Skrip-7

1376 Words
Ava melirik ke kanan-kiri, mencari keberadaan Ares yang entah ada di mana makhluk itu. Ia mengintip dari balik penutup kepala yang ia eratkan hampir menyembunyikan seluruh wajahnya. Ia sangat yakin dengan begitu tidak ada yang tahu bahwa itu adalah dirinya. Harusnya begitu. Ava berjalan menuju tempat acara pernikahannya di adakan. Barang-barang dan dekorasi di sana belum dirapikan semua. Masih banyak yang masih menghiasi aula itu. Ava mengedarkan pandangannya, hingga matanya menangkap sosok yang sedari tadi dicari. Ares—pria itu tengah berdri di dekat jendela, mengobrol dengan sesorang yang tidak Ava kenal. Langsung saja ia berjalan menghampiri pria itu. Ares begitu terkejut ketika tangannya ditarik oleh Ava. Ava membawa Ares ke balkon. “Eh, lepasin tangan gue! Lo siapa, sih?” tanya Ares yang kebinguna karena tiba-tiba saja ia di bawa ke balkon. Ares tidak tahu bahwa itu adalah Ava, karena wajah gadis itu. Ava membuka penutup kepalanya, lalu menyilangkan kedua tangan ke depan. “Gue!” Ares menghela napas lega. “Gue kira siapa. Lo ngapain di sini? Pake ditutupin segala kepalanya, kaya maling, lo!” “Masih berani lo bilang gue kaya maling? Lo, tuh, kaya dakjal! Bohongin gue selama ini.” “Bohongin lo soal apa? Soal pernikahan ini? Ya ampun, Va. Gue, kan, udah minta maaf.” “BOHONG SOAL LO ADIKNYA PAK ARKA!” Ares mengerutkan dahinya. Ia berdeham sebentar lalu memegang kedua bahu Ava. “Gue gak pernah bohongin lo soal ini. Lo tahu gue punya kakak, kan? Tapi lo gak pernah tanya soal dia. Jadi … gue gak bohongin lo.”  “Tapi kenapa lo gak bilang kalo yang mau dinikahin sama gue itu , kakak lo!” Ares diam tanpa menjawab apapun. “Ini alasannya? Alasan lo mutusin gue karena Pak Arka?” Ares menyentil dahi gadis itu. Pria itu tidak menjawab, hanya menghela napas berat. Membiarkan kakaknya menikahi kekasihnya? Tidak semudah itu Ares menerimanya. Salah satu alasan kenapa ia memutuskan hubungannya dengan Ava karena ia tidak berdaya. Almarhum Ayah Ava meminta Arka menikahi Ava, begitupun almarhum ayahnya. Bagaimana bisa ia membantah itu? Lagipula, di dekat Ava saja sudah cukup baginya. Asalkan Arka bisa membahagiakan Ava, Ares bersedia mengorbankan perasaannya. “Va, sekarang lo Kakak ipar gue. lo istri Kak Arka. Lo gak perlu ungkit lagi soal alasan kita putus. Lagian, kayaknya kita emang cocoknya jadi sahabat kaya gini. Gue juga bisa lihat di matalo, lo Cuma anggap gue sahabat, gak lebih. Gue benar?” Ava terdiam. Ia memang selalu menganggap Atres sahabatanya sejak dulu, bahkan ketika mereka berpacaran. Jadi … Ava tidak bisa membantah apa yang Ares katakan soal itu. Ares tersenyum samar. “Lo jangan salahin Kak Arka. Dia menikahi karena almarhum ayah lo yang menyuruh itu.” Ava mengernyit. “Ayah?” “Ayah lo … sebelum meninggal, beliau minta kak Arka menikahi lo. Beliau pengin kak Arka yang jaga lo. Dan Arka janji akan melakukan itu. Bahkan, almarhum ayah gue juga ngingetin kak Arka soal janji itu sebelum meninggal. Jadi … kalo lo marah sama kak Arka karena pernikahan ini, lo harus lihat dari sudut pandangnya. Dia gak bisa memilih, dia hanya bisa melakukan sesuai janjinya. Va … tolong jangan benci kakak gue. Dibandingkan gue … dia lebih pantas buat lo, karena gue tahu …kak Arka lebih mampu.” Ava agak terkejut dengan fakta tentang itu. Jadi … ini semua karena janji Arka pada almarhum ayahnya? “Jadi … lo mau bilang kalo Pak Arka nikahin gue karena terpaksa? Karena gak bisa ngingkarin janji itu?” Ava mendengkus. “Bagus. Kalau gitu, gue jadi lebih mudah untuk minta cerai.” Baru saja Ava akan melangkah pergi, Ares menahannya dengancepat. Matanya melotot ke arah Ava, agak tidak suka dengan apa yang baru saja Ava katakan. “Lo pikir pernikahan itu main-main, Va? Cerai? Semudah itu lo bilang cerai? Va … segimanapun lo gak menginginkan pernikahan ini, lo gak bisa meminta cerai semudah itu. Gimana keluarga lo, Va? Keluarga gue? kak Arka? Gimana sama mereka?” “….” “Va … gue mengorbankan kita untuk hal ini karena gue tahu ini yang terbaik buat lo. Kalau memang pendapat gue salah, seandainya kak Arka nyakitin lo, maka gue yang akan menghabisi kak Arka dengan tangan gue sendiri. Itu janji gue.” Ares mengusap pipi Ava pelan. “Sekarang, udah saatnya lo belajar dewasa, Va. Jadi istri yang baik, dan jangan susah dibilangin. Lumayan, loh, skripsi lo bisa dibantu sama dosen pembimbing sendiri.” Ava memberikan jitakan di kepala Ares sebagai balasan. “Skripsi … skripsi, mbah mu! Inget, ya! Gue masih kesel sama lo!” Ava berjalan, sengaja menabrak bahu Ares tanda bahwa ia seriud dengan perkataannya. Ares hanya tertawa pelan sambil menatap kepergian Ava bersamaan dengan senyumnya yang menghilang ketika Ava semakin menjauh.   -----   Ava mengerjapkan matanya beberapa kali ketika merasakan sesuatu yang hangat menyentuh pipinya. ia bergumam tak jelas hingga akhirnya matanya terbuka sempurna. Terkejut, itulah yang ia rasakan detik itu. Siapa yang tidak terkejut ketika mendapati seseorang menatap kalian ketika kalian membuka mata. “Akhirnya kamu bangun.” Ava mengusap dadanya. “Pak Arka apaan, sih? Saya kaget, tahu! Lagian ini kamar saya, Pak Arka ngapain ke sini?” omel Ava sambil menatap pria itu dengan wajah sebal. “Saya telepon kamu gak angkat. Saya ke sini bangunin kamu.” Ava membuka mulut tak percaya. Ia melirik ke arah jam dinding yang menunjukkan pukul setengah lima pagi. “Sepagi ini?” “Salat, Ava.” Ava menghela napas berat. Ia agak mendorong tubuh Arka ke belakang, lalu memijat pelipisnya yang sakit. “Saya lagi gak salat, Pak.” “Kalau gitu, mandi!” Ava mendongak. Kepalanya benar-benar sakit. “Kenapa Pak Arka ngatur saya? Saya mau mandi atau enggak, kan, itu hak saya.” “Va, saya gak mengatur. Saya ….” “Iya … Iya udah. Stop ngomongnya! Saya mandi. Pak Arka silakan keluar.” Ava berjalan agak lunglai menuju kamar mandi. Jujur kepalanya sakit sekali. Apa karena semalam ia duduk di balkon sampai jam 3 pagi? Sepertinya karena itu. Apalagi setengah jam kemudian ia dibangunkan. Kepala terasa berdenyut. Setelah selesai mandi, Ava langsung menyelimuti dirinya lagi. “Dingin,” gumamnya. Ia mengambil ponselnya yang berdering. Sebuah pesan masuk. Siapa lagi jika bukan Arka. Nanti kita sarapan di bawah. Satu jam lagi saya tunggu kamu di depan kamar. Ava melempar ponselnya asal. Ia kembali menyelimuti seluruh tubuhnya. Satu jam seperti yang Arka katakan di pesan tadi. Pria itu benar-benar berdiri di depan kamar Ava, tentu saja menunggunya. Ava menyentuh dahinya, mengecek suhu tubuhnya yang ternyata begitu panas. Ia menedengkus. “Pake sakit segala lagi,” gerutunya. Ia tidak mungkin mengenakan sweater, ia tidak ingin Mamanya tahu kalau ia sedang tidak sehat. Ava membuka pintu, menghampiri Arka yang sudah menunggunya. Keduanya pergi menuju ruang makan yang sudah disediakan oleh keluarga Arka. Tentunya kedua keluarga ada di sana. Ava duduk di sebelah Ares. Ia tidak ingin duduk di dekat Mamanya Arka. Ia sudah bisa menebak pasti ia akan ditanyai macam-mcam. Lebih baik cari temapta yang aman. Arka duduk di sebelah kirinya. “Ayo, langsung aja sarapannya. Ava sama Arka udah di sini juga.” Semuanya sibuk mengambil hidangan yang tersedia, tapi Ava tidak mengambil apapun. Rasanya ingin menggerakkan tangannya saja ia merasa lemas sekali. “Va, lo gak makan?” bisik Ares yang ada disebelah kananya. “Ambilin gue ayam dong,” kata Ava menyuruh Ares mengambilkan ayam untuknya. “Tapi, janji habis itu jangan marah lagi sama gue.” “Ck, iya, ih, bawel.” Ares tersenyum. Iya mengambilkan sepotong ayam lalu menaruhnya di piring Ava. Tentu saja hal itu tidak lepas dari perhatian Arka. Ava melahapa ayamnya dalam diam. “Ava, kok, makannya sedikit, Nak?” tanya Fara—mertuanya itu. Oh, ayolah. Agak sulit menyebutnya sebagai mertua. Ava bahkan masih tidak percaya bahwa ia sudah menikah. “Ini aja udah cukup, kok, Ma.” Ma? Mama? Ava merinding. Fara tersenyum. Ares merasa ada yang salah dari Ava. Tidak biasanya Ava makan sedikit. Ia agak menurunkan wajahnya, melihat wajah merah Ava yang dari tadi menunduk. “Apa?” tanya Ava menyadari dirinya sedang diperhatikan. “Lo sakit?” bisik Ares. Ya … Ares selalu bisa menebak dengan benar. Ava hanya menggelang meskipun ia tahu Ares tidak akan percaya. Ava merasakan kepalanya semakin sakit. Ia menghela napas beberapa kali. Wajahnya sudah memucat meskipun ia sudah memakai lipstik. Ia bisa melihat itu dari layar ponselnya. Acara makan itupun selesai. Tidak ada banyak pembicaraan. Hanya sekadar obrolan singkat antara Mamanya dan mertuanya. Ava berdiri hendak kembali ke kamar, namun rasa sakit kembali menyerang kepalanya. Ia memegang ujung kursi sebagai sanggahan. Ares yang melihat itu langsung berdiri di sebelah Ava. “Lo sakit, tapi masih gak mau ngaku.” “Gue cuma pusing, Res. Udah, ah, gue mau ke kamar.” “Kak Arka tahu?” Ava memutar bola mata, malas menanggapi. Ia hanya menggeleng lalu muali berjalan hendak meninggalkan ruangan itu. Namun baru beberapa langkah, tubuhnya langsung ambruk. Ares buru-buru menghampiri Ava, namun ia kalah cepat dari Arka. Pria itu langsung membawa Ava kembali menuju kamarnya. Adelia dan Fara tentunya ikut panik, namun Ares berusaha menenangkannya. “See … dia bisa jaga lo, Va.”   --To be continued--
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD