Cinta akan selalu membuatmu hidup
Jika hatimu telah mati karena cinta, maka cintalah yang akan menghidupkannya kembali
Bersabarlah,
Karena hanya sang waktu yang akan menjawabnya....
***
Silla benar-benar ingin melupakan segalanya tentang Roman. Dia memutuskan untuk mengundurkan diri dari pekerjaannya. Tujuan Silla kali ini adalah kampung halaman yang sudah lama ditinggalkannya, tempat kelahirannya serta tempat yang penuh kenangan akan kedua orang tuanya. Sebelum pulang ke rumah lamanya, Silla menyempatkan diri untuk mampir di makam kedua orang tuanya yang terletak di pinggiran kota.
Suasana tempat pemakaman sangat sepi. Hanya ada beberapa petugas kebersihan yang sedang menyapu di areal pemakaman ini. Silla membawa seikat lili putih, bunga kesukaan mendiang ibunya.
Setelah puas memandangi makam kedua orang tuanya, Silla berjalan meninggalkan pemakaman tersebut. Dilihatnya seorang pria yang sedang berdiri di depan makam seseorang dengan membawa seikat mawar putih. Silla tersenyum melihat kejadian yang menurutnya romantis itu. Senyum pertama setelah peristiwa menyakitkan beberapa hari sebelumnya.
***
Silla memasuki rumah mungil peninggalan orang tuanya. Keadaannya masih sama seperti saat dia tinggalkan. Semua perabotannya tertutup kain putih yang sekarang telah berubah warna. Bau pengap sangat menyengat hidung Silla. Meski begitu, gadis itu tetap bersyukur karena masih ada tempat untuk bernaung.
Silla menyingkirkan kain yang menutupi kursi di ruang tamunya, dibersihkannya dari debu yang menempel, kemudian mendudukinya. Mungkin malam ini dia akan beristirahat di atas kursi ruang tamu saja. Ruangan yang lain masih belum dibersihkan dan pasti amat sangat kotor.
Silla merebahkan badannya di atas kursi panjang ruang tamu dengan tas besarnya dijadikan sebagai bantal. Pandangannya menerawang jauh ke langit-langit rendah rumahnya.
"Aku pulang, Ayah, Ibu," gumamnya sembari tersenyum kemudian memejamkan mata, terlelap karena kelelahan.
****
Silla mulai menata kembali hidupnya. Di kota kelahirannya ini, dia memilih menjadi guru di sebuah taman kanak-kanak. Walaupun gajinya memang lebih sedikit dari pekerjaannya terdahulu, Silla sangat menikmati pekerjaan barunya ini.
Siswa-siswanya yang selalu terlihat ceria merupakan hiburan tersendiri baginya. Sudah hampir setahun Silla menjadi guru TK dan dia sangat bahagia.
"Belum pulang?" sapa Desi, teman mengajar Silla.
Silla tersenyum, "Aku masih ingin di sini. Rasanya betah menatap hasil gambar anak-anak hari ini."
"Jangan terlalu memaksakan diri," ujar Desi tulus. "Tapi mau gimana lagi? Anak-anak itu sungguh menggemaskan."
Silla tersenyum mendengar ucapan temannya itu. Harus ia akui, keceriaan anak didiknya merupakan sumber kebahagiaannya sekarang. Meski sebagian besar dari murid Silla adalah tuan muda yang nantinya akan mewarisi bisnis orang tuanya, Silla tetap mengajarkan kerendahan hati kepada mereka agar nantinya mereka dapat menggunkan kekuasaan dengan semestinya.
"Ya sudah. Aku pulang dulu ya. Bye." Desi berpamitan sambil menepuk lembut pundak Silla.
"Bye."
Silla menghela napas panjang setelah kepergian Desi. Gadis itu menatap kosong kantor yang memang telah sepi. Mungkin benar kata Desi. Silla memang terlalu memaksakan diri.
Silla melihat jam dinding di kantor. Ia pun mendesah pelan lantas berguman, "Jam 3 sore." Menyadari sudah terlalu terlambat, Silla pun bergegas merapikan barang-barangnya dan keluar dari kantor setelah meraih tas jinjingnya di meja.
***
Sekolah sudah sepi sehingga membuat suara langkah kaki Silla menggema di seluruh koridor sekolah. Langkahnya terhenti ketika melihat salah sorang siswanya duduk di bangku panjang dekat taman sambil memainkan gawai.
Perlahan, Silla mendekati siswanya itu. "Romeo, kok belum pulang?" ujar Silla setelah berada tepat di hadapan siswanya.
Romeo mendongakkan kepalanya kemudian tersenyum kepada Silla. "Masih menunggu jemputan, Miss Silla."
Romeo kembali sibuk memainkan gawainya. Silla tersenyum lembut kemudian duduk di samping Romeo.
"Miss Silla juga sedang menunggu jemputan?" tanya Romeo tanpa mengalihkan perhatian dari gawainya.
"Tidak," jawab Silla mantap, "tapi Miss Silla mau menemani Romeo, boleh kan?"
Kali ini Romeo menatap Silla. Bingung dengan jawaban gurunya itu, karena memang sebelum-sebelumnya belum pernah ada yang menemaninya menunggu jemputan.
"Romeo tidak takut menunggu sendirian di sini?" tanya Silla sebelum perhatian Romeo kembali tertuju kepada gawainya.
Romeo menggelengkan kepalanya. "Romeo tidak takut karena sudah terbiasa," jawab Romeo polos khas anak-anak.
"Jadi Romeo sering menunggu sendirian di sini?" tanya Silla khawatir.
Romeo mengangguk mantap kemudian tersenyum sembari memperlihatkan deretan giginya yang ompong. "Urusan Ayah di kantor sangat banyak. Jadi Romeo menunggu sampai urusan Ayah selesai."
Silla terkagum dengan jawaban Romeo yang menurutnya sudah sangat dewasa, tetapi ada sedikit keprihatinan di benak Silla tentang hal ini.
"Apakah tidak ada orang lain yang bisa menjemputmu?"
Romeo menggelengkan kepalanya. Senyuman manisnya tidak luntur sedikitpun. "Memang harus ayah," jawab Romeo. "Kalau ayah tidak bisa, Om Hasan yang akan menjemput Romeo. Tidak boleh orang lain. Itu kata ayah."
"Om Hasan?" Silla mengerutkan keningnya.
"Asisten kepercayaan ayah."
"Kalau ibumu bagaimana?" tanya Silla penasaran karena sedari tadi Romeo tidak mengucapkan sepatah katapun mengenai ibunya.
Romeo kembali tersenyum lembut sembari mendongakkan kepalanya menatap langit. "Bunda sudah bahagia di atas sana."
Silla sangat terkejut dengan jawaban Romeo. Dia sangat paham maksud Romeo. Silla jadi merasa bersalah.
"Oh, maaf, Romeo. Miss Silla belum tahu." Silla merasa tak enak hati. Jelas sekali Silla menyesal telah membuaka pembicaraan yang sangat sensitif itu. Namun, Silla kagum dengan sikap tenang Romeo.
"It's OK, Miss Silla." jawab Romeo santai sembari tersenyum memperlihatkan deretan gigi ompongnya.
Silla tidak sanggup lagi membendung air matanya. Dia memang sangat sensitif jika berbicara menyangkut orang tua. Dia tidak pernah menyangka jika anak sekecil Romeo bisa setegar itu menerima kematian ibunya. Silla sendiri yang kehilangan kedua orang tuanya ketika berusia 15 tahun saja, masih sulit untuk menerima kenyataan itu.
Romeo mengerutkan keningnya menatap Silla. "Miss Silla jangan menangis Romeo saja tidak pernah menangis," ucap Romeo dengan gaya anak-anaknya yang khas sembari mengusap lembut pipi Silla yang telah basah oleh air mata.
Menyadari kesalahannya, Silla segera mengusap air matanya. "Miss Silla tidak menangis, sayang. Mata Miss Silla memang sedang sakit, jadi sedikit berair," kilah Silla. Dengan polosnya, Romeo mengangguk percaya dengan perkataan Silla.
Silla sangat sayang kepada Romeo. Bukan karena kasihan, namun karena kekaguman akan sikap yang dimiliki Romeo. Silla tersenyum, kemudian mengusap lembut rambut Romeo. Romeo terlihat sangat menikmati belaian lembut Silla.
"Terima kasih," gumam Romeo lembut dalam pelukan Silla. "Romeo suka dipeluk."
Setelah mendengar kata-kata Romeo, Silla pun langsung memeluk erat Romeo. Pada awalnya Romeo terkejut dengan pelukan mendadak Silla. Setelah mengatasi keterkejutannya itu, Romeo pun membalas pelukan Silla.
"Romeo sayang Miss Silla," gumam Romeo lirih.
Tanpa mereka sadari, ada sebuah mobil mewah hitam memasuki halaman sekolah. Seorang pria keluar dari pintu belakang mobil. Berjalan dengan sangat elegan menghampiri Silla dan Romeo yang masih berpelukan.
"Romeo."
Romeo pun melepaskan pelukan Silla setelah mendengar namanya dipanggil.
"AYAH!" teriak Romeo girang kemudian berlari ke pelukan ayahnya.
Ayah Romeo menyambut pelukan Romeo sembari tersenyum lembut. "Ayah minta maaf, ya. Tadi ada tamu penting di kantor."
"Romeo mengerti kok," jawab Romeo sambil tersenyum lebar. "Lagi pula, tadi Romeo ditemani Miss Silla."
"Miss Silla?" tanya ayah romeo sembari mengerutkan keningnya.
"Iya. Miss Silla, guru Romeo," jelas Romeo singkat yang kemudian menarik tangan ayahnya untuk mendekat kepada Silla.
"Miss Silla, kenalkan. Ini ayah Romeo," ucap Romeo antusias.
Silla pun mengulurkan tangannya tanda perkenalan. "Silla," ucap Silla ramah menyebutkan namanya.
"Adrian," jawab Adrian tenang sembari menyambut uluran tangan Silla. Romeo menyunggingkan senyum penuh kepuasan di bibir mungilnya itu.
Silla sebenarnya sedikit terkejut dan tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Adrian sama sekali tidak menunjukkan bahwa dia adalah ayah dari seorang anak berusia 5 tahun. Penampilan Adrian masih sangat muda dan luar biasa tampan.
"Terima kasih karena sudah berbaik hati menemani Romeo," ucap Adrian sembari tersenyum.
Silla merasa ayah Romeo ini sangat berbahaya. Senyum semenawan itu, akan membuat siapa pun jatuh hati ketika melihatnya. Silla meyakinkan dirinya untuk bersikap profesional. Ia harus menata hatinya dan memberikan perlakuan yang sama kepada semua wali muridnya.
"Memang sudah menjadi tugas saya untuk memperhatikan siswa- siswa di sini. Terutama Romeo. Saya sangat menyanyanginya," ujar Silla setenang mungkin.
"Dan saya juga sangat berterima kasih atas perhatian Anda kepada Romeo," ucap Adrian lembut masih dengan senyum menawannya.
Adrian memang luar biasa tampan. Garis wajah yang tegas dengan dagu yang lancip. Hidung yang mancung serta bibir yang sempurna. Ditambah dengan mata biru yang berkilat tajam. Rambut cepak yang disisir rapi ke belakang dan bentuk tubuh yang proposianal, membuatnya bak pangeran yang muncul begitu saja dari buku dongeng anak-anak.
Pakaian yang dikenakannya pun terlihat pas melekat di tubuhnya. Sepertinya setelan jas itu dijahitkan khusus hanya untuk dikenakan oleh Adrian. Penampilannya yang rapi dan pembawaannya yang sopan membuat Adrian terlihat sangat sempurna.
Sekarang Silla tahu dari mana ketampanan yang dimiliki Romeo itu berasal. Romeo adalah versi anak-anak dari Adrian. Yang menjadi pembeda jelas diantara keduanya adalah warna mata hitam kelam yang dimiliki Romeo.
"Kami permisi dulu. Mungkin lain kali kita bisa berbincang lebih lama," ujar Adrian kembali mengulurkan tangannya.
"Iya, mungkin lain kali." Silla sedikit gugup menyambut uluran tangan Adrian.
"Bye, Miss Silla," ucap Romeo girang sambil memeluk erat Silla. Silla hanya tersenyum melihat tingkah Romeo yang sangat spontan itu kemudian membalas pelukannya.
Romeo melepaskan pelukannya kemudian berlari menuju mobil. Romeo melambaikan tangannya sebelum memasuki mobil dan Silla pun membalas lambaian tangan Romeo itu. Adrian mengangguk lembut kepada Silla kemudian menyusul Romeo memasuki mobilnya. Silla masih berdiri di tempat, melihat kepergian Romeo dan Adrian.
Setelah mobil Romeo dan Adrian meninggalkan halaman sekolah, Silla menarik napas panjang kemudian membuangnya asal. Dengan mantap, melangkahkan kakinya meninggalkan sekolah yang memang sudah sepi itu.
***
Silla memilih berjalan kaki menuju ruamhnya yang memang tidak jauh dari sekolah. Orang-orang sudah mulai ramai berlalu lalang karena memang sudah waktunya jam pulang kantor. Kedai-kedai dan restoran-restoran kecil di sepanjang jalan yang dilalui Silla, sudah mulai dijejali pengunjung yang ingin sekedar melepas penat. Silla tersenyum lembut melihat pemandangan yang menurutnya sangat hangat itu.
Tiba-tiba pandangan mata Silla tertarik kepada seorang pengamen yang sedang memainkan gitarnya sambil bernyanyi di sudut sebuah toko yang sudah tutup. Silla mendekati pengamen itu. Lagu yang dinyanyikan pengamen itu adalah lagu kesukaan Silla yang selalu didengarkannya bersama Roman. Silla memejamkan matanya, menikmati setiap irama yang dinyanyikan pengamen itu. Suaranya yang merdu dan lembut, membuat Silla teringat kembali akan masa-masa indah yang dulu sering dilewatkannya bersama Roman. Tanpa disadarinya, air matanya mulai menetes mengenang hal itu.
Akhirnya, lagu itu pun selesai. Suara riuh dan tepuk tangan menyadarkan Silla. Silla bergegas menghapus air mata yang telah membasahi pipinya. Tingkah Silla yang menghapus air matanya itu tertangkap oleh pengamatan si pengamen. Pengamen itu mengamati Silla lekat-lekat dan senyuman manis pun mengembang di bibirnya.
Orang-orang yang tadinya berkerumun telah membubarkan diri. Tinggal Silla seorang yang masih sibuk merogoh tasnya untuk mencari dompet. Dikeluarkannya selembar lima puluh ribuan kemudian dimasukkan ke topi si pengamen yang tergeletak di bawah.
"Maaf, Nona," sapa pengamen itu ramah yang membuat Silla kembali membalikkan badannya menatap si pengamen. "Saya rasa ini terlalu banyak bagi saya."
Silla tersenyum lembut. "Saya rasa itu sangat pantas untuk suara Anda yang sangat menyentuh itu," jawab Silla lembut. Tanpa menunggu jawaban dari si pengamen, Silla kembali melangkahkan kakinya, pergi meninggalkan si pengamen.
Pengamen itu menatap selembar uang lima puluh ribuan yang ada di tangannya itu. Senyumnya kembali mengembang. Dimasukkannya uang itu langsung ke dompetnya kemudian pergi dari tempat itu dengan menenteng gitarnya.