Chapter 4

1272 Words
Empat Akhtar mengguyur seluruh tubuhnya dengan air dingin, dia tidak ingin memikirkan Dira. Itu salah sangat salah. Semakin menghindar pikiran Akhtar semakin sulit untuk menghilangkan bayangan istrinya. Usai mandi Akhtar segera keluar, tubuhnya hanya dibalut selembar handuk yang melilit di pinggangnya. Akhtar berpikir mungkin Dira akan terpesona melihat dirinya yang seperti ini. Namun khayalannya sirna saat melihat ekspresi wajah Dira yang datar. Ada perasaan tidak enak di hatinya melihat raut wajah istrinya yang biasa saja, ke mana tatapan penuh cinta yang biasa Dira perlihatkan? Akhtar melihat Dira menyiapkan pakaiannya dan juga sepatu. Namun ada sesuatu yang membuatnya bertanya-tanya di dalam hati. Akhtar menatap penampilan istrinya yang sangat cantik, wajahnya di poles dengan rapi. Lalu Akhtar menatap gaun yang di kenakan Dira. “Kamu ... membeli baju baru?” tanya Akhtar pelan. Ada keraguan di dalam hatinya saat akan bertanya. “Iya. Mas tidak suka?” Dira menatap suaminya. Akhtar menggeleng, bukan tidak suka malah sebaliknya. Dia sangat suka melihat penampilan Dira sekarang. Selesai berpakaian Akhtar duduk di pinggir tempat tidur dia menunggu Dira yang biasanya akan langsung memasangkan dasi di lehernya. Seakan mengerti Dira langsung menghampiri suaminya dan memasangkan dasi lalu merapikan pakaiannya. "Berangkat sekarang Mas?" Dira sekilas menatap Akhtar yang mencuri-curi pandangan. Akhtar mengangguk samar, entah kenapa dia sangat sulit mengeluarkan kata-kata jika berada di dekat Dira. Dan kedua matanya yang sangat lancang terus menerus menatap sang istri. Keduanya meninggalkan rumah bersamaan di bawah tatapan mata orang tua Akhtar. Mereka mengucap beribu syukur karena pada akhirnya sang anak mau menerima Dira sebagai istrinya. “Alhamdulillah Bu, anak kita sepertinya sudah mau menerima Dira.” Ucap ayah Akhtar pada istrinya. Andai mereka tahu yang sebenarnya, mungkin keduanya akan menangis menjerit dan mengutuk anaknya sendiri. Akhtar dan Dira tiba di Hotel. Beberapa orang pemburu berita mendekat dan mengambil foto mereka. Dira tersenyum manis tangannya memeluk lengan Akhtar dengan erat. Membuat si pemilik menegang kaku untuk beberapa saat. Namun Dira tidak peduli, biarlah untuk sekali ini dia egois dan memanfaatkan keadaan dirinya serta teman-temannya. Semoga Tuhan mengampuninya, mengampuni kelakuannya yang tidak baik ini. "Wow ... kalian berdua datang dan pemburu berita mendadak sibuk," seorang pria seumuran Akhtar menghampiri. "David apa kabar?" Akhtar mengulurkan tangan dan menyalami pria bernama David. "Dira Putri selalu cantik dan memesona, apa kabarmu?" David mengabaikan pertanyaan Akhtar. Dia menghampiri Dira dan meraih tangannya, melepaskan lilitan tangan Dira dari lengan Akhtar. Akhtar menatap tak percaya perbuatan David. Dira itu istrinya dan David sudah sangat lancang dengan membawanya pergi tanpa seizin darinya. "Napa lu bengong di sini Bro?" Akhtar mengurungkan niatnya untuk mengejar David dan Dira. "Lu datang sama siapa Guh?" "Sama bini gue lah. Gue tidak punya simpanan kayak lu," Ujar Teguh sinis. "Wah si David udah mepet Dira saja tuh?" Akhtar menatap istrinya yang sekarang tampak ngobrol bersama David dan juga temannya yang lain. "Apa mereka saling kenal?" Akhtar seolah bertanya pada dirinya sendiri. "Lu kebanyakan hidup di goa si Celin, sampai tidak tahu bini lo siapa." Setelah mengucapkan kata-kata menusuk pada Akhtar, Teguh berlalu begitu saja. Akhtar menatap Dira, istrinya. Yang tampak begitu akrab dengan beberapa rekan bisnisnya. Dira itu siapa? Karena setahu Akhtar, Dira adalah putri sahabat ayahnya, dan wanita itu hanya putri pemilik sebuah perusahaan konstruksi. Tidak pernah sekalipun Akhtar mendengar kalau Dira memiliki usaha atau apa pun. Lihatlah sekarang ... bukan hanya para pria yang menghampiri Dira tapi para wanita juga seolah ingin dekat dan berbincang dengannya. "Aduh sorry Bro, istri lu gue culik tadi," David kembali menghampiri Akhtar. Akhtar tersenyum masam karena sedari tadi dia di abaikan. "It's ok,” Jawabnya singkat. "Gue gak menyangka kalau lu bakalan nikah sama Dira, beruntung banget!" David menepuk pelan bahu Akhtar. Maksudnya beruntung apa? Lagi-lagi pertanyaan muncul dan berputar di kepalanya. “Lu kayaknya kenal banget sama istri gue,” ujar Akhtar penasaran melihat David yang seakan lebih tahu Dira di bandingkan dirinya. “Ya ampun Tar, memang Cuma lo saja yang sangat acuh dan tidak peduli pada istri sendiri,” Akhtar berdecap lalu menyahuti ucapan David, “Bukan gue tidak peduli, hanya saja ... ya lo kan tahu gue nikah karena dijodohkan ortu!” “Tidak usah menggunakan alasan perjodohan, ingat Tar, orang tua kita pasti tahu apa yang terbaik untuk anaknya.” Akhtar tidak menanggapi ucapan David, hatinya merasa tersentil mendengar kata-kata sahabatnya. Akhtar menatap Dira dalam diam, tidak dimungkiri jika di dalam hatinya ada perasaan bangga melihat sang istri dan juga perasaan tidak suka melihat wanita itu dikelilingi banyak pria. *** Keesokan harinya Akhtar yang tengah sibuk meeting dibuat kesal oleh banyaknya panggilan yang masuk ke ponselnya. Untuk menjawab panggilan sangat tidak mungkin baginya selain ada ayahnya di sana dia juga tengah berhadapan dengan jajaran para direksi perusahaannya. "Matikan ponselmu itu." Ucapan ayahnya yang pelan namun tegas membuat nyali Akhtar gentar. Dia menurut dan menonaktifkan ponselnya dengan segera. Suasana ruang meeting yang tegang di tambah alotnya pembahasan membuat mereka harus duduk selama hampir dua jam di sana. Akhtar keluar dari ruangan meeting bersama sang ayah. "Besok kau harus ikut menemui orang-orang dari PT. PRATAMA JAYA MANDIRI, Ayah tidak tahu siapa yang akan datang besok. Karena sepak terjang pemimpin perusahaan itu tidak pernah terlihat. Mereka selalu mengirimkan perwakilannya selama ini," ujar Ayah pada Akhtar. Akhtar mengangguk paham. Dia juga sangat tahu perusahaan konstruksi besar itu. Tapi yang tidak pernah dia ketahui adalah siapa pemimpin perusahaan tersebut. "Baik, Yah,” Akhtar masuk ke dalam ruangannya dan duduk dengan punggung yang disandarkan. Dia kembali mengaktifkan ponselnya. Alangkah terkejut begitu melihat banyaknya panggilan telepon dari Celin. Bahkan wanita itu mengirimkan banyak foto dirinya dan Dira semalam. Akhtar hendak berdiri saat pintu ruangannya terbuka lebar. "Maaf Pak, saya mengantarkan dokumen dari Pimpinan," ujar seorang laki-laki muda yang menjadi asistennya. Akhtar kembali menduduki kursinya dan membuka dokumen tersebut. "Ada lagi?" "Bapak harus segera memeriksa yang ini dan menandatanganinya. Mereka menunggu Pak." Akhtar menghela nafas lelah, sepertinya dia harus kembali mengabaikan Celin. Ponsel Akhtar kembali berdering beberapa kali dan di layar tampak nama Celin tertera dengan jelas. Akhtar yang masih memeriksa berkas-berkas yang dibawa asistennya tidak menghiraukannya. Dia sangat sibuk dan tidak ada waktu untuk sekedar mendengarkan rengekan Celin. Akhtar sudah tahu tabiat kekasihnya, yang akan merengek dan meminta banyak hal padanya. Tiba-tiba Akhtar teringat Dira, semalam mereka pergi keluar bersama untuk pertama kalinya. Dan semalam Dira terlihat sangat cantik, gaun yang dipakainya juga terlihat mewah dan mahal. "Dari mana dia mendapatkan gaun itu, apa Ibu membelikannya?" Gumam Akhtar. "Kenapa Pak?" Asistennya yang masih berdiri dan menunggu menatap Akhtar yang bergumam tidak jelas. "Tidak ada. Apa semua ini harus sekarang juga selesai?" "Iya Pak. Dan itu sudah ditandatangani Pimpinan, tinggal menunggu keputusan Bapak saja,” Akhtar memijat pelipisnya, belum selesai masalah pekerjaan yang menumpuk sudah terganggu oleh panggilan-panggilan dari Celin. Belum lagi pikirannya yang terus menerus mengingat Dira. Pukul sepuluh malam Akhtar keluar dari kantornya dengan langkah lesu. Dia mengambil ponselnya dan menghubungi Celin. "Sayang kamu kenapa?" Akhtar terlihat sangat khawatir. Dia segera mematikan panggilannya dan melempar ponselnya ke jok bagian belakang. Perasaan khawatir dan takut menyelimuti hatinya. Dia mendengar Celin menangis terisak di seberang telepon tadi. Mobil yang dikendarainya melaju dengan kecepatan tinggi, beruntung jalanan mulai sepi. Tiba di kawasan sebuah apartemen Akhtar segera keluar dan berlari menuju lift. Akhtar tiba di depan pintu apartemen Celin, dia segera membuka kode akses dan membuka pintu. "Sayang?" Akhtar berlari menuju kamar, di dalam kamar tampak Celin duduk di atas tempat tidur dengan pakaian berantakan dan wajah sembab. "Kamu kenapa, ada apa?" Akhtar mendekap Celin yang masih menangis sesenggukan. "Aku takut ... kamu ke mana saja? Kenapa ada foto-foto wanita itu bersamamu?" Ujar Celin di sela tangisannya. Akhtar mengecup puncak kepala Celin penuh sayang. "Maafkan aku, maaf ... hari ini sangat sibuk di kantor," "Lalu kenapa di semua media ada foto kalian berdua?" Suara Celin meninggi. "Semalam ada relasi bisnis yang mengundang kami berdua, aku tidak mungkin datang sendirian," "Kamu 'kan bisa mengajakku pergi," Akhtar terdiam tidak mampu menjawab ucapan Celin. "Kenapa ... kenapa kamu membawa wanita itu, kenapa bukan aku yang kamu ajak pergi?" Akhtar melepaskan tangannya dari tubuh Celin, sontak membuat wanita itu terkejut. Ada perasaan takut di dalam hatinya melihat Akhtar yang tiba-tiba saja menjauh. Pikirannya berjalan dengan cepat, dia tidak akan membiarkan laki-laki itu menjauh dan meninggalkan dirinya. Tidak akan pernah.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD