Chapter 2

976 Words
Dua Sebulan sudah usia pernikahan Dira dan Akhtar. Mereka menjalani perannya masing-masing dengan baik di hadapan keluarga. Akhtar setiap malam pergi entah ke mana dan akan pulang di pagi hari. Sedangkan Dira hanya menangis dalam diam di kamar tidurnya. Sungguh Dira tidak mengerti kenapa pernikahannya sampai seperti ini, apa salah dirinya? Akhtar memang tidak pernah marah atau memukulnya, tapi dia melukai hatinya, jiwanya secara tidak langsung. Dan secara perlahan hati Dira mendingin akan sikap suaminya. Dulu Dira memang sangat mencintai Akhtar bahkan memujanya siang malam. Dia sangat bahagia saat tahu akan dijodohkan dengan laki-laki itu. Seakan dunia ini miliknya seorang diri, Dira sangat bahagia. Namun kebahagiaan Dira perlahan memudar oleh sikap tak acuh Akhtar selama ini. Jangankan tidur bersama layaknya pasangan suami istri. Ngobrol atau sekedar tegur sapa saja hampir tidak pernah. Dira ada tapi dianggap tidak ada oleh suaminya sendiri. Pagi hari Dira membantu mertuanya menyiapkan makanan untuk sarapan. "Akhtar belum pulang, Nak?" Tanya ayah mertuanya. Bukan dia tidak tahu kelakuan anak sulungnya. "Be belum, Yah," jawab Dira sambil menunduk. "Anak itu benar-benar tidak bisa dibiarkan," "Mungkin mas Akhtar sibuk, Yah." Dira kembali menyahuti ucapan ayah mertuanya dengan lembut. Dia sangat tidak menyukai keributan, hatinya sedikit waswas melihat raut wajah mertuanya mengelam. Dira menyantap makanannya dalam diam, walaupun wajahnya terlihat ceria dan bibirnya selalu tersenyum manis. Tapi tidak ada seorangpun yang tahu isi hatinya saat ini. Suara deru mobil terdengar memasuki halaman rumah, Dira segera berdiri dan berjalan keluar rumah. Seburuk apa pun perlakuan suaminya Dira harus tetap berlaku sopan dan menghormatinya. Itulah yang selalu Dira dengar dari mamanya dulu. Seorang istri harus patuh pada suaminya. Harus bisa menjaga lisannya dan juga tingkah lakunya. Serta tidak boleh menceritakan keadaan rumah tangganya pada orang luar. Dira menyambut kedatangan Akhtar dengan penuh senyuman. "Pagi Mas." Ucap Dira. Walaupun dia tahu setiap ucapannya akan di abaikan oleh Akhtar. Dira meraih tangan Akhtar dan menciumnya dengan takzim. Ada perasaan hangat di d**a Dira karena suaminya tidak menepis tangannya seperti kemarin-kemarin. "Mas mau sarapan dulu atau mandi?" Dira kembali berbicara, dan kembali diabaikan oleh suaminya. Dira tersenyum miris melihat sikap Akhtar padanya. Sekuat tenaga dia menahan segala gejolak emosi di dalam dirinya dan menahan air matanya yang sudah berdesakan memaksa untuk keluar. Akhtar menghampiri keluarganya yang sudah berkumpul di meja makan. Dira dengan sigap mengambilkan makanan dan juga air minum untuk sang suami. "Akhtar dari mana saja kamu?" Ayah mertua Dira langsung bertanya begitu melihat putra sulungnya datang dan ikut duduk di meja makan. "Banyak kerjaan, Yah," ucap Akhtar dengan suara datar. "Pekerjaan apa? Setahu Ayah kau sudah meninggalkan kantor dari jam 3 sore kemarin," Dira tersentak kaget mendengar ucapan ayah mertuanya. Jadi Akhtar sudah pulang kantor dari jam tiga kemarin, lalu ke mana dulu sampai pagi begini baru pulang? Dira menyimpan semua pertanyaannya di dalam hati. Dia berpura-pura tidak mendengar dan mencoba mengabaikan semua itu. Akhtar tidak menjawab pertanyaan ayahnya, dia nampak fokus menikmati makanan yang sudah di siapkan oleh istrinya. Istri? Akhtar melirik Dira yang duduk di sebelahnya, wajahnya masih tetap sama ceria dan selalu tersenyum. Jantungnya berdegup kencang saat Dira melirik dan melemparkan senyuman manis padanya. Untuk beberapa saat dia menatap lekat wajah Dira, apa wanita itu tidak merasa lelah selalu tersenyum seperti itu, batin Akhtar. Selesai sarapan Akhtar langsung menuju kamar tidurnya dia ingin segera membersihkan diri dan berganti pakaian. Akhtar meletakan ponsel miliknya di atas nakas lalu bergegas masuk ke dalam kamar mandi. Dia tidak perlu repot-repot memilih pakaian karena Dira akan menyiapkannya. Suara ponsel Akhtar bergema di seluruh sudut kamar, Dira menatap layar ponsel suaminya. "Celin? Siapa dia?" Dira ragu-ragu memanggil suaminya atau membiarkannya. Dia kembali menatap layar ponsel Akhtar kemudian menekan layarnya, tampak sesosok gambar wanita cantik menghiasi layarnya. Dira sangat menyesal karena sudah melihatnya. Melihat sesuatu yang seharusnya tidak dia lihat. Tangannya meremas d**a yang tiba-tiba terasa sesak dan nyeri di dalam sana. Sakit. Suara pintu kamar mandi yang di buka menyadarkan Dira, dengan cepat dia mengambil pakaian kerja suaminya. "Tadi ponsel Mas bunyi terus." Ujar Dira sambil menatap suaminya yang masih mengeringkan tubuh. Beberapa minggu lalu mungkin Dira akan terpesona melihat keadaan suaminya seperti ini. Tapi tidak untuk sekarang ini, hatinya terlanjur sakit walaupun rasa itu masih ada. Iya ... perasaan cintanya memang sangat besar, tidak salah bukan mencintai suami sendiri? Yang salah adalah perasaannya yang tidak pernah terbalas. Akhtar segera mengambil ponselnya. Sesekali dia melihat suaminya tersenyum pada layar ponsel. Ingin sekali rasanya dia berteriak kencang dan meluapkan emosinya. Dira hanya berdoa di dalam hatinya, semoga Tuhan segera mencabut segala perasaannya terhadap sang suami. Biarlah ... biar Dira mati rasa dan menjalankan kewajibannya tanpa perasaan apa-apa, itu lebih baik baginya. Tanpa rasa bersalah sedikit pun Akhtar meletakan ponselnya dan mulai berpakaian, Dira membantu suaminya merapikan penampilannya dan memasangkan dasinya. Dira juga tanpa segan mengeringkan rambut basah sang suami menggunakan handuk kecil. Akhtar hanya diam saat Dira merapikan pakaiannya dan melingkarkan dasi di lehernya. Penciumannya mencium aroma lembut dan segar dari tubuh istrinya. Sesekali Dira berjinjit karena tubuhnya yang lebih pendek. Akhtar juga hanya diam saat Dira mengeringkan rambutnya. Dia memejamkan mata menikmati sentuhan jemari mungil Dira di kepalanya. "Em ... apa Mas mau makan malam di rumah nanti?" Akhtar terpaku sesaat mendengar pertanyaan istrinya. Suaranya seolah sangat sulit untuk keluar dan memberikan jawaban. Akhtar menggelengkan kepala. Sekilas dia melihat senyuman di bibir istrinya kembali tersungging, sangat manis. Tidak ada sedikit pun raut kecewa di sana, atau kata-kata kasar yang keluar dari bibir Dira. Akhtar berpikir apa istrinya normal? Seharusnya dia marah atau setidaknya menampilkan raut wajah kecewanya. "Ya sudah kalau Mas tidak makan di rumah. Hati-hati di jalan ya Mas, semoga pekerjaannya lancar dan di mudahkan segala urusannya." Ucapan yang hampir setiap pagi Akhtar dengar dari mulut istrinya. Ada perasaan senang jauh di lubuk hatinya saat kata-kata itu terucap begitu tulus dari bibir Dira. Juga perasaan bersalah yang semakin menjadi-jadi. Akhtar segera beranjak dia tidak ingin berlama-lama di sana bersama Dira. Dia tidak mau semakin merasa bersalah. Dira mengantar kepergian Akhtar sampai di depan rumah, dia menatap sendu mobil yang dikendarai sang suami. "Sampai kapan aku bisa melihatmu seperti ini Mas? Aku bukan wanita kuat yang akan bertahan terus menerus di sisimu." Gumam Dira lirih. Dira mengusap tetesan air matanya yang mulai membasahi pipi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD