Senyuman manis itu, kini selalu mengusikku
Mungkinkah Aku jatuh cinta pada pandangan pertama untuk yang kedua kalinya?
***
"Selamat datang Tuan Adrian, Tuan Muda Romeo," sapa Pak Salim, kepala pelayan di rumah Adrian dengan lembut dan penuh senyuman.
"Hai, Pak Salim," jawab Romeo yang langsung memberikan pelukan hangat kepada Pak Salim. Pak Salim tersenyum lembut kemudian membalas pelukan hangat Romeo itu. Romeo memang menganggap Pak Salim sebagai kakeknya sendiri, jadi Romeo sering bermanja-manja kepadanya
Romeo melepas pelukannya lalu tersenyum dengan memperlihatkan deretan gigi ompongnya. "Apakah pudding kesukaanku sudah matang?"
"Tentu saja sudah, Tuan Muda," jawab Pak Salim sembari tersenyum lembut. "Pudding pandan dengan vla vanila sudah siap disajikan khusus untuk Anda."
"Bagus," ucap Romeo puas. "Romeo memang sudah lapar."
Romeo langsung berlari kecil memasuki rumah yang langsung diikuti oleh dua orang pelayan untuk membantunya.
"Ganti baju dan cuci tangan dulu," teriak Adrian mengingatkan Romeo yang sudah sangat antusias dengan pudding-nya itu.
"Iya, Ayah," jawab Romeo sambil berlalu.
Adrian menggelengkan kepalanya melihat tingkah putra kesayangannya itu, sedangkan Pak Salim hanya tersenyum.
"Kau terlalu memanjakannya, Pak Salim," ucap Adrian sembari menatap Pak Salim tajam.
Pak Salim malah tersenyum lembut melihat tuannya itu menatapnya tajam. "Memang sudah menjadi tugas saya, Tuan," jawab Pak Salim lembut. "Lagipula, Tuan Muda Romeo sangat mudah untuk disayangi. Saya jadi tidak tahan untuk memanjakannya."
"Ah, terkadang aku sangat iri dengan Romeo. Banyak sekali yang menyayanginya," ucap Adrian yang kini menatap kosong ke arah pintu yang tadi dilewati Romeo.
"Yang menyayangi Anda juga banyak, termasuk saya. Mungkin Anda dapat merasakannya," balas Pak Salim lembut.
Adrian tersenyum mendengar ucapan Pak Salim. "Aku sangat berterima kasih untuk hal itu."
Ekspresi wajah Pak Salim berubah serius. Kali ini tidak ada senyuman lembut seperti biasa. "Tuan, Nyonya Besar sedang berkunjung. Beliau menunggu di ruang kerja Anda," ucap Pak Salim hati-hati.
Ekspresi wajah Adrian juga berubah seketika. Senyumannya telah luntur digantikan dengan wajah tanpa ekspresi yang susah ditebak. Dengan tubuh yang sepenuhnya siaga, Adrian melangkahkan kakinya menuju ruang kerja, tempat ibunya menunggu.
***
Adrian berjalan menuju ruang kerjanya dengan tergesa. Raut wajahnya menampakkan ketegangan dan sarat emosi. Dibukannya pintu ruang kerjanya dengan sedikit kasar. Pandangannya langsung tertuju kepada seorang wanita paruh baya yang sedang duduk di sofa di sudut ruangan sembari menyesap kopi di cangkirnya.
Penampilannya yang sangat eksentrik untuk wanita seusianya, membuatnya sangat sulit untuk diabaikan. Adrian menghela napas panjang, lantas mendekati wanita itu dengan sedikit gusar.
"Kenapa Ibu datang?" tanya Adrian tidak sabar.
"Itukah caramu menyambut ibumu yang sudah lama tidak datang berkunjung? Mengesankan sekali," jawab Rhea, ibu Adrian, tenang sembari menyesap kopi di cangkirnya.
"Itulah masalahnya," ucap Adrian sinis. "Apa yang Ibu inginkan hingga repot-repot berkunjung ke sini setelah sekian lama tidak berkunjung. Apa tujuan Ibu sebenarnya?"
"Well, sepertinya kau memang tidak suka basa-basi. Berbeda sekali dengan adikmu." ucap Rhea dengan suara tenangnya yang khas sembari meletakkan cangkirnya yang telah kosong. "Itulah yang membuatku menyukaimu. Kau sangat mirip denganku."
Adrian sudah setengah marah dengan tingkah ibunya itu. Walau begitu, Adrian berusaha mengendalikan emosinya. Biar bagaimanapun, wanita yang ada di hadapannya ini adalah ibunya, wanita yang melahirkannya.
Rhea tersenyum penuh arti kepada Adrian. "Ibu rasa, kau terlalu lama hidup sendiri tanpa pendamping. Sudah saatnya keluarga Adams memiliki seorang menantu yang pantas."
"Apa maksud Ibu?"
"Ibu rasa kau sudah paham."
Rhea menjentikkan jarinya. Terlihat seorang pria tegap berjalan menghampiri Rhea dengan ekspresi datar. Jarvis, asisten pribadi Rhea, menyerahkan sebuah amplop cokelat kepada Rhea. Rhea membuka amplop cokelat tersebut kemudian mengeluarkan isinya.
Dalam waktu singkat, foto tiga gadis telah berjajar rapi di atas meja. Kemudian dengan senang hati, Rhea menjelaskan foto-foto tersebut satu per satu.
"Sophia Maxwell," ucap Rhea bangga sembari menunjuk salah satu foto yang ada di meja. "Masih keturunan bangsawan Inggris, putri dari CEO sebuah perusahaan pengolahan kelapa sawit terkemuka."
"Rheina Sudibyo," lanjut Rhea tanpa memberikan kesempatan putranya untuk menyela. "Putri dari pemilik saham terbesar di MnG grup yang bergerak di bidang media dan penyiaran."
"Amanda Gandhi." Rhea menunjuk foto terakhir dengan bangga. "Baru saja lulus dari Yale University, putri seorang pengacara ternama."
Rhea menatap Adrian yang tampaknya tidak tertarik dengan penjelasannya. "Pilih gadis yang kau sukai. Ibu akan melamarkannya untukmu hari ini juga."
Adrian sama sekali tidak tertarik dengan gadis-gadis yang ditunjukkan ibunya itu. Baginya, tidak ada wanita manapun yang sanggup menggantikan posisi istrinya di hatinya.
"Ibu sudah tahu jawabannya," ujar Adrian datar.
Rhea kesal dengan jawaban yang diberikan putranya itu. "Aku tidak akan membiarkanmu melakukan kesalahan yang sama," ucap Rhea geram karena melihat tingkah anaknya. "Menikahi seorang wanita murahan."
"Ariana bukan w************n!" Adrian menaikkan nada bicaranya, nyaris membentak. Ibunya memang selalu memancing emosinya dengan mengungkit latar belakang mendiang istrinya.
"w************n ..." Rhea berakata sinis tanpa memedulikan kemarahan Adrian. "yang tanpa rasa malu berani merayu atasannya. Syukurlah dia sudah mati."
"Ibu!" bentak Adrian. "Ibu sama sekali tidak punya hak untuk menghina Ariana." Seluruh urat di lehernya keluar dan napasnya terengah-engah karena marah.
"Aku rasa urusan Ibu sudah selesai di sini," ucap Adrian datar setelah berhasil mengatasi emosinya. "Jika ibu lupa, pintu keluarnya ada di sana."
Rhea tersenyum tipis. "Baik. Ibu akan pergi," jawab Rhea santai paham dengan pengusiran secara halus ini. "Tetapi Ibu akan kembali. Dan saat itu terjadi, Ibu harap kau sudah memilih calon istrimu."
Rhea berjalan dengan anggun, keluar dari ruang kerja Adrian. Mengekor di belakangnya, Jarvis yang masih setia dengan ekspresi datarnya, membungkuk kaku kepada Adrian kemudian mengikuti Rhea pergi.
Adrian menghela napas lega setelah kepergian Rhea dari rumahnya. Kedatangan Rhea telah membuat suasana hatinya memburuk. Dia merebahkan tubuhnya di atas sofa, memejamkan matanya, mencoba mencari ketenangan. Senyuman manis Ariana, istrinya, merupakan obat yang paling manjur untuk meredakan segala emosinya.
Senyuman manis yang membuatnya jatuh cinta itu, tidak akan dia lupakan. "Ariana," gumamnya lirih. Pikirannya melayang ke saat pertemuan pertamanya dengan Ariana.
***
7 tahun lalu...
Hujan di siang hari yang terjadi di pertengahan bulan Juli, membuat semua orang terkejut. Semua orang berlarian berusaha mencari tempat berteduh.
"Kemana saja kau!" teriak Adrian kepada lawan bicaranya di telepon. "Aku sudah hampir basah di sini. Jika kau tidak datang dalam lima menit, siapkan surat pengunduran diri."
Adrian mematikan ponselnya kasar. Menggerutu karena hujan turun secara tiba-tiba yang mengacaukan semua rencananya. "Hujan sialan." gerutunya.
"Hujan bukanlah kesialan. Hujan adalah rahmat."
Adrian terkejut karena ada yang menjawabnya. Dia menoleh ke samping, mencari tahu siapa yang berani menjawabnya. Seorang gadis dengan dengan setelan kantor sederhana sedang tersenyum kepadanya. Entah kenapa jantung Adrian berdebar kencang saat itu juga.
"Anda tahu, ini adalah hujan pertama sepanjang musim kemarau panjang ini," ucap gadis itu lembut dan Adrian masih belum sanggup berkata-kata. "Hujan ini sangat dinanti-nantikan oleh para petani dan orang-orang yang tempat tinggalnya sedang mengalami kekeringan. Jadi, kita patut bersyukur karena diberikan rahmat yang tak terkira ini."
Adrian masih terdiam tanpa sepatah katapun. Menatap gadis yang ada di sebelahnya. Gadis itu paham dengan kebingungan Adrian. Gadis itu pun mengulurkan tangannya. "Ariana," ucap gadis itu lembut menyebutkan namanya.
Dengan sedikit gemetar, Adrian menyambut uluran tangan Ariana. "Adrian," ucap Adrian gugup. Ariana pun mau tak mau tersenyum melihat tingkah Adrian itu.
"Nah, saya rasa jemputan Anda sudah datang," ucap Ariana yang melihat ada seorang pria dengan setelan jas rapi yang datang mendekat dengan tergesa-gesa. Adrian pun mengikuti arah pandang Ariana dan menemukan asisten pribadinya datang menjemputnya.
"Dan saya rasa, Anda tidak perlu menyuruhnya mengundurkan diri." ucap Ariana lembut yang membuat Adrian mengerutkan keningnya. "Dia datang tepat 4 menit," lanjut Ariana sembari menunjukkan jam tangannya. Adrian terdiam dan Ariana tersenyum lembut.
"Maaf, Tuan, saya terlambat," ucap asisten pribadi Adrian yang sekarang sudah berdiri di samping Adrian dengan membawa payung hitam besar. Adrian hanya menoleh sebentar kepada asisten pribadinya itu lalu mengalihkan pandangannya kembali kepada Ariana.
"Saya rasa sudah saatnya kita berpisah," ucap Ariana lembut tanpa menghilangkan senyuman di bibirnya. "Selamat tinggal dan semoga hari Anda menyenangkan."
Adrian masih belum bisa berkata-kata. Lidahnya serasa kelu. Dia hanya mengangguk kaku kemudian melangkahkan kakinya meninggalkan Ariana yang masih berteduh.
Setelah pertemuan itu, hati Adrian menjadi resah tak menentu. Bayangan Ariana selalu melintas di benaknya. Senyuman manis itu telah membuat hatinya merasakan sesuatu. Dia telah jatuh cinta. Jatuh cinta pada pandangan pertama dengan gadis yang sama sekali belum dikenalnya.
Hari telah berganti minggu dan minggu telah berganti bulan, Adrian masih mencari sosok Ariana yang telah membuatnya gelisah setiap saat. Hari ini ada rapat para kepala bagian dari salah satu anak cabang perusahaannya dan Adrian akan menghadirinya sebagai CEO perusahaan. Adrian memang jarang berhubungan dengan anak cabang perusahaannya karena dia sendiri berkantor di pusat, tetapi entah kenapa kali ini dia ingin sekali menghadiri rapat itu.
Semua orang yang berada di ruang rapat berdiri menyambut kedatangan Adrian. Mungkin ini adalah kali pertama bagi seluruh karyawan di cabang itu bertemu dengan CEO perusahaan tempatnya bekerja. Adrian memang masih muda, namun kemampuannya dalam berbisnis tidak diragukan lagi. Setelah ayahnya memutuskan untuk pensiun dan kembali ke Inggris, Adrian diangkat menjadi CEO perusahaan yang bergerak di bidang bisnis perhotelan dan resort mewah di seluruh dunia. Dalam waktu singkat, Adrian dapat melipat gandakan aset perusahaan. Tidak heran jika dia mendapat julukan si jenius bertangan dingin oleh kolega bisnisnya.
Adrian duduk di kursi yang telah disiapkan. Pandangannya diedarkan ke seluruh ruangan. Mengamati para kepala bagian yang hadir beserta beberapa staf. Adrian merasa asing dengan wajah mereka. Ketika dia beralih ke berkas yang ada di mejanya, pandangannya merasa menangkap sesuatu yang selama ini dicarinya, wajah yang selalu dirindukannya. Adrian kembali mendongakkan kepalanya. Di sana. Iya, di sana. Ariana duduk di sudut ruangan sembari membaca berkas dengan sangat serius. Senyuman kecil mengembang dari bibir Adrian. Ariana-nya telah ditemukan.
Selama rapat berlangsung, Adrian sama sekali tidak fokus. Perhatiannya tertuju kepada Ariana yang tampaknya belum menyadari kehadiran Adrian di sana. Sampai akhirnya rapat selesai pun Ariana masih belum menyadari kehadirannya. Adrian meninggalkan ruang rapat tersebut diikuti oleh kepala-kepala bagian. Para staf yang mengikuti rapat tadi termasuk Ariana kembali ke ruangannya masing-masing.
Adrian mencari keberadaan Ariana dengan dalih ingin melihat-lihat sebentar. Ketika memasuki ruangan di bagian personalia, matanya menangkap Ariana yang terlihat sedang sibuk dengan pekerjaannya. Dengan senyuman lebar, Adrian mendekati Ariana. Ariana sama sekali tidak menyadari kehadiran Adrian dan beberapa kepala bagian di sana. Pandangan mata seisi kantor sekarang tertuju kepada Ariana yang masih sibuk dengan pekerjaannya. Sampai temannya menyenggol sikunya, dan Ariana pun mulai menyadari bahwa dirinya menjadi pusat perhatian.
Dengan gugup, Ariana berdiri dari duduknya dan memberikan salam sembari menunduk. "Ma-maafkan saya," ucapnya tergagap.
Adrian tertawa kecil melihat kegugupan Ariana. "Kau tidak mengenaliku?" ucap Adrian. "Hujan bukanlah kesialan. Hujan adalah rahmat. Apa kau ingat itu?"
Ariana langsung mendongakkan kepalanya, menatap Adrian. Sedikit mengerutkan keningnya kemudian membelalakkan matanya karena mengingat kejadian waktu itu. "Adrian? Sedang apa di sini?" ucap Ariana bersemangat.
"Ariana! Masa sopan santunmu," tegur kepala personalia kepada Ariana. "Beliau adalah CEO perusahaan ini. Sungguh tidak pantas kau langsung memanggil namanya."
Ariana terkejut dengan ucapan kepala bagian personalia itu. Ariana sama sekali tidak tahu jika Adrian adalah CEO perusahaan tempatnya bekerja. "Maafkan saya, Sir. Saya benar-benar tidak tahu," ucap Ariana gugup.
Adrian tersenyum lembut. "Sudahlah, Pak. Saya yang akan bertanggung jawab atas sikapnya barusan. Lagipula kami sudah saling mengenal. Iya kan, Ariana?"
"I ... iya, Sir," jawab Ariana gugup.
Adrian malah tertawa melihat kegugupan Ariana itu. "Tidak usah terlalu sungkan. Panggil saja Adrian."
"Eh, Adrian," ulang Ariana gugup.
Adrian tersenyum puas mendengar ucapan Ariana. "Baiklah. Kembali bekerja. Aku harap kita bisa lebih akrab setelah ini," ucap Adrian santai sembari tersenyum manis kepada Ariana yang membuat semua karyawan di sana iri melihat kedekatan Adrian dan Ariana. Adrian pun berlalu meninggalkan Ariana yang masih terkejut dengan kejadian yang baru saja dialaminya.
Sejak pertemuannya kembali dengan Ariana, Adrian sering berkunjung ke kantor cabang tersebut walau hanya untuk melihat Ariana. Pada awalnya Ariana merasa canggung, namun seiring dengan berjalannya waktu Ariana dapat menerima Adrian. Adrian adalah pribadi yang hangat dan menyenangkan. Berbeda sekali dengan desas-desus yang berkembang di kalangan karyawan yang mengatakan bahwa Adrian adalah orang yang tempramental dan arogan.
Setelah hampir setahun mereka saling mengenal, akhirnya Adrian memutuskan untuk berani melamar Ariana. Memang pada awalnya Ariana sempat meragukan ketulusan Adrian, namun Adrian berhasil meyakinkan Ariana untuk mempercayainya.
Masalah lain timbul ketika keluarga besar Adrian menolak kehadiran Ariana kecuali sang ayah. Pada saat itu Adrian sangat marah lalu memutuskan keluar dari rumah besar keluarga Adams. Berkat dukungan dari ayahnya, Adrian membangun keluarga kecilnya jauh dari jangkauan keluarga Adams dan mulai memimpin anak cabang perusahaannya di kota kecil ini. Adrian dan Ariana pun akhirnya merasakan kebahagiaan walaupun itu hanya sekejap saja. Kematian telah memisahkan mereka, namun cinta Adrian tidak akan hilang walau dipisahkan oleh kematian sekalipun.
***
"Maaf, Tuan Adrian. Makan malam telah siap."
Ucapan Pak Salim telah membangunkan Adrian dari mimpinya tentang Ariana. Adrian langsung menegakkan tubuhnya. Mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan tang ternyata memang sudah mulai gelap.
"Aku mau mandi," ujar Adrian datar. "Biarkan Romeo makan terlebih dahulu."
"Iya, Tuan," jawab Pak Salim sembari tersenyum lembut kemudian membungkuk sedikit lalu pergi.
Adrian mengacak rambutnya frustrasi. Berusaha mengembalikan kesadarannya dari kenangan tentang istrinya.
***
Selesai makan malam, Adrian kembali menyibukkan dirinya dengan berkeas-berkas dari kantornya. Romeo mengikuti tingkah ayahnya itu. Bedanya dia menyibukkan diri dengan kertas-kertas gambar yang sekarang berserakan di meja.
"Miss Silla cantik ya, Yah?" tanya Romeo yang masih sibuk mewarnai gambarnya tanpa menoleh kepada Adrian.
Adrian terkejut dengan pertanyaan tiba-tiba putranya itu. Dia menghentikan aktivitasnya lalu menatap Romeo. "Miss Silla? Gurumu yang tadi siang itu?"
"Iya."
Adrian membayangkan pertemuannya dengan Silla tadi siang. "Iya. Dia memang cantik," ucap Adrian lirih yang membuat Romeo menyunggingkan senyumnya. Entah kenapa senyuman Silla tadi siang sedikit mengusiknya. Ketika pertama kali melihat senyuman itu, ada perasaan aneh yang menjalar di seluruh tubuhnya. Perasaan yang sudah dia tekadkan untuk dikubur dalam-dalam setelah kematian Ariana.
"Ternyata kalian di sini," ucap seorang pria yang tiba-tiba masuk ke ruang kerja Adrian. Lamunan akan Silla pun lenyap seketika dengan hadirnya pria tersebut. Adrian dan Romeo menatap pria yang sekarang berjalan mendekati mereka berdua. Bibir mereka berdua mengembangkan senyuman manis yang khas, menyambut kedatangan pria tersebut.
"Aku kira kau sudah betah di Paris." Adrian menyindir pria di hadapannya itu dengan halus.
"Aku memang betah di sana, tetapi mungkin sudah saatnya aku mengakhiri petualanganku," jawab pria itu santai. "Aku memutuskan akan menetap kali ini."
***
Hwaa, siapa tuh yang datang? Penasaran? Tunggu kelanjutannya.
Terima kasih vote dan komentarnya... Komentar kalian membuatku semangat lanjut nulis.
Follow IG : Mariyaulfa139. Bakal ada yang menarik di sana.
See you next part
Love you
XOXO