Ava dan Arka kembali ke rumah mereka. Lebih tepatnya rumah yang sudah dipersiapkan Arka untuk mereka jauh sebelum pernikahan. Sayang sekali … Ava tidak merasa antusias seperti kebanyakan gadis yang baru menikah. Ia hanya diam selama perjalanan, melihat ke luar jendela tanpa suara. Arka juga tidak mengajak Ava berbicara. Keduanya diam seperti tidak punya pita suara. Baiklah … begini juga bagus. Ava malas berbicara.
Mobil mereka memasuki sebuah perumahan yang jaraknya lumayan jauh dari rumah Ava. Ava tahu perumahan ini karena salah satu teman kampusnya tinggal di sana.
“Bella,” pekik Ava ketika menyadari ini adalah perumahan tempat tingal Bela—salah satu teman kelasnya.
Arka terkejut ketika mendengar pekikan Ava. “Kenapa?”
“Pak Arka beli rumah di sini?”
“Iya.”
“Kok, di sini, sih, Pak? Masih bisa pindah, gak? Bisa, kan, Pak? Ya, ya?”
Arka mengernyit. Tidak tahu apa yang sedang dibicarakan gadis yang satu ini. Tiba-tiba saja menyebut nama Bella. “Bella siapa?”
“Bella, masa Pak Arka gak tahu? Itu, loh, Bella yang satu kelas sama saya. Dia baru wisuda kemarin.”
“Ah, itu. Kenapa sama Bella?”
“Dia tinggal di perumahan ini, Pak!”
Berbeda dengan reaksi Ava yang panik, Arka justru tersenyum. “Memangnya kenapa? Bagus, dong, kamu punya tetangga yang dikenal.”
“Bagus dari mana? Kalo dia tahu saya nikah sama Pak Arka, bisa dibocorin ke satu angkatan!”
Arka menghentikan mobilnya disebuah rumah bercat putih dengan pagar hitam yang menjulang tinggi. Ia melepas seatbelt nya lalu menoleh ke arah Ava. “Bella akan tetap tahu meskipun kita gak tinggal di sini, Va. Sembunyikan selama kamu mampu. Tapi kalo ketahuan, saya gak ada urusan, ya.”
Ava melongo. Pria itu turun lebih dulu dari mobil, sedangkan Ava masih belum berhenti mengomel. “Tuh, kan, ngeselin banget. Pak Arka gak tahu aja Bella mulutnya kayak gimana. Bukan cuma dibocorin ke satu angkatan. Setengah bumi pun dia bisa!”
Tentu saja, Bella itu terkenal dengan mulutnya yang sangat … sangat tidak bisa menjaga rahasia orang lain. Bahkan rahasia diri sendiripun kadang suka dia bocorkan. Bagaimana nasib Ava? Apa yang harus ia katakan saat bertemu Bella nanti? Meskipun rumah Bella agak jauh dari rumah yang akan ia tempati, tetap saja, kemungkinan mereka akan bertemu lebih besar.
Ava turun dari mobil dengan wajah masam, berjalan mengekori Arka masuk ke dalam rumah mereka. Rumah yang sangat minimalis. Tidak terlalu mewah, namun sangat rapi. Lada halaman yang luas dan sebuah gazebo di depan rumah. Pasti nyaman sekali. Arka memerhatikan pandangan Ava yang masih menatap ke arah halaman depan. Ia berdeham, membuat gadis itu menoleh. “Di belakang rumah juga ada taman.”
“Iya?” Mata Ava berbinar. Setelah pintu terbuka, Ava langsung berjalan cepat mendahului Arka menuju taman belakang. Ava selalu suka bersantai di taman belakang rumahnya, tidak tahu jika rumah ini akan memiliki taman belakang juga.
“Saya sengaja buat taman belakang terbuka,” jelas Arka sambil menunjuk ke atas, yang mana taman belakang mereka tidak ditutupi kaca, namun benar-benar terbuka.
“Angin alami itu lebih bagus dari Ac, makanya saya gak tutupi tamannya.”
Ava tertawa sumbang, lalu menyilangkan kedua tangannya. “Bilang aja, Pak Arka gak mau bayar listrik mahal.”
Arka ikut tertawa. Ava ini … kenapa selalu berpikiran negatif tentangnya?
“Iya, salah satunya itu. Jadi, kamu harusirit listrik!”
“Pelit!”
Arka menarik pinggang Ava dengan tangan kokohnya, mempersempit jarak antara keduanya. Ava melotot, terkejut dengan perlakuan Arka yang tiba-tiba. Jarak mereka begitu dekat. Ava bahkan bisa merasakan embusan napas hangat menerpa wajahnya. “Saya pelit untuk masa depan kamu. Kita harus punya uang yang banyak, baru bisa mencukupi kebutuhan anak-anak kita, nanti.”
Ava merinding mendengarnya. Ia mendorong tubuh Arka menjauh. “Ck. Anak … anak. Emangnya yang mau punya anak sama Pak Arka itu siapa?”
“Istri saya.”
Ava memutar bola mata malas. Ia berdeham pelan. “Oke. Karena kita udah di sini, saya mau buat kesepakatan sama Pak Arka.”
Arka menyilangkan kedua tangannya, menatap Ava dengan senyum tipisnya. “Mari kita dengarkan, kesepakatan apa yang akan dibuat istri saya ini.”
“Ada beberapa peraturan yang gak boleh Pak Arka langgar. Anggap aja ini balasan atas pernikahan tiba-tiba yang udah mengubah hidup seorang Avlyn Exienna.”
Pria itu tertawa pelan. Sebenarnya ia sudah tahu bahwa Ava akan membuat perautan yang lebih tepatnya jarak di antara keduanya. Arka tidak mempermasalahkan itu. Justri itu lebih baik. Arka pikir, ia juga belum bisa membuka hatinya untuk Ava. Lebih tepatnya belum mampu. Hatinya masih milik Wanda. Setidaknya ia butuh waktu untuk beradaptasi. “Oke. Peraturan apa?”
“Pertama, kita harus pisah kamar.”
Tepat seperti dugaanya. Untung saja ia membuat 3 kamar di rumah ini. “Lalu?”
“Kedua, Pak Arka maupun saya gak boleh ikut campur masalah pribadi. Apapun yang akan saya lakukan, Pak Arka gak boleh ngelarang.”
“Kalo soal itu, hanya bisa tergantung kondisi. Saya gak akan biarin kamu kalau seandainya kamu mau tidur di rumah tetangga.”
Ava tahu Arka hanya bercanda. Tapi tetap saja ia sebal. “Yang ketiga, Pak Arka gak boleh bilang apapun soal pernikahan ini sama orang-orang yang berhubungan dengan saya. Kecuali, orang itu juga berhubungan dengan Pak Arka.”
“Berlaku sampai kapan?”
“Eng, sampai … sampai …” Ava menggaruk alisnya. “Sampai saya bisa terima pernikahan ini.” Itulah jawaban yang berhasil keluar dari bibir Ava. Meskipun sebenarnya ia tidak berencana untuk menerimanya. Tapi, jika dipikir-pikir … ia tidak mungkin terus menghindari kenyataan bahwa pria di hadapannya ini adalah suaminya, dan statusnya sekarang adalah seorang istri.
Arka mengangguk. “Ada lagi?”
Ava menggelangkan kepalanya. “Oke, kalo gitu giliran saya. Ini bukan peraturan, lebih tepatnya permintaan.”
“Apa?”
“Saya hanya ingin kamu memperlakukan saya sebagai seorang suami. Kamu ingin pergi, terserah kamu mau pergi ke mana, tapi kamu harus kabari saya. Apapun itu. Biarkan saya tahu. Saya janji gak akan ikut campur, tapi kalo kamu kasih tahu saya, saya gak akan terlalu khawatir. Va, saya punya kewajiban untuk menjaga kamu. Kalau saya gagal … maka saya hanya akan membuat pernikahan ini semakin tidak ada artinya. Hanya itu … selebihnya, terserah kamu.”
Ava menghela napas. Itu bukan permintaan sulit. Tapi kenapa rasanya tidak ingin sekali menyetujuinya? Mungkin karena Ava belum terbiasa. Karena Ava sendiri tidak pernah mengatakan akan dan dari mana ia pada mamanya.
“Oke, tapi … Pak Arka gak akan menuntut soal itu, kan?”
“Itu apa?”
“Itu, loh.”
“Iya apa?” Sejujurnya Arka tahu ke arah mana pembicaraan Ava. Tapi ia hanya sedang menggoda istrinya ini. Lihatlah ekspresi Ava sekarang. Sangat lucu ketika malu.
“Pokoknya itu, deh. Udah, ah. Kamar saya yang mana?”
Arka terkekeh. “Sebelah kanan.”
Ava langsung pergi menuju kamarnya. Malu sekali ia mengungkit soal ‘itu’ di hadapan Arka. Apa tidak seperti Ava saja yang memikirkannya? Bagaimana jika Arka bahkan tidak memikirkannya sama sekali? Ah malunya …
Arka menghela napas. Ia berjalan keluar menuju taman. Terdapat tanaman bunga daisyndi sana. Itu adalah bunga kesukaan Wanda. Rumah ini … awalnya ia membelinya untuk Wanda. Bahkan Wanda sendiri yang medesainnya. Tapi, setelah Wanda pergi, rumah ini tidak dihuni. Tidak tahu jika ia akan disuruh menikahi Ava. Itu sebabnya beberapa bulan sebelum pernikahan, Arka merombak ulang desain rumahnya … tentu tanpa mengubah tamannya. Meskipun bukan Wanda yang tinggal bersamanya, setidaknya ada satu kenangan yang ia punya.
“Wanda … Sekarang rumah ini, sudah aku berikan ke Ava—istriku. Maaf karena mengubah desain rumah yang sudah kamu buat. Tapi aku tetap mempertahankan bunga daisy yang kamu tanam. Aku akan terus menjaga agar bunga itu tetap ada di sana.”
--to be continued--