Chapter 3

1075 Words
Tiga Akhtar hanya duduk dan merenung di kursi kebesarannya. Dia memikirkan sikapnya akhir-akhirnya dan juga perlakuan Dira padanya. Dira gadis yang sangat baik dan penurut. Akhtar heran setiap hari selama satu bulan ini dia selalu mengabaikan Dira. Tapi tidak sedikit pun gadis itu protes atau marah padanya. Dan itu membuat perang batin. Perasaan bersalah mulai menggerogotinya dan menggoyahkan pendiriannya. "Hei Bro ... nape lu melamun pagi-pagi?" Seorang pria memasuki ruangan Akhtar dan langsung duduk di sofa. Akhtar menghela nafas dalam. "Gue bingung, apa alasannya nanti kalau mau menceraikan Dira?" "Apa? Lu mau cerai si Dira? Dasar tidak waras." "Gue nikah sama dia karena dijodohkan. Dulu Bokap gue hutang janji sama Bokap si Dira," "Lu yakin mau cerai?" Tanya teguh sambil menatap Akhtar. Akhtar mengangguk mantap. "Terus lu mau nikah sama si Celin?" Teguh kembali bertanya. Akhtar kembali mengangguk. "Lu masih waras 'kan Tar?" Ujar Teguh sinis. "Ya gue waraslah, kalau tidak waras ngapain gue mau nikahi Celin!" Seru Akhtar dengan suara meninggi. "Pikirkan dulu baik-baik, Bro, jangan sampai ada sesal di kemudian hari," jawab Teguh santai. "Guh, Teguh ... gue harus menyesal karena apa?" Akhtar menatap orang yang duduk di sofa. "Semoga saja pikiran gue salah," sahut Teguh. "Gue tetap akan menceraikan dia cepat atau lambat. Kasihan Celin karena perjodohan sialan ini dia jadi banyak pikiran dan selalu mengira kalau gue akan jatuh cinta pada Dira,” 'Semoga saja apa yang wanita itu pikirkan jadi kenyataan' batin Teguh. "Nanti malam jadi 'kan?" "Iya. Gue mau jemput Celin dulu baru ke sana," "Lu lupa, kalau yang harus di bawa itu bini bukan selingkuhan?" Sahut Teguh ketus. Akhtar menatapnya tidak suka. "Siapa yang bilang?" "Lu gak baca kertas undangannya? Si David meminta kita semua hadir bersama istri dan anak kita saja. Tidak tertulis dengan selingkuhan atau wanita simpanan di sana," "Sialan lu!" Akhtar melemparkan bolpoin ke arah Teguh. "Jangan bermain-main di depan si David. Dia gak seperti lo punya bini di rumah, tapi tidur di apartemen selingkuhan," Akhtar pura-pura tuli mendengar ucapan demi ucapan yang keluar dari mulut Teguh. "Gue balik dulu. Jangan lupa bawa si Dira bukan Celin," Teguh segera berdiri dan berjalan menuju pintu keluar. "Gue lupa. Anggaplah lo lagi mengenalkan calon mantan istri sama teman-teman kita. Gue rasa begitu lepas dari lu si Dira bakalan banyak yang ngejar tuh." Teguh membuka pintu dan langsung ngeloyor pergi. Akhtar termenung memikirkan ucapan Teguh barusan. Dira sangat cantik pembawaannya lemah lembut dan keibuan. Dia memang tidak pernah menggunakan barang mewah atau bermake up tebal seperti Celin. Dira sederhana sedangkan Celin glamor. Padahal Dira lahir dan di besarkan dari keluarga terpandang, berbeda dengan Celin yang kehidupan keluarganya pas-pasan. Dira akan menerima apa pun yang di berikan orang lain dengan gembira dan mengucapkan beribu kata terima kasih, bertolak belakang dengan Celin yang akan terang-terangan menolak jika barang tersebut tidak sesuai keinginannya. Akhtar juga heran melihat sifat Dira yang kalem dan tidak pernah marah. Lain dengan Celin yang akan meluapkan emosinya saat dirinya telat membalas pesan atau tidak menjawab panggilannya. Dan sesudahnya pasti akan meminta hadiah bermacam-macam. Akhtar bahkan belum pernah sekalipun membelikan hadiah untuk Dira. Dia hanya sering melihat orang tua dan adik-adiknya memberikan hadiah atau oleh-oleh. Bukankah Dira bisa dan sangat mampu membeli barang-barang seperti itu, tapi kenapa dia selalu tampak bahagia walaupun hanya di belikan jepit rambut oleh adik bungsunya? "Datang bersama istri?" Akhtar kembali mengingat ucapan teguh. Dia segera mengeluarkan ponsel dan menghubungi Celin. Sekali dua kali panggilannya tidak di jawab. Akhtar kembali mencobanya. Hampir lima belas menit berlalu dan Celin tidak menjawab panggilan darinya. "Ke mana dia?" Akhtar akhirnya menghubungi Dira di rumah dan mengatakan pada istrinya supaya nanti malam bersiap-siap. Setelah menghubungi Dira dia kembali mencoba menghubungi Celin berulang kali. *** Dira meletakan ponselnya wajahnya sedikit pias. Bagaimana ini pikirnya. Di saat dia mencoba untuk menjauh malah dia mendekat. Dira tidak ingin terbawa perasaan sendiri. Dia segera berdiri dan membuka lemari pakaiannya mencari gaun malam yang akan dikenakan nanti. Ah gaunnya hanya sedikit ternyata, Dira segera menghubungi seseorang dan memintanya untuk mengantarkan gaun malam dan juga setelan jas untuk sang suami. "Hanya menjalankan kewajiban." Gumam Dira sambil menarik nafas panjang. Menjelang magrib orang yang Dira minta untuk mengantar pakaiannya datang. "Sudah ada perkembangan sayang?" Ujar ibu mertuanya begitu melihat Dira memegang gaun dan setelan jas. "Entah lah, Bu, Dira bingung mengatakannya,” "Yang sabar, Nak, Ibu tidak ingin kalau keluarga kalian kenapa-napa," Dira tersenyum hangat dan mengelus punggung tangan keriput ibu mertuanya. "Dira minta doanya dari Ibu, semoga rumah tangga kami baik-baik saja,” "Aamiin,” Dira pamitan dan kembali ke kamarnya. Hatinya tidak yakin sama sekali dengan apa yang diucapkannya tadi. Ya semua itu hanya untuk menyenangkan ibu mertuanya saja. Dira sangat yakin kalau Akhtar akan tetap memperlakukan dirinya seperti biasa, tak acuh dan menganggapnya tak kasat mata. Dira menatap cermin besar di hadapannya, seulas senyuman tersungging di bibirnya bukan senyuman manis tapi senyuman mengejek. Perlahan air matanya kembali menetes, Dira menarik nafas panjang dan meremas dadanya yang kembali terasa sesak dan nyeri. "Ya Tuhan ... sampai kapan aku tersiksa begini?" Dengan kasar tangannya menghapus buliran bening yang melewati pipinya. Wajah cantiknya berubah datar seketika. Istri mana yang begitu bodoh akan tetap mengemis cinta dan kasih sayang suaminya, padahal dia sudah tahu kalau sang suami setiap malam tidur dengan wanita lain di luar rumah. Dira tidak bodoh, Dira hanya diam karena takut keluarganya dan keluarga suaminya terluka. Bukan dia tidak tahu menahu apa saja yang di lakukan Akhtar di luar. Dira tahu! Perlahan tangannya mulai membersihkan wajahnya lalu memolesnya dengan sangat apik. Anggaplah ini sebagai bonus untuk suaminya, biarlah dia malam ini melihat wajah cantiknya. Karena mungkin setelah ini Dira tidak akan pernah lagi di ajak keluar. Entah ke mana wanita itu, wanita yang sudah membuat suaminya tidak pernah tidur di rumah. Dan membuat dirinya menangis hampir setiap malam. Pukul 6 sore Dira mendengar suara Akhtar di bawah, sepertinya suaminya sudah pulang. Dira tidak ingin menampakkan diri dan menyambutnya, biarlah kali ini suaminya tidak di sambut. Suara pintu kamar yang terbuka tidak Dira hiraukan, dia masih betah duduk di depan cermin dan merapikan penampilannya. "Kamu sudah pulang Mas?" Dira menatap Akhtar dari balik cermin. Akhtar menatap pantulan Dira dari balik cermin, sangat cantik! Dan gaun yang di pakainya sangat pas di tubuhnya. Akhtar menggelengkan kepala lalu segera masuk ke dalam kamar mandi. "Sialan wanita itu, kenapa dia berdandan dan berpakaian seperti itu?" Dira mendengus melihat kelakuan suaminya. "Maafkan aku Mas, mungkin setelah ini aku juga tidak akan pernah peduli padamu lagi." Dira berdiri dan segera menyiapkan pakaian untuk sang suami. Gaun malamnya dan pakaian yang akan di kenakan Akhtar sangat serasi. Dira kembali tersenyum manis, sangat manis. Dia berjalan dan mengambil ponsel miliknya. "Halo Dit, siapkan beberapa orang wartawan, gue sama Akhtar mau datang ke acara gala dinner di Hotel itu." Dira mematikan panggilannya sebelah pihak lalu kembali meletakan ponselnya. Suara hembusan nafasnya terdengar berat seolah ada beban yang begitu besar di dalam dadanya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD