Chapter 2 - Prince and Princess of Campus

1388 Words
Hadiansyah sedang meeting di kantor ketika ia mengetahui bahwa istrinya dan kedua anak kembarnya kecelakaan ketika hendak menuju bandara. Ia hampir terkena serangan jantung jika saja sahabatnya, Yamada, yang kebetulan ikut meeting segera menenangkannya. Seperti ditimpa sebuah beban yang sangat berat, Hadiansyah berlutut di depan jenazah istri dan anaknya, Aruni, dengan air mata yang terus mengalir. Sebuah penyesalan melanda dirinya, yang merasa egois lebih memilih untuk memenangkan tender, ketimbang harus mengantar anak dan istrinya pergi ke bandara. Sementara Aruna, dokter memberitahu bahwa gadis itu mengalami koma setelah menjalani operasi untuk memperbaiki beberapa organ pentingnya yang rusak akibat kecelakaan tersebut. Namun untung saja, tidak ada hal serius yang terjadi. Aruna tidak kehilangan satupun anggota tubuhnya, dan ia merupakan orang yang paling beruntung yang ada di mobil, karena berada di kursi belakang. Karena bisa dibilang, truk menghantam bagian depan mobil, khususnya kursi pengemudi. “Nanti saya yang urus Aruna.” kata Yamada, sambil meletakkan telapak tangannya di bahu Hadiansyah. “Kamu urus pemakaman Aruni dan Dina terlebih dahulu, dan jangan lupa kabari semua kerabat Dina dan juga teman-teman Aruni.” tambah Yamada. Hadiansyah mengangguk, ia duduk di depan kamar jenazah dan mulai sibuk dengan handphonenya. Mengabari semua kerabat dekat, dan juga salah satu teman Aruna dan Aruni yang ia kenal, Cakka. Kenapa semua ini harus terjadi kepada saya? Batin Hadiansyah, ia tidak berhenti menangis dan terus terbayang dengan keadaan tubuh istri serta anaknya tadi. Setelah ini, Hadiansyah tidak tahu harus menjalani kehidupannya bagaimana. Dina istrinya dan Aruni meninggal, sementara Aruna mengalami koma. Ketika kau kehilangan seseorang, hal pertama yang kau pikirkan tentu saja, ‘bagaiman aku menjalani hidup tanpanya?’. Namun bagaimanapun kehidupan akan terus berjalan, dan lambat laun, Hadiansyah percaya, ia bisa bangkit dari kesedihannya. Entah kapan.   *   Cakka tengah berkumpul dengan keluarganya untuk berdiskusi mengenai rencana masa depannya ketika Hadiansyah, Ayah Aruna meneleponnya. Awalnya, Cakka tersenyum dan berpikir bahwa mungkin Ayah Aruna ingin mengetahui apakah ia datang tadi pagi atau semacamnya, namun, ternyata bukan itulah tujuan Hadiansyah meneleponnya. “Halo Om.” jawab Cakka, “Tadi saya ud-“ “Una kecelakaan.” potong Hadiansyah, terdengar jelas bahwa suara pria itu bergetar dan ia mencoba menahan tangisnya agar Cakka tidak mendengarnya. Cakka mengerutkan keningnya, “Kecelakaan?! Terus gimana Una, Om?!” tanyanya, yang diikuti dengan pandangan penuh pertanyaan dari Papa dan Mamanya yang tengah duduk di hadapannya. “Aruni dan mamanya tidak selamat, sementara Una… Dia koma.” jawab Hadiansyah, “Cakka, kamu tolong kabari semua teman Aruni ya. Aruni dan mamanya akan dimakamkan besok.” tambahnya. “Sekarang Una dirawat dmana, Om?” tanya Cakka, yang kini tangisnya mulai pecah ketika mendengar penjelasan Hadiansyah. “Rumah Sakit Kasih Bunda.” jawab Hadiansyah. “Oke Om, saya akan kabari yang lain.” kata Cakka, dan ia segera menutup teleponnya. Cakka mengusap wajahnya dengan kedua telapak tangannya, dan mama serta papa yang belum mengetahui apa-apa, mulai memeluknya karena anak laki mereka satu-satunya itu mulai menangis meraung-raung. Terakhir Cakka berkomunikasi dengan Aruna, gadis itu mengatakan bahwa ia sedang kecewa dengan ayahnya yang tidak bisa ikut berlibur kali ini. Dan gadis itu juga mengirimkan selfie kepadanya sebelum kecelakaan itu terjadi. “Ada apa, Ka?” tanya mama yang memberanikan diri bertanya ketika Cakka sudah mulai tenang. “Una dan keluarganya kecelakaan.” jawab Cakka di tengah tangisannya. “Terus gimana keadaannya?” tanya papa. “Una koma, sementara Aruni dan mamanya meninggal.” jelas Cakka, meskipun rasanya untuk mengatakannya sulit sekali. “Astagfirullah, nak. Ayo kami antar ke rumah sakit.” kata mama, yang juga merasa tidak menyangka bahwa hal ini akan terjadi. Pasalnya, baru tadi Cakka menunjukan selfie cantik Aruna kepadanya dengan wajah senang. Mama dan Papa Cakka sangat mendukung hubungan anaknya dengan Aruna, karena gadis itu membawa hal positif untuk Cakka. Maka dari itu, Cakka selalu diizinkan untuk bertemu dengan Aruna kapanpun yang ia mau. Cakka mengangguk, “Cakka kabarin yang lain dulu ya, mah.” katanya, lalu mulai mengabari teman-temannya di sekolah, serta para guru yang memang kenal dekat dengan Aruna serta Aruni. Satu pertanyaan yang terus berputar di kepala Cakka. Apakah karena Aruna duduk di kursi belakang, dia selamat? Ya, secepat itu cowok itu mengambil kesimpulan. Namun meski begitu, Aruna masih dalam keadaan koma, dan ia tidak tahu sampai kapan perempuannya itu bertahan. Tapi yang pasti, Cakka akan menunggunya sampai kapan pun.   *   Dengan dress mini di atas lutut berwarna cokelat yang dibalut dengan jaket kulit berwarna hitam, serta sepatu boots hitam ber hak tinggi, Arleta berjalan menghampiri pangerannya di koridor kampus.  Cewek cantik itu memandang sang ‘pangerannya’ dengan tatapan nakal, dan cowok di hadapannya itu membalasnya dengan pandangan yang tidak kalah nakal. “Aku mau ke mall.” kata Arleta sambil bergelendot di lengan Libra, si satu-satunya pemilik julukan ‘Prince of Campus’ di Universitas Rajawali. Libra Adi Julian, cowok dengan dandanan yang sangat stylish itu tersenyum sinis kepada Arleta. “Giliran ada maunya, baru deh gelendotin kayak gini.” katanya sambil tertawa kecil, tangannya membelai anak rambut berwarna cokelat milik Arleta. “Please.” ujar Arleta, sambil terus memohon dan mengeluarkan jurusnya –yaitu menunjukkan mata kucing dengan bibir mengerucut- kepada Libra. “Oke.” sahut Libra yang memutuskan untuk menuruti Arleta, pacarnya yang juga di juluki sebagai ‘Princess of Campus’. Mereka pasangan yang sangat amat serasi. Sama-sama memiliki wajah yang enak di pandang, sama-sama berpenampilan stylish, dan sama-sama memiliki IQ yang rendah. Atau lebih tepatnya, mereka berdua bodoh. Arleta berteriak girang ketika Libra menuruti kemauannya, tidak peduli mahasiswa serta mahasiswi lain yang berada di dekat mereka terganggu dengan teriakannya. Toh, tidak ada satu pun dari mereka yang berani berurusan dengan Arleta, apa lagi Libra. Kalau menurut salah satu dosen di Universitas Rajawali ini, mereka berdua bukanlah Prince and Princess of Campus. Tetapi lebih tepatnya, mereka adalah preman kampus. Seperti biasa, Libra akan mengajak Arleta menuju salah satu mall bergengsi di Jakarta, dan membiarkannya belanja menggunakan kartu kredit miliknya. Oh lebih tepatnya, milik ayahnya. “Sayang, yang ini cocok nggak sama aku?” tanya Arleta sambil mencocokkan sebuah sweater oversize di tubuhnya yang bisa dibilang, sexy. “Lo pake apa aja cantik kok.” kata Libra sambil tersenyum, “Apa lagi kalau telanjang.” tambahnya, yang membuat beberapa pegawai store tersebut memandangnya dengan alis berkerut. Arleta tertawa, “Oke, emang begitu kenyataannya.” ujarnya yang setuju dengan pernyataan Libra barusan, dan setelahnya ia melanjutkan kegiatan belanjanya. Bahkan, Arleta sama sekali tidak melihat harga dari barang-barang yang ia beli. Arleta tidak peduli, karena Libra lah yang akan membayar semua ini. Setelah Arleta puas dengan semua belanjaannya, Libra segera membayar semuanya dengan kartu kredit andalannya. “Maaf kartunya suspended, Pak. Apa kah ada kartu lain?” tanya sang pegawai toko setelah ia menggesek kartu milik Libra. Libra mengerutkan keningnya, ia tahu bahwa itu adalah ulah ayahnya. “Totalnya berapa, mbak?” tanya Libra. “Dua pulu juta tiga ratus empat puluh ribu rupiah.” Shit. Libra menelan ludahnya, karena saldo di kartu debitnya hanya tinggal lima juta rupiah. “Ayah kamu, kan?” tanya Arleta, yang sudah bisa menebaknya, karena memang sering sekali ayah Libra mensuspend kartu kredit cowok itu karena ia terus saja berbuat ulah di kampusnya. “Sebentar, gue telepon bokap dulu.” kata Libra, ia pun segera menelepon ayahnya. “Kamu di mana?” tanya ayahnya langsung ketika telepon mulai tersambung. “Kartu kredit-“ “Kamu di mana?” ulang ayahnya, dengan nada bicara yang terdengar lebih tinggi satu tingkat. Libra menghela napasnya, “Mall.” jawabnya dengan malas. “Kalau kartu kredit kamu saya aktifin lagi, cepat datang ke Rumah Sakit Kasih Bunda dan jangan ajak pacarmu yang ngeselin itu.” “Ngapain?!” “Papa ada urusan, Libra. Kenapa sih, kamu enggan banget bantuin papa?!” Tanpa menjawabnya, Libra mematikan telepon dan kembali ke kasir. “Batalin aja semua belanjaannya, mbak. Besok saya ke sini lagi, soalnya papa saya masuk rumah sakit.” katanya, dan tentu saja ia berbohong karena memang ia tidak tahu apa alasan ayahnya menyuruhnya untuk datang ke rumah sakit. Arleta yang melihat tingkah Libra, ia langsung melarang sang kasir untuk membatalkan semua belanjaannya. Cewek itu langsung memberikan kartu kredit miliknya. “Sori lo balik sendiri ya, gue ada urusan.” tanya Libra kepada Arleta yang sudah terlanjur badmood karenanya. “Terserah.” jawab Arleta sebal, dan berharap Libra tidak meninggalkannya. Namun nyatanya, cowok itu meninggalkannya. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD