Pertemuan Awal

1446 Words
"Selamat siang, Pak" Seraya mengeratkan genggaman tangannya pada tangan kecil Leon, Rica tersenyum kecil saat ia sudah berada didepan pintu ruangan pusat informasi. "Iya. Cari apa dek? Ada yang bisa saya bantu?" Adek ndasmu! Rica mencibir. "Ini katanya ada yang kehilangan anak? Kalau saya ga salah sama ciri-cirinya yang ini bukan,Pak?" Rica melirik Leon yang hanya diam memperhatikan interaksi antara dirinya dan salah satu penjaga ruangan pusat informasi taman hiburan tersebut. Anak itu tampak bingung dan mencoba memahami. Penjaga itu melebarkan pupil matanya terkejut. Ia kembali masuk kedalam ruangan pusat informasi dan tampak memanggil salah seorang rekannya. "Masuk dulu, dek" sahut penjaga itu dari dalam ruangan. "Anjir nih orang, sejak kapan gue jadi adeknya" Rica menutupi rasa jengkelnya dengan tersenyum saja. Ia menggiring Leon untuk ikut masuk kedalam, namun anak kecil disampingnya ini semakin mengeratkan tautan tangan mereka. "Kita dimana kak?" bocah itu meringsek berlindung kebelakang tubuhnya. Entah apa yang ditakutkan bocah itu, Rica tak tahu. "Udah kamu jangan takut gitu Leon, ga ada yang jahat kok" Rica mengelus puncak kepala itu lembut, memberi ketenangan dan kenyamanan tersendiri pada Leon. "Ini ada yang bawa anak sama seperti ciri-ciri yang Bapak sebutkan, bisa dilihat dulu pak?" "Mana?" pria itu mengerutkan dahi bingung saat di rasa tidak menemukan anaknya disekitar ruangan ini, hanya ada seorang gadis muda dengan memiliki empat kaki saat berdiri. Empat kaki? Tunggu, pria itu mengenali sepatu dari salah satu kaki itu. Maksudnya kaki kecil yang ada dibelakang gadis muda itu. "Mbak!" Rica menoleh mendengar suara yang sepertinya ditujukan padanya. Siapa lagi? Hanya dia satu-satunya perempuan yang ada didalam ruangan ini. "iya pak?" "Mana anak tadi?" "Oh, hehehe. Ketutupan sama saya pak" Rica buru-buru menyingkir dan menampakkan bocah tampan yang sedari tadi bersembunyi dibelakangnya. "Leon!" Rica langsung menoleh saat suara berat bernada senang tertahan itu menyeru. "Ayah" Leon langsung menghambur kedalam pelukan pria yang disebutnya sebagai Ayah tersebut. Binar kebahagian dan kelegaan sangat kentara pada iris keduanya. Tak Rica hiraukan percakapan apa yang terlontar antara anak dan ayah itu. Yang gadis itu lakukan adalah hanya fokus pada satu objek didepannya. Ayah Leon. Tinggi perfect, kulit sawo matang yang bersih, mata hitam yang menyorot tajam, serta rambut dan alis tebal yang hitamnya sekelam malam, jangan lupakan bibir merah penuh yang terpahat rapi diwajah pria itu. bukan perokok. Batin Rica menilai kilat. "Ini serius Ayah si Leon? Kok pas pertama lihat gue pengennya dihallalin sih" Rica buru-buru menggelengkan kepalanya, menepis pikiran bodoh yang selalu hinggap diotak kecil berpentium rendah miliknya. "Sadar Ca, itu suami orang" batin Rica meneriaki dirinya sendiri yang terkesan seperti j****y. "Kak. Kakak ga apa-apa?" Leon membuyarkan lamunan bodoh Rica akan Ayah bocah itu. Benar-benar tidak tau sopan santun memikirkan suami orang! "Eh. enggak kok heheh" Rica tersenyum canggung kemudian melirik malu kepada pria disebelah Leon. "Terimakasih sudah menemukan anak saya" pria itu mendekati Rica kemudian tersenyum kecil saat sudah berdiri dihadapan gadis itu. "I-iya Om sama-sama" 'Yaampun, wangi banget kayak kuburan baru. Mana senyum lagi, gue masih perawan kan?' Rica membatin sewot. Tidak mungkin 'kan hanya diberi senyum seperti itu saja bisa membuat keperawanan Rica hilang? "Saya Ayahnya Leon. Dito." pria itu mengulurkan tangannya kearah Rica yang masih bengong menatapnya. "Haloo. . " Dito melambaikan tangannya didepan wajah Rica. "Enghh.. Saya Rica, Om. Rica amelia" gadis itu menjabat tangan Dito yang masih melambai didepan wajahnya, membuat Dito tersentak kaget. "Terimakasih sudah menemukan anak saya, Rica" "Iya om , saya seneng kok ketemu Leon. Anaknya manis , penurut lagi" Dito hanya tersenyum saja mendengar perkataan Rica. Tak biasanya anaknya itu cepat akrab dengan seseorang. Apalagi wanita. "Oh iya Om, lututnya Leon tadi luka karena kesandung. Baru saya lap aja sama air bersih, biar ga kotor" Dito melirik Leon sekilas. "Kan sudah Ayah bilang Leon.." "Om jangan dimarahin dong leonnya" Rica menyela perkataan Dito saat dirasa pria itu akan memarahi Leon. sedangkan Leon hanya menundukkan kepalanya dalam, bak mengheningkan cipta saat upacara bendera dihari senin. Dito menghela napas nya pelan, entah kenapa ia jadi tak tega memarahi tingkah Leon yang sempat membuatnya cemas setengah mati. "Kita pulang Leon" Dito melirik Leon sekilas, kemudian berbalik menatap Rica lagi. "Dan kamu. Terima kasih sudah menemukan anak saya dan menjaganya, saya permisi pulang ya" "Iya Om, saya juga mau pulang " "Sendiri? Ya sudah saya antar saja sekalian" "pengennya sih hehe, tapi saya kesini sama temen-temen saya.. Astagaa!" Rica menepuk dahinya cepat saat teringat akan satu hal. teman-temannya. "Saya duluan yah Om, dah Leon" Namun baru beberapa Langkah rica akan melangkah keluar dari ruangan tersebut, suara riuh dari luar ruangan pusat informasi taman hiburan tersebut semakin menarik perhatiannya untuk melangkah keluar dengan cepat. "Enggak Pak. Teman saya tuh udah tujuh belas tahun! Emang sih mukanya kayak anak-anak, tingkahnya juga. Tapi beneran dia hilang" Rica terbelalak melihat teman-temannya berdiri didepan lelaki penjaga ruang pusat informasi taman hiburan ini, lengkap dengan wajah khawatir dan adu mulut yang menggebu-gebu. "Tujuh belas tahun ga mungkin hilang dek, kalian ini kok aneh banget. Ga mungkin saya ngumumin nanti anak hilang berumur tujuh belas tahun kan?" "Astagfirullah Pak!.." "Rena!" Rena menghentikan argumennya saat dirasa suara cempreng yang amat dikenalnya itu memanggil namanya. "Kalian ngapain disini?" Rica berjalan menghampiri ketiga temannya. "Kalian kenapa?" Rica mengerutkan dahinya saat di rasa tidak ada respon dari ketiga temannya. Mereka hanya memandang Rica cengo sekaligus geram. "Lo tuh yah Ca, dibilang tungguin juga malah keluyuran!" Elisa yang sadar pertama kali lantas langsung memarahi Rica geram. "Maafin gue, tadi gue nganterin anak orang hilang kesini. Soalnya tadi dia kepisah sama ayahnya" Rica tersenyum tak enak pada ketiga temannya yang telah repot-repot mencarinya. "Lain kali bilang dong Ca, jangan kayak gini" Chika menghela nafas pelan, saat melihat cengiran tak berdosa dari wajah Rica. "Kalian sendiri ngapain disini?" Rica bertanya balik kepada teman-temannya. "Yah nyariin elo lah, mau minta tolong umumin disini. Tapi malah bapak rese' itu tuh yang malu ngumuminnya" Rena mendelik tak suka saat melihat seorang pria penjaga ruang pusat informasi tersebut. "Saya bukan bapak orang!" geram pria itu pada Rena. Masa bodoh kode etik pelayanan, ia malas meladeni anak kecil seperti Rena. "Terserah Pak, terserah." Rena membuang mukanya saat tatapan mereka bertemu. Sebenarnya yang dikatakan Rena sebagai bapak itu adalah seorang pria dewasa berumur dua puluh tahun. Namun entah atas dasar apa rena memanggilnya dengan sebutan bapak. "Pantes aja, bego. Gue juga malu kalo diumumin begitu" Rica memandang masam pada ketiga temannya. "Yang namanya hilang yah hilang Ca. Mau anak-anak ataupun bukan yah itu tetep aja dibilang hilang." "Iya Rena, iya. Makasih ya udah repot nyariin gue" Rica mendekat lantas merangkul ketiga temannya erat. "Yaudah yuk pulang, gue capek" Elisa berbalik terlebih dahulu, kemudian berjalan santai menjauhi ruangan tersebut. "Maaf ngerepotin yah pak, kita permisi dulu" Rica tersenyum kemudian berjalan mengikuti ketiga temannya yang sudah berjalan terlebih dahulu didepannya. "Kak Rica" Rica berbalik lagi kemudian menghentikan langkahnya. Ia tersenyum saat melihat Leon yang berlari kearahnya kemudian menghambur kedalam pelukannya. "Kita akan ketemu lagi kan, kak?" Leon memeluk leher Rica erat, seolah tak ingin berpisah dengan gadis itu. Dalam posisinya yang sekarang sudah berjongkok guna menyamakan tinggi badannya dengan Leon, Rica mengusap punggung kecil itu pelan. "Insyaallah yah sayang, kakak ga janji" Rica tersenyum kemudian sedikit melonggarkan pelukannya dengan Leon, guna menatap wajah mungil nan menggemaskan didepannya ini. "Tapi Leon mau main terus sama kak Rica" Leon menatap Rica sedih kemudian menundukkan kepalanya. "kamu boleh ketemu sama kak Rica lagi kok Leon, nanti kalau weekend lagi Ayah akan ijinin Leon main" Dito mendekati Leon dan Rica yang sekarang sudah berdiri memperbaiki posisi mereka. "Ayah ga bohong kan?" Leon mendongak menatap Dito seolah mengisyaratkan agar pria itu menepati janjinya "Iya, Leon" "Om serius?" Rica membelalakkan matanya tak percaya. Bagaimana jika istri pria itu marah? Bisa dicap sebagai orang ketiga dong. namun melihat anggukan Dito membuat satu sisi dirinya sedikit lega. "Nanti kalau Bundanya Leon marah gimana?" Rica bertanya berhati-hati. "Kamu kerumah saya sebagai teman main anak saya 'kan? no problem" Ada sedikit kekecewaan yang Rica rasakan saat mendengar jawaban dari Dito. Padahal jawaban yang ingin sekali Rica dengar adalah 'saya udah cerai sama istri saya' atau ' Bundanya Leon kabur dari rumah' atau mungkin 'Bundanya Leon udah meninggal'. Astaghfirullahaladzim. ini gila, tapi Rica lebih gila dari kelihatannya. "Ayo Leon kita pulang, nak" Leon mendekat kearah Dito, kemudian menggenggam tangan Ayahnya dengan erat. "dah kak Rica!" Leon melambaikan sebelah tangannya yang tak digenggam Dito kearah Rica, anak itu tersenyum senang. "Ca! Ayok nanti lo hilang lagi" Suara Chika terdengar geram di telinga Rica. Membuat Rica memutar bola matanya malas. "Seharusnya kalian ga usah tungguin gue" Rica berlari kecil menghampiri ketiga temannya yang sudah menunggu nya sedari tadi saat ia berbicara dengan Leon dan Dito. *** Visa Ranico Prabumulih, Sumatera Selatan
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD