Pertemuan Kedua

1204 Words
Satu minggu setelah kejadian Rica bertemu dengan Leon ditaman hiburan, sampai sekarang pun Rica belum bertemu kembali dengan bocah itu. Terselip kerinduan dihati gadis itu, walaupun mereka hanya kenal dalam kurun waktu beberapa jam saja. But, We don’t know.. siapa yang Rica rindukan? entah kerinduan dengan bocah itu atau dengan Ayah si bocah. Yang pasti dia sangat merindukan wajah keduanya. "Kak gue pinjem charger" "Nino! Siapa yang suruh lo masuk?!" Rica melempar bantal karakter sapi yang ada dipelukannya secara reflek kearah adiknya, dengan cepat pula ditangkap Nino dan balik pria itu lempar pada kakaknya. "ga ada sahutan. Gue kira lo tewas" "Mati aja lo!" teriak Rica jengkel. Rasa jengkel Rica bisa jadi berlipat-lipat jika Nino sudah pulang kerumah. Lebih baik adik penghancur Moodnya itu berdiam diri saja di dalam hutan daripada harus masuk keluar kamarnya tanpa izin seperti ini. "Gue cuma mau pinjem charger, setelah itu gue keluar" "Di dalem laci cari aja. Lupa tutup lagi pintunya" "oh iya. kata bang Rio, lo disuruh nemenin dia malam ini keacara nikahan temennya" Nino menutup laci samping tempat tidur Rica, lalu berbalik hendak keluar. "Ogah" jawab Rica acuh. "Jangan jawab ke gue. Sana sama bang Rio" Blamm! Nino menutup pintu kamar Rica, diikuti decakan malas gadis itu dari dalam. Kepala Rica kembali berasap saat kakak pertamanya itu seolah berbuat seenaknya dengan memaksa ia menemani ke acara membosankan tersebut. Rica merasa dieksploitasi saudaranya sendiri jika begini terus. "ABANG! JANGAN SEENAKNYA SAMA AKU!" Rica menjerit kencang dari dalam kamarnya. Gadis itu lantas kembali membuka pintu kamarnya dan berlari menuruni tangga rumah secepat mungkin. "Abang! Aku ga mau nemenin abang lagi" Rica berkacak pinggang di depan Rio yang masih menatap fokus pada layar kaca didepannya tanpa peduli akan dirinya yang sudah mencak-mencak tak karuan. "Abang!" Rica kembali memanggil Rio kesal. "Kali ini aja, Ca" Rio menoleh sekilas kearah Rica, kemudian fokus lagi menatap tayangan kartun yang ada didepannya. "Sendiri aja" Rica menghempaskan tubuhnya kasar disamping Rio, ia mengambil keripik kentang yang ada diatas meja depan Rio lantas ikut larut akan tontonan Rio. "Ga mungkin Ca" Rio melirik Rica sekilas. "Makanya cari pacar!" Rica mengunyah keripik kentangnya gemas, sehingga menimbulkan suara berisik yang amat mengganggu bagi Rio. "sekali ini aja Rica sayang.." Rio mulai mengalihkan fokus nya pada Rica seorang. Pria berumur dua puluh enam tahun itu menatap sang adik dengan tatapan memohon yang sarat akan harapan. Menyedihkan.. "Astagfirullah bang.. Iya deh iya" "Adek abang paling cantik emang kamu" Rio menepuk puncak kepala Rica lantas kembali berfokus pada layar didepannya. Rica mendengus kasar mendengarnya. Jelas ia paling cantik dibanding Nino. *** Ballroom salah satu hotel bintang empat didaerah Jakarta Selatan itu telah disulap menjadi sangat cantik dan elegan. Ribuan tamu undangan yang hadir, mampu ditampung ruangan tersebut. Juga setelan semi formal tampak melekat di tubuh para tamu yang nampak, menampilkan perpaduan yang sangat menarik antara gaya busana dan dekorasi ruangan. Nampak sekali jika yang menikah orang dari kalangan atas yang banyak menjalin relasi. "Bang, pengantinnya mana?" Rica mengedarkan pandangannya keseluruh ruangan, mencari-cari sang pusat perhatian pesta yang belum terlihat sedari mereka masuk dua puluh menit yang lalu. "Disamping kamu" Rio tertawa garing saat melihat ekspresi wajah Rica yang menatapnya jijik. "Pacar aja ga ada, sok mimpi mau jadi pengantin" Rica mencibir secara terang-terangan. "Entar abang bawa deh kerumah" "Pacar abang?" Rica bertanya antusias. "Suami Uni" jawab Rio santai. "Abang!" Rica mendecak kesal. Bisa-bisanya Rio terlihat sangat santai disaat usianya sudah cukup matang untuk menikah. Kakaknya tergolong dalam kategori 'pria tampan' , sudah mapan, memiliki rumah sendiri bahkan sangat pandai dalam bersosialisasi. Tapi mengapa dalam urusan mendekati wanita, pria itu sangat bermasalah? Pernah sekali Rica dan Nino menuduh Rio sebagai gay, tapi malah jambakan kuat yang mereka dapatkan dari sang kakak. Dan itu mengakibatkan kepala Rica maupun Nino mendadak migrain selama tiga hari berturut-turut. Sudah hampir setengah jam Rica menemani Rio berkeliling ballroom ini. Mulai dari menyapa pengantin, mencicipi kue, bahkan mengekori Rio yang asik mengobrol dengan teman dan koleganya. Inilah alasan mengapa Rica malas jika diajak Rio untuk pergi keacara semacam ini. ia hanya mengekori Rio tanpa mengenal orang-orang disekelilingnya. "Kak Rica!" Rica menoleh, mencari-cari asal sumber suara yang memanggil namanya. Sedetik kemudian gadis itu tersenyum tak percaya saat melihat bocah laki-laki bersetelan batik yang berjarak beberapa meter dihadapannya. Disamping bocah itu berdiri seorang laki-laki tampan yang juga memakai setelan yang sama dengan yang dikenakan bocah tersebut, hanya motif dan ukuran saja yang membedakan nya. Rica sempat terpana menatap pria tersebut, yang notabenenya adalah ayah sang bocah. Kok ga kelihatan punya anak yah? "Kak, kita ketemu lagi. Leon kangen" Rica tersadar saat Leon memeluk kakinya, anak itu mendongak dengan tatapan yang menyiratkan kerinduan dan ketidakpercayaan. "Kakak juga kangen sama Leon" Rica berjongkok menyamakan tingginya. Gadis itu menangkup pipi Leon dan mengecupnya sekilas. "Ayah sibuk, jadi ga bisa antar Leon buat ketemu kakak" Leon memeluk leher Rica kemudian balas mengecup pipi Rica sekilas. Mereka terlihat akrab seperti saudara lama yang tak pernah bertemu, padahal intesitas waktu pertemuan mereka tergolong singkat saat itu. Entah apa yang membuat kedua orang tersebut seperti memiliki keterikatan, padahal nyatanya hubungan mereka belum sejauh itu. "Kakak ngerti kok" Rica berdiri, kemudian melirik sekilas kearah Dito, pria itu juga sedang menatap kearah mereka dengan pandangan yang... Sulit diartikan? "Hai Om Dito, kita ketemu lagi" Rica tersenyum kecil kearah Dito, dan hanya dibalas senyum ramah pria itu. Ahhhh... Pengen banget bisa deket.. Batin Rica berteriak seolah tak tau malu. "Oh iya, Bunda Leon mana?" Rica nampak sibuk celinga-celingu memperhatikan kearah sekeliling ruangan. Mencoba menebak-nebak yang mana Ibu hebat yang mampu memikat hati ayah bocah ini. "Leon kan gapunya Bunda" Ditengah riuh suasana ballroom saat ini seolah ada jeda keheningan yang hanya mampu mereka bertiga . Jawaban polos bocah manis itu membuat Rica hampir tak bergerak dibuatnya. Rica speechless, tak tau harus bersikap seperti apa. Rica melirik Dito guna melihat respon pria itu. Tapi pria itu hanya menampilkan wajah datar. Entah ekspresi apa yang sebenarnya pria itu sembunyikan. Tapi dibalik wajah datar itu, tak mampu Rica baca dengan tepat. Guna mencairkan suasana, Rica dengan cepat mengalihkan topik pembicaraan. Gadis itu tak mau membahas lebih lanjut, walaupun sebenarnya ia sangat ingin lebih memastikan pernyataan polos Leon. *** Wajah penasaran Rica semakin terlihat jelas, jari-jarinya diatas pangkuan tanpa sadar bergerak-gerak seolah tak sabar saat menunggu Rio kembali ke mobil mereka. Sangat banyak pertanyaan yang akan ia tanyakan pada kakak sulungnya tersebut. Diluar sana tampak Rio sedang mengobrol dengan salah satu temannya. Mereka sekarang masih berada di basemen hotel. Hampir sepuluh menit lamanya Rio dan temannya mengobrol, kemudian pria itu memutuskan untuk menyudahi pembicaraannya dan kembali ke mobil masing-masing. “Bang Rio lama banget” Rica hampir kehilangan moodnya untuk bertanya. “temen lama tadi. Ketemunya lagi di basemen aja padahal kita udah muter-muter ruangan tapi ga ketemu sama dia tadi” “Bang Rio, Rica boleh nanya?” “Mau nanya apa, Ca?” “Soal kolega abang tadi, yang sama anaknya tadi loh” Disepanjang perjalanan Rica terus mengorek informasi dari Rio. Sedetail mungkin gadis itu cari agar rasa penasarannya terbayar tuntas. *** Visa Ranico Prabumulih, Sumatera Selatan
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD