersihan, tidak ada ceceran makanan di sekitar mereka. Lalu Bunda akan membuat sarapan dan membangunkan ketiganya sebelum sarapannya menjadi dingin.
Dua hari menjelang acara peresmian gedung Rumah Sakit, mereka mengadakan rapat dengan pengatur acara, setelahnya saat mereka sudah bertiga lagi dan jam menunjukan ke angka 11, tak ada satupun yang bergerak dari tempatnya.
"Gak pulang Des? Sha di mana?" Tanya Margo dengan wajah lesunya.
"Tadi bilang mau ke rumah Bunda. Aku capek banget, males pulang." Jawabnya sambil menguap, matanya terasa sepet sekali.
"Ya udah kamu tinggal pilih mau bantal yang mana? Ada dua yang biasa kamu pakai."
"Aneh ya, perasaanku gak secara sengaja tidur di perut kalian, tapi terbangun selalu dalam posisi itu."
"Masa ada bantal yang nyamperin kepala, ya kepalalah yang bergerak." Morgan yang tadi terdiam menyahuti omongan Desha. Tubuhnya telentang dengan alas kepala lengannya sendiri.
Desha melirik tubuh di sebelahnya itu, mengambil bantal dan melemparnya ke Morgan. "Sepertinya ada tangan yang suka iseng mindahin kepalaku."
Morgan menangkap bantal itu lalu di taruh di bawah kepalanya. "Terimakasih." ucapnya, sambil menarik sudut bibirnya ke atas. "Berarti tangan Margo juga suka iseng."
Desha melirik Margo yang sudah memejamkan matanya dengan posisi yang sama dengan Morgan. Apakah Margo juga suka jahil seperti Morgan? Pikirnya, hampir tidak mempercayainya.
Mau pindah ke tempat lain pun merasa ngeri, ruangan seluas itu, sungguh menakutkan bila harus tidur sendirian. Sebenarnya ia sudah merasa aman bila ada Margo, entahlah kalau orang itu adalah Morgan.