Petualanganku akhirnya berakhir
Dan aku bahagia karena kau lah tujuan akhirku
***
"Uncle Sean!" teriak Romeo sembari berlari menghampiri Sean kemudian memberikan pelukan khas ular pitonnya. Sean hanya tersenyum sembari menyambut pelukan Romeo.
"Halo jagoan kecil," sapa Sean kepada Romeo sembari mengacak asal rambutnya yang kini telah melepaskan pelukannya. "Uncle membawa oleh-oleh khusus untuk keponakan paman yang paling hebat ini."
"Satu lagi orang yang memanjakan Romeo datang," gumam Adrian yang sedari tadi hanya memperhatikan tingkah Romeo dan Sean.
"Wah, ini bagus sekali, Uncle," ucap Romeo mengagumi satu set alat lukis pemberian Sean.
Sean tersenyum lembut memandang Romeo yang kini telah kembali sibuk membuka hadiahnya kemudian mencobanya pada gambar yang tadi sudah dibuatnya. "Siapa suruh kau mempunyai anak selucu Romeo. Aku tidak tahan jika tidak memanjakannya," ucapnya tanpa mengalihkan pandangannya dari Romeo.
Adrian tersenyum mendengar jawaban adiknya itu. "Jadi, bagaiman kabar Paris?" tanya Adrian mengalihkan pembicaraan tentang Romeo.
Sean mendekati Adrian kemudian duduk di depan kakaknya itu. "Ya, begitulah. Pameran besar tahun ini sukses."
"Kau memang seniman jenius," puji Adrian sepenuh hati.
"Yes, I am," ucap Sean bangga.
Adrian tersenyum melihat adiknya menyombongkan diri. "Aku dengar, kau datang mengunjungi Ayah di Inggris," tanya Adrian yang dijawab Sean dengan anggukan kepala. "Bagaimana kabar Ayah? Sehat, kan?"
"Well, Ayah sehat-sehat saja. Sepertinya tampak lebih bahagia setelah pensiun," jawab Sean santai. "Kau tahu, Ayah sangat mengkhawatirkanmu. Beliau selalu menunggu kabar bahagia darimu."
Tatapan mata Adrian berubah sendu. "Kau tahu kan, sangat sulit bagiku mencari pengganti Ariana."
"Ayah tahu itu," ucap Sean lembut. "Beliau akan mendukung setiap keputusanmu, sama seperti saat kau memilih Ariana dulu."
Adrian tersenyum tipis mendengar ucapan Sean. "Apa rencanamu selanjutnya setelah membuka galeri seni di Paris?" tanya Adrian berusaha mengalihkan topik pembicaraan. "Mau melanjutkan ekspansi senimu di Eropa atau malah tertarik dengan Amerika?"
Sean tersenyum mendengar pertanyaan Adrian karena dia paham maksud Adrian yang sedang berusaha mengalihkan pembicaraan. "Aku sudah mengatakan rencanaku. Aku ingin menetap. Itu saja."
Adrian mengerutkan dahinya, tetapi tersenyum lembut setelahnya. Ia menatap manik biru yang sewarna dengan miliknya. Sama sekali tidak ada keraguan di dalam kedua mata adiknya itu. "Jadi, wanita mana yang berhasil menaklukkan hati sang petualang cinta Sean Adams? Katakan padaku," tanya Adrian penuh selidik.
Sean tertawa kecil mendengar ucapan Adrian. "Aku tidak seburuk itu," protesnya. "Dia adalah gadis yang unik. Sayang, aku belum tahu namanya."
"Kau sudah gila," komentar Adrian sinis.
"Iya. Aku gila. Karena seorang Sean William Adams, akhirnya bisa jatuh cinta pada pandangan pertama," jawab Sean lembut. "Seperti kau dulu. Kau pasti tahu rasanya."
Adrian menatap Sean dengan ekspresi yang sulit diartikan. Tidak ada lagi senyuman yang menghiasi bibir keduanya. Mereka telah sibuk dengan pemikiran masing-masing.
"Uncle, coba lihat lukisanku," ucap Romeo tiba-tiba yang membuyarkan lamuanan Adrian dan Sean seketika.
Sean tersenyum lembut lalu bangkit dari duduknya dan menghampiri Romeo. "Mana Uncle lihat," ucap Sean lembut.
"Lukisanmu bagus juga," puji Sean yang langsung disambut Romeo dengan senyuman yang memperlihatkan deretan gigi ompongnya. "Sepertinya kau mewarisi bakat seni paman. Mungkin kau akan menjadi seniman yang lebih hebat dari paman."
"Mana mungkin dia mewarisi bakatmu. Romeo adalah anakku," protes Adrian tidak terima. Sean tersenyum mendengar protes yang dilontarkan Adrian.
"Ayah memang tidak mengerti seni," bisik Romeo kepada Sean.
"Ayah dengar itu, Romeo," sahut Adrian tiba-tiba yang langsung memberikan tatapan tajam kepada Sean dan Romeo. Sean dan Romeo hanya tertawa melihat kejengkelan Adrian.
***
Suasana makam pagi ini sangat sepi dan sunyi. Silla melangkahkan kakinya mantap menuju tempat dimana kedua orang tuanya dibaringkan untuk selamanya. Tak lupa seikat lily putih yang cantik, dia bawa untuk diletakkan di atas pusara ibunya yang memang menyukai bunga tersebut. Rasa rindu yang tiba-tiba datang, membuat Silla memutuskan mengunjungi makam orang tuanya sebelum pergi mengajar.
"Silla sudah sangat bahagia sekarang. Ayah dan Ibu tidak usah khawatir di sana," ucap Silla lembut sembari menatap makam kedua orang tuanya.
Setelah puas memandang makam kedua orang tuanya, Silla melangkahkan kakinya meninggalkan pemakaman. Ketika berada di pintu keluar tempat pemakaman, Silla dikejutkan dengan kedatangan Adrian yang membawa seikat mawar putih.
"Miss Silla," sapa Adrian dengan senyumannya yang khas.
"Selamat pagi, Pak Adrian," jawab Silla lembut sembari membalas senyuman Adrian.
"Miss Silla ingin pulang atau ke sekolah?" tanya Adrian
"Saya mau ke sekolah, Pak. Tadi hanya mampir sebentar menengok makam orang tua," jawab Silla mencoba seramah mungkin.
"Oh, kalau begitu ikut dengan saya saja."
"Tidak usah, Pak," tolak Silla cepat. "Saya pergi sendiri saja. Lagipula, jaraknya tidak terlalu jauh. Sekali naik angkot saja sudah sampai."
Wajah Adrian terlihat kecewa. "Wah, sayang sekali. Padahal ada yang ingin saya tanyakan soal Romeo."
Mendengar nama Romeo disebutkan, Silla menjadi kembali bersemangat. Entah mengapa, setiap hal yang menyangkut tentang Romeo membuat tubuh Silla menjadi sangat b*******h seolah-olah anak itu telah melakukan hal yang luar biasa.
Adrian menyadari perubahan ekspresi guru putranya itu. Dia tersenyum lembut. "Tunggu sebentar. Saya ingin meletakkan bunga ini dahulu," ucap Adrian bersemangat. Silla hanya mengangguk dan Adrian pun melakukan seperti yang diucapkannya.
Pandangan Silla terus tertuju kepada Adrian yang dengan lembut meletakkan seikat mawar putih dia atas sebuah pusara. Ia hanya tersenyum ketika melihat hal itu. Wanita bersurai panjang itu berani bertaruh, jika makam tersebut adalah makam wanita yang melahirkan Romeo. Silla merasa, ibu Romeo adalah wanita paling beruntung di dunia karena mendapat cinta yang banyak meski ia telah tiada.
Setelah meletakkan mawar putih yang dibawanya, Adrian kembali menghampiri Silla yang masih menunggunya. Adrian melemparkan senyuman lembut kepada wanita itu, lantas berjalan beriringan menuju mobil Adrian yang terparkir di dekat pintu makam.
***
"Jadi, apa yang ingin Bapak tanyakan mengenai Romeo? Saya akan menjawab pertanyaan Anda sebisa saya," ucap Silla mencoba memecah keheningan di dalam mobil Adrian. Sebenarnya, sejak tadi Silla sudah merasa gugup duduk berdua dengan wali muridnya seperti ini. Namun, ia mencoba bersikap seprofesional mungkin, meyakinkan diri bahwa yang dilakukannya saat ini adalah sesuatu yang benar.
Adrian menoleh ke arah Silla. "Mungkin, hal pertama yang harus kita lakukan adalah mengatasi kecanggungan di antara kita," jawab Adrian santai sembari menyunggingkan senyum maskulinnya. "Sebaiknya kita harus mulai membiasakan dengan memanggil nama agar terlihat akrab, bagaimana?"
"Tetapi Bapak adalah salah satu orang tua murid. Rasanya kurang pantas, jika saya langsung memanggil nama Anda," jawab Silla sedikit canggung.
"Itu jika di sekolah," bantah Adrian santai tanpa menghapus senyuman di bibirnya. "Kalau di luar sekolah akan lain hubungan kita, iya kan?"
"Tapi—"
"Tidak ada tapi-tapian," potong Adrian cepat. "Aku sendiri sedikit merasa canggung dengan bahasa formal. Lagipula, aku tidak setua itu, kan?" ucap Adrian sembari tertawa kecil. Mau tidak mau Silla juga ikut tersenyum mendengar ucapan Adrian.
Silla ragu. Jujur saja, ia belum pernah melakukan hal ini pada wali murid yang lain. Namun, melihat kesungguhan di mata Adrian, entah kenapa Silla teringat senyum polos Romeo. Silla akhirnya menghela napas panjang lantas berujar pasrah, "Baiklah jika Bapak ... eh maksud saya, Pak Adrian, menginginkan begitu."
Adrian tersenyum puas mendengar ucapan Silla. Meski pria itu berharap Silla memanggilnya tanpa embel-embel, Adrian tetap merasa puas dengan panggilan itu.
"So, bagaimana pendapatmu mengenai Romeo? Waktu itu kau pernah mengatakan bahwa kau sangat menyayanginya," ucap Adrian santai.
Silla tersenyum lembut, pandangannya menerawang mengingat semua tingkah lucu murid kesayangannya itu. "Romeo sangat menggemaskan dan cerdas," jawab Silla singkat, tetapi sarat akan kasih sayang.
"Benarkah?" tanya Adrian sembari mengerutkan keningnya. "Setahuku Romeo itu anak yang cerewet dan bawel. Bagaimana bisa menggemaskan dan cerdas?"
Silla tertawa kecil mendengar komentar Adrian hingga membuat pria itu sedikit terpana mendengar dan melihat tawa Silla. Jantungnya berdebar kencang dan perasaannya merasa sangat nyaman. Sudah lama sekali Adrian tidak merasakan hal seperti ini.
"Justru karena cerewet dan bawel itu Romeo menjadi anak yang cerdas," ucap Silla setelah dapat menguasai tawanya. "Romeo selalu dapat membuat saya bangga."
"Yang kau deskripsikan sepertinya bukan Romeo putraku. Apa kau yakin?" tanya Adrian masih tidak percaya.
"Tentu saja yakin," jawab Silla mantap. "Romeo adalah anak yang mandiri, aktif, dan selalu menjadi panutan teman-temannya di kelas."
Adrian menatap Silla lembut. Tanpa ia sadari, bibirnya menyunggingkan senyum penuh kebanggaan dan kebahagiaan.
"Pernah suatu hari, Romeo berhasil menggerakkan teman-temannya untuk ikut melukis bersamanya. Padahal awalnya anak-anak itu tidak mau melukis sama sekali. Bahkan kami para guru tidak berhasil membujuk anak-anak itu untuk melukis. Ajaibnya, Romeo entah dengan cara apa, berhasil membujuk mereka," jelas Silla seraya tersenyum karena mengingat momen lucu tersebut. "Bapak pasti sangat bahagia memiliki putra seperti Romeo, iya, kan?"
Adrian tersenyum bangga sekaligus maklum karena Silla lagi-lagi memanggilnya terlalu formal. "Tentu saja. Romeo adalah kebahagiaanku."
"Ada satu hal lagi yang membuat saya sangat kagum kepada Romeo," ujar Silla dengan senyum ramahnya. "Romeo sangat tegar menerima kenyataan bahwa ibunya telah tiada. Bagi anak seusia Romeo, menerima kenyataan pahit ini tentu sangat sulit. Namun, Romeo dapat bersikap tenang dan seolah dapat berdamai dengan takdir."
"Kalau hal itu, aku pun kurang mengerti. Selama ini Romeo malah menjadi penghiburku di saat aku sangat merindukan bundanya," ucap Adrian sendu. Kini senyuman lembut telah meninggalkan bibirnya diganti dengan ekspresi kesedihan yang mendalam.
Silla merasa iba melihat Adrian. Romeo dan Adrian adalah pribadi yang sangat bertolak belakang. Rasa kehilangan masih terpancar jelas dari wajah Adrian. "Jika boleh saya tahu, sejak kapan bundanya Romeo meninggal dunia?" tanya Silla hati-hati.
"Bulan depan adalah peringatan hari kematian bundanya yang keenam tahun. Tepat di hari ulang tahun Romeo," jawab Adrian sendu yang kini tidak berani menatap Silla. Pandangannya lurus ke depan dengan tatapan kosong.
Silla terkejut dengan jawaban Adrian. Anak seceria dan sepolos Romeo harus tumbuh tanpa kasih sayang seorang ibu, membuat hati Silla tersentuh. Ia tidak pernah menyangka, Romeo akan mengalami hal semenyedihkan ini. Tanpa ia sadari, likuid bening itu telah jatuh dari kedua maniknya. Dengan cepat Silla menghapusnya sebelum Adrian melihatnya, tetapi terlambat. Adrian sudah terlanjut melihat air mata Silla.
"Kau menangis?"
"Tidak," sangkal Silla. "Mata saya sepertinya kelilipan, jadi keluar air mata."
Adrian hanya menatap Silla dengan tatapan yang sulit diartikan. Tentu saja Adrian dapat membedakan antara kelilipan dan menangis. Dia bukanlah anak berusia 5 tahun yang dapat dibohongi dengan mudah. Dan sepanjang sisa perjalanan menuju ke sekolah pun mereka lewati dengan keheningan.
Setelah mengucapkan terima kasih dan basa-basi seperlunya, Silla turun dari mobil Adrian. Dengan sopan, supir Adrian membukakan pintu untuk Silla sembari tersenyum dan Silla pun membalas senyuman sang supir sembari mengucapkan terima kasih.
Mobil Adrian pun pergi meninggalkan Silla yang masih berdiri di depan gerbang sekolah menatap mobil tersebut sampai hilang di tikungan. Silla menarik napas panjang kemudian melangkahkan kakinya memasuki sekolah yang sudah mulai ramai.
***
Hari ini berjalan seperti hari-hari bisanya bagi Silla. Mengajar di kelas dan mengoreksi pekerjaan siswanya. Silla sedikit merasa akhir-akhir ini Romeo bersikap aneh kepadanya. Setiap menatap Silla, Romeo selalu tersenyum dan seperti hendak mengatakan sesuatu. Silla pun bertekad akan menanyakan hal itu kepada Romeo sepulang sekolah nanti, sebelum rasa penasarannya menjadi-jadi.
Sekolah sudah sepi. Silla memutuskan untuk keluar dari ruang guru dan berjalan ke taman, tempat Romeo biasa menunggu jemputan. Senyum Silla mengembang setelah matanya menangkap sosok Romeo yang sedang duduk di bangku taman. Wajahnya terlihat serius dengan tangan yang sibuk menyapukan kuas pada selembar kertas.
Perlahan Silla mendekati Romeo. "Hai, Romeo," sapa Silla lembut.
Romeo mendongakkan wajahnya. Bibir mungilnya menyunggingkan senyuman manis ketika melihat Silla berdiri di sampingnya. "Hai, Miss Silla."
Silla pun duduk di samping Romeo. Memperhatikan lukisan yang sedang dibuat Romeo dengan bibir yang masih menyunggingkan senyuman. "Lukisanmu cantik."
Romeo membalas pujian Silla dengan cengiran yang memperlihatkan deretan giginya yang ompong. Wajah Romeo yang sedikit belepotan dengan cat sangat menggemaskan. Silla tersenyum sembari menggelengkan kepalnya kemudian mengambil tisu dari dalam tasnya. Tanpa persetujuan dari Romeo, Silla pun mengusap cat yang ada di wajah Romeo. Senyum Romeo bertambah lebar karena mendapat perlakuan seperti itu.
"Terima kasih, Miss," ucap Romeo setelah Silla selesai mengusap wajahnya.
"Sama-sama, Sayang," jawab Silla dengan senyum tulusnya.
"Kok diberesin? Sudah selesai melukisnya?" tanya Silla saat melihat Romeo membereskan alat-alat melukisnya.
Tanpa memandang Silla, Romeo menganggukkan kepalanya. "Ayah akan sampai sebentar lagi," ucap Romeo singkat. Silla pun paham dengan maksud Romeo kemudian membantunya.
Tak lama berselang, sebuah mobil mewah berwarna hitam pekat memasuki halaman sekolah. Romeo langsung berlari menghampiri mobil tersebut.
"Ayah ...," teriak Romeo setelah Adrian keluar dari mobilnya dan langsung memberi Romeo pelukan hangat.
Adrian dan Silla bertemu pandang. Adrian mengangguk sembari tersenyum hangat yang langsung membuat pipi Silla merona. Adrian dan Romeo berjalan mendekati Silla. Adrian kembali tersenyum kepada Silla.
"Terima kasih sekali lagi karena telah menemani Romeo," ucap Adrian berterimakasih sembari menyunggingkan senyumnya yang menawan.
Silla pun membalas senyuman Adrian. "Bukan pekerjaan mudah menemani Romeo menunggu."
Adrian mengerutkan keningnya. "Maksudnya?"
"Karena saya harus bisa menjawab semua pertanyaan-pertanyaan Romeo," jawab Silla tanpa menghapus senyum dari bibirnya. "Dan pertanyaan yang diajukan Romeo, bukanlah pertanyaan mudah."
Adrian pun tertawa mendengar pengakuan Silla dan mau tak mau Silla pun ikut tertawa mendengarnya.
"Ada yang lucu, ya?" tanya Romeo polos yang langsung menghentikan tawa Silla dan Adrian.
Adrian tersenyum lembut kepada Romeo. "Tidak ada, Sayang." ujarnya lembut sembari membelai rambut Romeo. "Ayah tadi sedikit bercanda dengan Miss Silla."
Romeo pun hanya mengangguk mendengar penjelasan ayahnya itu. "Jadi, hari ini Miss Silla akan pulang bersama kita kan, Yah?" ucap Romeo tiba-tiba mengalihkan pembicaraan.
Adrian dan Silla hanya beradu pandang mendengar pertanyaan Romeo. Terjadi sedikit kecanggungan diantara keduanya. Akhirnya, Silla yang pertama kali dapat mengatasi kecanggungan itu.
"Romeo, Miss Silla tidak—"
"Kenapa tidak?" potong Adrian cepat. "Kami tidak keberatan mengantar Miss Silla pulang."
Dengan tatapan mata penuh penegasan seakan mengintimidasi, Adrian mengiyakan keinginan Romeo. Anak lima tahun itu tampak sangat puas dengan keputusan ayahnya. Entah kenapa, Silla tidak sanggup membantah keinginan kedua pria yang ada di hadapannya ini.
"Baiklah. Jika itu mau kalian," jawab Silla pasrah yang langsung disambut senyuman penuh kemenangan kedua pria tersebut.
"Oke, Miss Silla," ucap Romeo girang yang langsung mengaitkan lengannya di tangan Silla dan menariknya masuk kedalam mobil.
***
See you next part
Love you
XOXO