Skrip-8

1117 Words
Arka membawa Ava ke kamarnya. Untungnya ada petugas kesehatan yang disediakan oleh hotel, jadi Arka tidak perlu membawa Ava ke rumah sakit. Pria tidak mengalihkan pandangannya dari istrinya yang tengah diperiksa oleh sang dokter. Ia menghela napas berkali-kali sembari menggigit bibir bawahnya berharap Ava baik-baik saja. Dokter itu selesai memeriskas Ava. Ia memasukkan alat-alat yang ia bawa ke dalam tas putih yang ada di nakas. Dokter itu tersenyum. “Enggak usah khawatir, Pak. Istri Bapak hanya kecapean aja. Gak ada gejala serius. Lain kali, jangan dibiasakan bergadang malam-malam. Enggak baik untuk kesahatan.” Arka bisa bernapas lega. “Terima kasih, dok.” “Sama-sama. Kalau begitu, saya permisi, Pak.” Sepeninggal dokter itu, Arka langsung menghampiri Ava, membenarkan letak selimutnya lalu menatap wajah tennag Ava yang begitu pucat. Lipstik yang dipakainya pun tidak mampu menyamarkan wajah pasi istrinya. Arka menyingkirkan beberapa helai anak rambut yang menutupi wajah Ava. Tiba-tiba gerakan tangannya berhenti ketika mendapati seseorang meneleponnya. “Iya, halo?” “Gimana Ava?” Arka tidak langsung menjawabnya. Rasanya agak sedikit tidak rela dengan  kenyataan bahwa istrinya ini adalah mantan kekasih adiknya. Memang benar, jika ditanya siapa yang jahat di sini jwabannya adalah dirinya sendiri. Ares—demi permintaan almarhum ayah mereka yang ingin Arka menikahi Ava, pria itu rela melepaskan kekasih tersayangnya. Baiklah, mungkin ia yang terlihat jahat. Tapi ia tidak punya pilihan lain, dan Ares pun tidak menolak sama sekali. “Ava baik-baik aja. Gak usah khawatir. Gue bisa jaga dia.” Ares hanya menjawab dengan sebuah gumaman. Panggilan itu dimatikan. Arka melirik istrinya sebentar, lalu beralih pada sebuah foto wanita di ponselnya. “Kamu memang lebih cantik dari dia, Ava,” gumamnya, “tapi hati saya saya masih berada di tempat di mana dia berada.” Ia memejamkan matanya. “Kamu akan lebih membenci saya kalau tahu soal ini. Tapi Ava, saya gak mau berbohong. Saya rasa kamu harus tahu. Mungkin enggak sekarang, tapi saya akan tetap kasih tahu kamu soal dia … dia yang sampai detik ini masih jadi penghuni tetap di hati saya.”   ----- Ava membuka matanya perlahan. Rasa sakit dikepapalanya belum menghilang, tapi tidak separah tadi pagi. Ia mengerjapkan mata beberapa kali. Gelap. Tangannya mengambil ponsel yang ada di nakas. Matanya membulat. “Jam 11 malam? Gue pingsan apa mati suri?” Ava tidak tahu bahwa ia pinsan selama itu. Ia memegangi perutnya yang berbunyi karena lapar. Ketika menoleh ke arah kanan, ia dapat melihat Arka yang tengah tertidur di sofa, dengan sebuah bantal di kepala tanpa selimut. Ava menghela napas berat. Ia mengambil selimutnya lalu menghampiri Arka dan memakaikan selimut itu padanya. “Pak Arka, kenapa, ya, saya kalo lihat Pak Arka bawaanya keinget skripsi mulu? Jadi sebel saya, tuh,” gumam Ava. Setelah memakaikan selimut pada Arka, ia berjalan ke luar kamar. Tahu ke mana tujuannya? Tentunya mencari apapun yang bisa dimakan. Tapi biasanya restoran di sini buka 24 jam. Semoga saja memang benar. Baru saja ia akan melangkah memasuki lift, seseorang menarik tangannya. Sebuah sweater disematkan di bahunya. “Pakai!” Ava melongo. Sejak kapan orang ini bangun? Ya, siapa lagi jika bukan Arka. “Kamu mau ke mana?” tanyanya. “Makan,” jawab Ava singkat. “Padahal kamu bisa pesan dari kamar. Kenapa keluar? Ini udah malam, dingin juga. Gak pakai sweaternya lagi.” “Kok, Pak Arka jadi ngomelin saya?” “Saya Cuma ngasih tahu, Ava.” Ava mendengkus. Mereka sampai di lantai bawah. Memang ada restoran di sana dan buka 24 jam. Ava senang sekali. Ia langsung memesan banyak makanan sekaligus, membuat Arka agak terkejut dengan porsi makan istrinya. “Kamu makan sebanyak ini, memang sanggup?” Ava mendongak. “Sanggup, lah. Kenapa? Pak Arka gak mampu kasih makan saya sebanyak ini?” Arka terkekeh pelan. “Kamu mau makan sebanyak apapun saya masih sanggup kasih makan kamu. Tapi, Va, makan berlebihan juga enggak baik buat kesehatan. Semua harus pada takaran yang seimbang.” Ava mengunyah steak nya tanpa membalas perkataan Arka barusan. Pria itu tidak memesan apapun. Ia hanya duduk sambil memerhatikan Ava yang dengan lahap memakan semua hidangan di meja. Lucu sekali melihat pipi Ava yang mengembung karena penuh dengan makanan. “Pelan-pelan, Va.” “Pak Arka gak makan?” “Saya udah kenyang lihat kamu.” Ava mengangguk, tak mau ambil pusing soal Arka yang tidak makan. Ia hanya harus fokus menghabiskan makanannya ini. “Va, bisa berhenti panggil saya dengan sebutan ‘Pak’? Ava mengernyit. “Terus, saya harus panggil pake apa? Mas? Aa? Sayang? Hubby?” “Panggil saya Arka aja.” “Arka aja? Aha enggka, nanti saya berasa tuanya,” tolak Ava. “Memangnya saya setua itu?” “Ya enggak, sih, tapi tetep aja lebih tua dari saya.” “Terus kamu mau tetap panggil Pak? Apa enggak malu kalau manggil suami sendiri pake Pak?” Ava berpikir sejenak. Sebenarnya benar juga yang dikatakan pria satu ini. Jika memanggil Pak kesannya agak creepy banget. Lebih menonjolkan bahwa ia memang menikah dengan pria yang jauh berbeda umur dengannya. Tapi masa iya memanggil nama saja? “Gimana kalo saya tetap panggil Pak Arka aja? Ya … saya gak mau nanti keceplosan manggil Arka di kampus. Lagian, kita menikah teman-teman kampus saya enggak ada yang tahu,” kata Ava dengan nada menyindir. Ia memang tidak tahu alasan mengapa tidak ada satupun teman-teman kampusnya yang datang ke pernikahannya kemarin. Arka tahu ke mana arah pembicaraan Ava. Ia menghela napas. “Kami sepakat gak undang teman-teman kampus kamu apalagi dosen karena posisi saya masih jadi dosen pembimbing kamu, Ava. Ada peraturan kalau anggota keluarga tidak boleh ikut andil, apalagi jadi dosen pembimbing. Tapi saya masih gak bisa lepas kamu, karena saya pengin skripsi kamu sempurna dan dapat nilai A. Setidaknya meskipun IPK kamu kecil, skripsi kamu bagus.” Ava mendengkus. “Iya enggak usah bawa-bawa IPK saya, Pak!” Arka hanya geleng-geleng kepala. Ava sensitif sekali jika ada yang membicarakan soal IPK nya. Padahal menurut Arka, IPK Ava tidak serendah itu.  “Besok kita pulang.” “Hmm.” “Ke rumah saya.” “Hmm” “Mkasud saya rumah kita.” “Hmm” Arka sedikit memiringkan kepalanya. “Saya butuh respon yang baik.” “Saya lagi makan, Pak. Etikanya kalau lagi makan gak boleh ngomong.” Arka menyentil dahi Ava agak keras, membuat gadis itu meringis kesakitan dan mengomel. “Apaan, sih? Pak Arka dendam banget sama saya, ya? Kalo Pak Arka punya dendam bilang aja. Kita selesain sekarang.” Arka tertawa, kali ini agak keras, membuat Ava semakin jengah. “Bukannya kamu yang punya dendam sama saya?” Ava menaruh sendoknya. Ia mengelap mulutnya dengan tisu, lalu menatap Arka sambil menyilangkan kedua tangannya. “Iya, saya dendam sama Pak Arka. Saya mau tahu alasan kenapa Pak Arka gak pernah ACC bab 3 saya? Kalau dipikir, bab 3 saya udah mendekati sempurna.” “Memang. Tapi ada satu hal yang selalu kamu lupakan.” Ava mengernyit. “Apa?” “Pendapat orang lain. Kamu harus lebih menghargai pendapat dan saran dari orang yang lebih mampu dari kamu. Bukan ingin menggurui, tapi dihidup ini saran orang lain bisa jadi sangat berguna. Kita ini makhluk sosial—hidup bersama-sama. Kalau kamu hanya mementingkan pendapat kamu, itu artinya jiwa sosial kamu masih belum diterapkan. Sampai sini paham?” “Yakin cuma itu alasannya?” Arka mengangguk tanpa ragu. “Masih ada satu alasan lagi.” “Apa?" “Supaya kamu menikah sama saya." Ava memutar bola mata malas. Ia bangkit dan memilih pergi dari sana, meninggalkan Arka yang sejak tadi hanya tertawa melihat ekspresi kesal Ava. Kenapa membuat Ava kesal semenyenangkan ini? Pria itu pergi menyusul Ava yang berjalan menuju lift.    --to be continued--
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD