Chapter 1 - The Accident

1381 Words
“Unaaa!! Buruan, kita flight dua jam lagi.” teriak Aruni dari dalam kamar, meneriaki kembarannya, Aruna, yang masih berkutat di kamar mandi. Seperti biasa, Aruna kesiangan. Bukan hal baru lagi ketika tahu Aruna bangun kesiangan, karena memang itulah kebiasaan buruknya. Lebih tepatnya, Aruna mengalami insomnia, meskipun tidak terlalu parah. Ia enggan meminum obat tidur karena memang masih bisa mengatasi jam tidurnya dengan baik. “Iyaa sebentar lagi.” ucap Aruna yang baru saja menyelesaikan mandinya. “Cakka udah nunggu di luar, tuh.” kata Aruni yang sudah rapih dengan pakaian terbaiknya. Cakka. Mendengar nama itu, Aruna langsung bergegas keluar dari kamar mandi, dan langsung menuju ke lemarinya untuk mengambil pakaian yang sudah ia siapkan semalam. Aruni berdecak, “Mau liburan ke Bali aja pake ke siangan segala sih, Na!” sungutnya pada kembarannya itu. Aruna hanya nyegir ketika mendengar sungutan adiknya, dan segera bersiap-siap. “Bilangin Cakka ya tunggu bentar.” pesannya kepada Aruni ketika gadis itu keluar dari kamarnya. Hari ini, Aruna, Aruni dan Mamanya akan pergi berlibur ke Pulau Bali untuk merayakan kelulusan mereka berdua. Apa lagi, Aruna dan Aruni lulus dengan nilai yang hampir sempurna. Dan bagi Mama, itu sudah cukup. Aruna dan Aruni sudah berusaha memberikan yang terbaik. Sedangkan Ayahnya, sayang sekali ia tidak bisa ikut berlibur dengan istri serta anak-anaknya dikarenakan tuntutan perusahaan miliknya. Ketika Aruna sudah selesai bersiap-siap dan hanya menggunakan sedikit riasan di wajahnya, gadis itu menggeret kopernya menuju luar kamar, dan menemukan Caka, pacarnya, sudah menunggunya di ruang tamu. Tidak, Cakka tidak ikut dengannya ke Bali. Aruna hanya ingin bertemu dengannya sebelum Cakka pindah ke Jogjakarta untuk melanjutkan kuliahnya. Meskipun itu masih sebagian rencana Cakka untuk masa depannya, dan belum pasti terjadi, tetap saja Aruna ingin melihatnya hari ini. “Hei.” sapa Aruna, “Udah lama ya?” tanyanya sambil tersenyum manis. “Lumayan.” jawab Cakka, “Maaf ya nggak bisa nganterin ke bandara.” tambah cowok itu, dan matanya yang jernih memandang lurus ke arah Aruna. Satu hal yang sangat disukai Aruna mengenai Cakka. Cowok itu punya lesung pipi yang manis, kulit putih sempurna, dan mata yang sangat jernih. Aruna sangat menyukai Cakka. “Nggak apa-apa, kan mama yang nyetir. Iya nggak mah?”  kata Aruna yang meminta persetujuan dari Mamanya yang sibuk menyiapkan barang bawaan mereka. Mama tersenyum sambil menghampiri Aruna, lalu berdiri di hadapan Cakka. “Ka, kamu jadi kuliah di Jogja?” tanya mama kepada Cakka. “Kalau nggak ada halangan sih jadi, tante.” jawab Cakka. “Sukses ya, Cakka.” kata mama sambil meletakkan telapak tangannya di bahu Caka. “Iya tante, makasih.” sahut Cakka sambil tersenyum. Cakka sangat bersyukur dengan keluarga Aruna yang sangat menerimanya dan welcome terhadapnya. Padahal, bisa dibilang Aruna lebih pintar dari dirinya. Malah, sebelum berpacaran dengan Aruna, Cakka termasuk ke dalam jejeran anak-anak nakal di sekolah yang sering datang terlambat, dan membolos ketika jam pelajaran. Untunglah, Aruna hadir di hidupnya dan membuat perubahan yang begitu besar, hingga nilainya pada saat kelulusan sangat memuaskan. “Ayo, aku bantuin bawain kopernya.” kata Cakka, yang langsung menyambar koper milik Aruna dan membawanya ke mobil. “Duh enaknya punya pacar.” kata Aruni yang sengaja meledek Aruna. “Makanya kamu cari pacar dong.” sambar mama sambil tertawa, diikuti dengan suara tawa Aruna dan Cakka. “Ih, mama!” sungut Aruni ketika niatnya untuk meledek Aruna malah jadi boomerang untuknya. “Sini gue yang bawa.” kata Cakka menawarkan bantuan pada Aruni. “Tuh, kurang baik apa Cakka sama lo, pake diledekin segala.” Dengan mengerucutkan bibirnya, Aruni langsung masuk ke dalam mobil dan ia memilih bangku depan. “Gue yang di depan! Wee.” Kursi depan memang selalu jadi milik Aruna, namun hari ini sepertinya gadis itu memilih untuk mengalah pada adiknya. Jadi, ia membiarkan Aruni mengambil singgasananya, dan beralih pada Cakka yang baru selesai memasukkan semua koper ke dalam mobil. “Jangan lama-lama ya.” pesan mama sebelum masuk ke dalam mobil, menunggu Aruna berpamitan dengan Cakka. “Aku berangkat ya.” ujar Aruna, matanya menatap mata Cakka dalam, dan senyumannya langsung dibalas oleh cowok itu. Cowok itu mengangguk, dan ia mengusap rambut Aruna lembut. “Hati-hati di jalan ya, Na.” katanya, lalu meninggalkan sebuah kecupan manis di dahi Aruna. “Oke, nanti kubawain oleh-oleh yang banyak.” ujar Aruna, yang langsung masuk ke dalam mobil. “Dah, I love you.” “I love you more,” “No, I love you more.”  “Nggak pengertian banget ya sama yang jomblo.” sindir Aruni dari dalam mobil. “Okay, go.” kata Cakka yang akhirnya menutup pintu mobil Aruna, dan mundur beberapa langkah. Ia melambaikan tangannya ketika mobil beranjak pergi. Cakka tersenyum, merasa beruntung bisa memiliki Aruna sebagai pacarnya. Gadis yang memiliki kulit putih, rambut berwarna cokelat tua, dan yang terpenting, pipi chubby yang sering membuat Cakka gemas ketika melihatnya. Entah sampai kapan Cakka akan memiliki Aruna, yang jelas, ia tidak akan sedikitpun berpaling dari gadis itu. Aruna adalah gadis yang sempurna. Setidaknya, bagi Cakka.   *   Membutuhkan waktu sekitar empat puluh menit perjalanan dari rumah Aruna menuju bandara Soekarno Hatta. Mama sengaja memilih jalur paling cepat untuk mengejar penerbangan. Hal ini juga disetujui oleh Aruni yang ingin cepat-cepat sampai di bandara. Aruni merasa sudah tidak sabar menginjakkan kakinya di Bali, pulau dengan sejuta pesona. Meskipun Aruna dan Aruni berada di keluarga yang berkecukupan, namun ini pertama kalinya mereka berlibur ke pulau tersebut. Jadi, wajar saja kalau mereka se-excited itu ketika Mama menghadiahkan liburan tersebut untuk mereka. “Sayang Ayah nggak bisa ikut.” kata Aruni, ia memandang ke arah jendela sambil menikmati lagu yang tengah di putar di radio. “Ayah nanti nyusul kok.” sahut mama, yang tentu saja membuat mereka berdua bersorak kegirangan. “Kalau masalahnya di kantor udah selesai.” sambung mama, yang membuat Aruna serta Aruni kecewa –lagi-. Pasalnya, mereka tidak tahu kapan pekerjaan Ayahnya itu akan selesai. Aruna tengah sibuk dengan ponselnya ketika mama sibuk menyetir, dan Aruni sibuk bernyanyi. Entah kenapa, meskipun ia sangat senang hari ini, ada suatu rasa sesak yang tiba-tiba saja terasa di dadanya. Ia tidak tahu, apa kah perasaan ini yang ia dapatkan ketika berpamitan dengan Cakka, atau kecewa karena Ayahnya tidak bisa ikut. Aruna menarik napasnya, dan mencoba mengalihkan pikirannya dengan melihat ke arah jendela. Namun, saat itu juga, sebuah truk besar yang kehilangan arah berjalan menuju mobilnya. Dan belum sempat Aruna berteriak, truk tersebut sukses menghantam mobil yang tengah mereka naiki. Aruna kehilangan kesadaran, dan handphonenya yang terpental pun berdering. Ayah is calling….   *   Ketika manusia selalu merencanakan sesuatu, namun rencana yang sesungguhnya dibuat oleh Tuhan... Mobil tersebut terbalik, dan terpental beberapa meter. Bagian kemudi bahkan hampir sepenuhnya ringsek, dan orang-orang yang berada di tempat tersebut langsung mengerumuninya. Tess… Tess… Aruna membuka matanya perlahan. Kepalanya terasa pusing, seluruh badannya terasa sangat sakit dan bisa terlihat dengan samar di sebelahnya, Aruni sudah tidak sadarkan diri dengan darah yang terus mengucur di kepalanya. Mobil yang ia naiki dalam posisi terbalik, dan di kemudi depan, mama yang mengalami luka-luka lebih parah terlihat sama seperti kembarannya, sudah tidak sadarkan diri. Ia tidak yakin apakah mama masih hidup atau tidak, jika melihat keadaannya yang seperti itu. Dan sepertinya, keadaan mama saat ini akan terus menghantuinya jika mama benar-benar tidak selamat. Aruna buru-buru menepis pikiran buruknya mengenai mama, dan mulai memahami keadaan sekitar. Samar-samar ia mendengar orang-orang yang berada di luar mobil berteriak, dan ada beberapa orang yang melihat ke arah dalam mobil untuk mengecek keadaan. Mata Aruna sempat terkunci dengan seorang bapak yang melihat ke arahnya seperti sedang mendapatkan jackpot.  “Hidup!! Satu hidup!!” Hidup? Batin Aruna, seketika pikirannya melayang memikirkan Ibu dan saudara kembarnya. Ia tahu apa yang terjadi sebelumnya, ketika sebuah truk menghantam mobilnya. Aruna juga tahu, apa yang terjadi saat ini. Hanya saja, ia belum bisa mencerna semuanya. Semua terjadi begitu cepat, sampai-sampai Aruna tidak tahu, mana hal penting yang harus ia pikirkan saat ini. Aruni dan mama? Ayah? Cakka? Bali? Air mata keluar dari matanya. Tubuhnya seakan mati rasa, dan darah berada di mana-mana. Mengapa hal ini harus terjadi padanya? “Panggil ambulans!” “Dek, dek…” Aruna melirik seseorang yang mencoba meraih tubuhnya, ia mencoba menggapai tangan seseorang tersebut. Namun sebelum seseorang yang tidak ia kenal itu menggapai tangannya, ia tidak sadarkan diri.  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD