Chapter 2

3297 Words
  Reputasi Amera Gaia tidak benar-benar hancur sepertinya. Yah, walau ada beberapa penggemar yang tidak setuju dan masih menyalurkan amarahnya, tetapi kebanyakan dari mereka mendukungnya. Alasannya cukup sederhana, Amera mendapat pasangan yang setimpal. Setimpal, apanya? Mereka sempat menebak-nebak Amera akan berkencan dengan sesama idol atau penyanyi lainnya. Atau aktor yang menjadi lawan mainnya dalam drama. Banyak para shipper bermunculan dan berteriak kalau mereka mengharapkan Amera dan lawan mainnya berkencan. Sayangnya, hubungan pekerjaan jauh lebih utama dan kencan tidak ada di dalam pikirannya. Amera tidak mendapat kebencian dari penggemar Darren karena dia mengencani konglomerat muda itu. Atau dia sebenarnya dapat, tetapi wanita di luar sana merasa tahu diri? Amera tidak mau memikirkannya. Jika mereka ingin mengejar Darren, silakan saja. Sembah saja pria itu, Amera tidak peduli. Amera memarkirkan mobilnya di parkir agensi dan masuk melalui lift yang kosong. Hari ini Skyfall akan berlatih menari untuk jadwal panggung mereka di sebuah penghargaan bergengsi di Jepang. Mereka sudah resmi menjadi pengisi acara dan akan menampilkan tiga lagu berturut-turut sebagai bintang tamu yang dinanti. "Kopi sudah datang," Tara datang bersama Amera di belakang. Mereka bertemu di tengah lorong ketika Amera turun untuk memesan kopi s**u kesukaan mereka. Amera menaruh tasnya di dalam laci dan memakai kaus kaki. "Vanilla Latte untukmu, cantik," Tara mengedip pada Amera. Andara menyesap kopinya dan duduk bersila merenggangkan otot leher dan bahunya. "Aku sudah baca berita pagi ini," dia membuka percakapan. Menatap Amera dari cermin raksasa di depannya. "Agensi membenarkan kalau kau berkencan, kan?" Amera melirik Tara dan dia mendesah panjang. "Kurasa, kalian tahu alasannya." Yuki mengangguk. Dia menaruh kopi susunya dan mengambil kue kering. "Tara sudah memberitahu kami. Semua sudah jelas, Amera. Kau harus bisa menghadapinya." Amera berdiri. Dia melakukan pemanasan sebentar dengan melompat-lompat kecil. "Bukan masalah." Hana memutar matanya, dia tersenyum. "Padahal kita semua tahu, Amera menaruh hati pada pengacara tampan, Arata." Chia terkekeh. Dia memainkan gelas kopinya dan menyenggol bahu Tara. "Kau terlalu keras pada Amera, Tara," tegur Chia. "Dia berharap mendapat skandal dengan Atara, bukan dengan Darren Kato." Amera mendengus sebal. "Diam kalian." "Atara bisa saja menjadi idol seperti kita kalau dia mau," ucap Aster. "Pria itu tiba-tiba menyerah di tengah latihan dan hampir saja debut. Aku tidak tahu apa alasannya. Dan sekarang lihat? Dia menjadi pengacara muda hebat." Amera melempar bokongnya ke atas lantai kayu yang dingin. Dia menggelengkan kepalanya dan mengusap celana kainnya. "Yah, sepertinya dewi fortuna tidak berpihak padaku," Amera memutar matanya. "Lagipula, kencan bodoh ini hanya bertahan enam bulan. Setelah itu? Semua seleAska. Aku tidak akan berurusan lagi dengan pria itu." Andara tertawa pelan. Dia menaruh gelas kopinya dan berdiri. "Yakin sekali dirimu, Nona?" Tatapannya meledek pada Amera. "Enam bulan mungkin waktu yang sebentar, tapi kau tidak akan tahu sejauh mana permainan yang coba kalian berdua mainkan akan berimbas pada perasaan kalian sendiri." Amera terdiam. Semua fokus menatap Andara yang memasang wajah tak berdosanya. "Siapa yang berani bertaruh denganku?" Andara mengedipkan matanya. "Percayalah, jangka waktu enam bulan, kita akan mendapati satu fakta salah satu dari mereka akan jatuh cinta dan selamat tinggal kontrak bodoh itu." Nana tertawa keras. Dia berdiri. Memasang kaus kakinya dan mulai menari. "Aku akan bertaruh." "Pria bodoh itu, dia bilang dia akan mengencani Andara, tapi kenapa aku yang terkena imbas?" Amera menggeram dalam suaranya. Tara menatap Amera dan kemudian pada anak-anak asuhnya. "Sudah, sudah. Cepat kalian latihan." Amera mengikat rambutnya. Dia mengangkat alisnya ketika melihat Aster bergeser ke arahnya walau posisi wanita itu tidak di sana. "Aku harap selama kontrak itu berjalan, bukan kau yang jatuh cinta pada pria itu, Amera." *** Pagi yang menyebalkan. Sungguh, Darren bisa saja memukul seseorang sampai babak belur dan menjadikannya samsak untuk melampiaskan rasa kesalnya. Kolega tua dan bodohnya mengacaukan rapat pagi ini dan keadaan benar-benar mengharuskan Darren mengeluarkan tenaga berlebihnya untuk menenangkan keadaan walau akhirnya dia meledak dan membentak seluruh jajaran direksi yang hadir saat rapat. Sialan. Darren benar-benar kesal. Hanya karena keuntungan mereka turun dua persen, Darren dituduh melakukan kecurangan. Jadi di sini dia berada, kedai kopi yang tidak jauh dari kantornya. Duduk menyendiri menyesap kopi panasnya dan menatap ke luar jendela yang padat. Dia seperti pria pengangguran yang menikmati hidup dan tidak memikirkan berapa banyak hutang di bank. Dia terlalu santai. Tapi Darren menyukai keadaan di mana dia benar-benar bisa berpikir jernih dan mengambil tindakan selanjutnya. "Aku mencarimu." Kursi tertarik dan Darren tahu siapa pelakunya. Kaza. "Aku sudah mengirimkan pesan pada sekretaris tua bangka itu dan menyuruhnya untuk mengambil saham sebelum dia berkata yang tidak-tidak lagi," ucap Kaza. Dia memesan dua piring roti bakar dan kopi panas. "Pria tadi cukup membuatku emosi. Tetapi pada akhirnya, kau yang hilang kendali." Darren tetap diam. Kaza menyesap kopinya, menikmati segarnya kopi itu membasahi tenggorokannya yang kering. "Aku sudah membaca berita pagi ini. Agensi Amera membenarkan tentang kencan kalian," Kaza menatap Darren. "Ceritakan padaku." "Nanti saja," jawab Darren singkat. Dia sedikit memundurkan kursinya. Menatap Kaza. "Ini hanya bertahan enam bulan." "Apa?" Kaza terbatuk. "Kalian berkencan di atas kontrak?" Darren mengangguk. Dia tidak perlu khawatir karena keadaan kedai benar-benar sepi. "Tidak ada kontrak di atas hitam dan putih. Tapi aku dan Amera setuju. Kami akan menjalaninya dengan santai." "Oh, sialan," Kaza mengusap Bibirnya. "Bagaimana bisa kau menyetujuinya?" "Membawa keuntungan," balas Darren. "Aku tidak akan mengabaikan apa pun yang membawa keuntungan bagiku walau ya, kuakui aku tertarik dengan Amera." Kaza mendengus. Dia mulai tertarik dengan topik pembicaraan mereka. "Bagaimana kalau kencan bodoh ini bertahan lebih dari enam bulan?" Darren mengernyit pada Kaza. "Dalam mimpimu?" Kaza tertawa pelan. "Hei, bukan. Seleramu memang seperti Andara, tetapi Amera sama sekali tidak buruk. Dia seperti tipemu juga," kata Kaza. "Jika di antara kalian jatuh cinta, kurasa enam bulan berkencan tidak lagi berlaku?" Darren mendengus. Dia melempar garpu roti bakarnya ke dahi Kaza. Membuat bunyi gaduh karena garpu logam itu terjatuh membentur lantai kayu dan Kaza mengaduh. "Sialan kau," makinya. Memungut garpu itu dan membersihkannya dengan tisu. Darren melempar pandangannya ke luar jendela yang sedikit berembun. "Aku rasa tidak ada," ucapnya pelan. Kaza menghentikan kegiatan mengusap dahinya, dia menatap Darren. "Jika dia tahu tentang diriku sebagai petarung, mungkin dia akan mundur." "Kau sudah berhenti," balas Kaza. Darren menggeleng. "Kau sendiri tahu aku masih sering berkunjung ke Oricon untuk bertarung dan mendapatkan kepuasan sendiri." "Oh, Tuhan, kau masih mencintai kekerasan," Kaza menepuk dahinya. "Darren, tapi kau tidak berlaku demikian pada wanita." "Kau tidak tahu," selanya. "Aku tahu," Kaza berdecak. "Kau memang menyewa w************n itu untuk pemanas ranjangmu. Tetapi kau tidak pernah memukul mereka jika mereka mencakar atau memukulmu karena kau membuangnya. Kurasa, Amera akan baik-baik saja dengan hal itu." Kaza menatap Darren lurus-lurus. "Sekarang, dengar aku," Darren melirik sedikit ke arahnya. "Walau kencan bodoh ini hanya pura-pura, aku yakin kau dan Amera menjalaninya dengan sikap profesional dan berlagak seolah-olah kalian benar-benar dimabuk asmara. Coba saja jalani, jika kau merasa baik-baik saja, itu tidak apa. Artinya, kekerasan tidak berlaku jika kau di dekat wanita. Kau tidak akan menyakiti mereka." Kaza berdiri. Dia mengulurkan tangannya menepuk bahu Darren dan berlalu pergi setelah membayar minumannya dan minuman Darren. Meninggalkannya sendiri yang berkutat bersama pikirannya. *** Amera merapikan ikatan rambutnya. Dia memakai hoodie merah hati dan mengikat rambutnya tinggi saat dia masuk ke wilayah Oricon. Dia akan menonton pertandingan MMA malam ini. Menonton pertarungan yang sudah sangat lama sekali dia tinggalkan. Amera memarkirkan mobilnya pada pemilik warung makan yang tidak jauh dari Oricon. Memberikannya sedikit uang, Amera merasa mobilnya baik-baik saja dan dia akan aman. Biasanya dia datang ke daerah Holicon, daerah petarung MMA kelas bulu yang biasa dia tonton melepas penatnya. Tapi karena sudah hampir tiga tahun lamanya dia tidak lagi datang untuk melihat pertarungan, dia memilih untuk pergi ke Oricon. Amera sudah cukup sering ke Oricon saat dia memiliki waktu senggang. Dia datang sebagai penonton, bukan sebagai petarung. Harga tiket yang lumayan menguras dompet, nyatanya tidak membuatnya kehilangan napsu. Amera mendengar kalau malam ini petarung kelas berat akan bertarung habis-habisan. Tiket sudah ludes terjual dalam waktu dua menit. Beruntung, Amera mendapatinya sebelum tiket itu benar-benar habis dan dia melewatkan laga menyenangkan ini. Amera mendorong pintu masuk setelah dia bertemu dua pria berbedan besar dengan tato di lengan dan wajah mereka. Setelah menunjukkan tiket dan mereka mengenali Amera, dua pria itu memperbolehkannya masuk. Amera menyedot jus mangganya dan mengambil tempat duduk sesuai nomor kursi di tiketnya. Amera duduk santai. Menunggu pertandingan sampai dia melihat satu demi satu kursi terisi penuh dan suara bising dari belakang, membuat kepalanya tertoleh. Amera sekarang aman karena dia memakai penutup kepala untuk melindungi rambutnya dari serangan para pengambil foto diam-diam. Bunyi lonceng terdengar keras. Pintu-pintu tertutup rapat. Amera merapatkan jaketnya dan menatap lurus ke depan saat dia melihat pertandingan akan di mulai lima menit lagi dari layar besar di tengah ruangan. Dan ring mulai menutup dengan tiang besi tinggi seperti kandang. Wanita-wanita seksi itu mulai berputar mengelilingi area dengan menunjukkan d**a dan b****g mereka. Baju tipis mereka benar-benar transparan dan mereka seperti wanita telanjang yang melenggak-lenggok di atas lantai dengan sepatu hak tinggi. Mata Amera menyipit ketika dia melihat pria berambut cokelat yang menjadi petarung nanti. Dia tersenyum, melihat gaya pria itu yang mencolok dengan tindik di hidung dan lidahnya juga telinganya. Pria itu berlari masuk ke dalam ring dan teriakan penonton menggema keras. Lalu, suara histeris para wanita juga membuat kepala Amera tertoleh. Dia melihat seorang pria berjalan dengan jubah menutupi rambut dan wajahnya. Amera mengerutkan alisnya, pria itu tampak asing di matanya. Apa dia petarung baru? Pria bertindik itu menyeringai. Saat dia merenggangkan otot tangannya, Amera mengangkat alisnya, begitu ingin tahu pada sosok jubah hitam yang masih berdiri diam di sudut ring. Setelah jubah itu terjatuh dari tubuh sempurnanya, Amera menegang di tempatnya. Dia membeku. Jus mangga yang belum sepenuhnya habis, terasa ringan di tangannya. Amera membuang botol jus miliknya dan berdiri, matanya melebar ketika dia benar-benar melihat sosok Darren Kato di depan sana. "Sialan, siapa sebenarnya pria itu?" Amera kembali duduk, dia meremas tangannya ketika pria bertindik itu semakin brutal menyerang Darren yang memiliki tubuh lebih kecil darinya. Ini pertarungan kelas berat. Astaga, Amera hampir melupakannya karena terlalu terkejut. Berarti, Darren bukan lawan yang mudah. Pria itu ... dia juga petarung kelas berat. Satu pukulan mendarat di pipi Darren. Amera menutup mulutnya saat dia kembali berdiri dan sorak dari penonton mengganggu telinganya. Darren kembali bangkit, melayangkan pukulan yang lebih keras hingga pria bertindik itu terhuyung. Tubuh Darren benar-benar kekar, berbeda dengan tubuh pria yang Amera taksir berumur hampir empat puluh. Para wanita ada yang meringis melihat Darren meludah darah. Amera tidak lagi bisa duduk di tempatnya ketika Darren membalas pukulan pria itu jauh lebih beringas dan brutal. Membuat pria itu mengeluarkan darah deras dari pelipis dan hidungnya. Satu pukulan keras Darren mendarat di rahangnya, membuat pria itu terbaring dengan darah yang mengalir deras. Mata Amera melebar saat pria itu tersedak darahnya sendiri dan Darren memenangkan pertarungan. Amera menarik turun penutup kepalanya dan ikatan rambut merah muda panjangnya ikut terlepas. Beberapa dari mereka terkejut mendapati Amera di tempat terlarang ini. Wanita itu masih berkeliaran di atas pukul dua belas malam. Amera sepertinya tidak peduli, dia dua langkah ke depan, dan Darren yang sibuk memasang jubah hitamnya sepertinya tidak tahu tentang keberadaan dirinya. Wasit menarik tangan Darren untuk berbalik. Darren mengusap sudut Bibirnya yang robek dan pipinya yang lebam akibat pukulan pria itu. Netra kelamnya menggelap ketika dia melihat sosok yang tidak asing di matanya, berdiri di luar pagar ring, menatapnya tak terbaca. " Amera?" panggilnya pelan. Dia mendengar sorak penonton berubah menjadi bisikan ketika mereka saling bertatapan. Amera meremas tas selempangnya dan berbalik pergi setelah Darren menerima uang dan piala itu. Pria itu turun, dan pergi ke belakang untuk mengganti pakaian. *** Lama Amera berputar-putar mengelilingi jalanan yang sepi karena hampir tidak ada satu pun mobil yang lewat. Hanya ada beberapa kendaraan beroda dua dan bis malam yang masih beroperasi. Amera menekan telunjuknya ke pelipisnya, dan mendesah panjang. "Bagaimana bisa?" Amera mengernyit sekali lagi dan dia menggeleng. Dia hanya terkejut, itu saja. Tidak tahu kalau Darren juga bergabung di dunia gelap itu. Oke, MMA tidak buruk. Tapi melihat pria itu menerima pukulan hingga terluka, Amera merasa itu tidak baik untuk dirinya. Amera menekan rem mobil di pijakan kakinya dan menarik rem tangan ketika sedan mewah hitam itu memotong jalan mobilnya. Matanya melotot ketika dia melihat siapa pelaku dibalik debaran jantungnya yang menggila karena hampir menabrak mobil lain di tengah malam. Amera keluar dari dalam mobil. Dia menyipit ketika Darren mendekat ke arahnya. Pria itu terluka. Jelas saja. Sudut Bibir Darren menjelaskannya. "Apa?" Bentak Amera. Alis Darren terangkat. "Apa kau marah?" "Oh?" Amera berdeham. Dia menggeleng. "Tidak. Aku hanya," Amera menghela napas. "Terkejut." Darren menatapnya. "Kenapa kau tidak kembali ke apartemenmu dan pergi seorang diri berputar-putar di jalan sepi? Tengah malam seperti ini?" "Kau mengikutiku?" Darren mengangguk. "Kenapa kau ada di kursi penonton?" Mata Amera menajam. "Aku suka melihatnya. Cukup sering. Melihat pertarungan berdarah itu," jawaban Amera membuat Darren terkejut. "Aku tidak menyangka bertemu denganmu." "Kau benar-benar melihatnya," bisik Darren. Amera mengangkat alisnya. "Itu bukan sesuatu yang salah," mata Amera menelusuri wajah Darren. "Obati lukamu, bodoh. Kenapa kau diam di sini?" Darren menggeleng. "Aku akan mengikutimu sampai kau benar-benar kembali ke apartemen," Darren membuka pintu mobil Amera dengan paksa. Dia membawa tubuh wanita itu ke dalam mobil dan menutup pintunya. "Sial," maki Amera ketika dia menyalakan mesin mobil dan menurunkan rem tangan. Darren ikut masuk ke dalam mobil miliknya, membiarkan mobil Amera pergi lebih dulu dan dia mengikutinya. *** Amera sudah sampai di apartemennya dengan selamat. Pukul dua dini hari. Oke, dia punya jadwal jam sembilan dan seharusnya dia tidur, bukan berkeliaran ke luar seperti ini. Amera pergi ke lobi dan melihat mobil mewah Darren terhenti di luar gerbang masuk apartemen. Pria itu belum pergi. Apa yang dia pikirkan? Amera bergumam dalam hati. Dia mengangkat bahunya dan kemudian berbalik pergi. Belum langkahnya menjauh, Amera kembali berputar, menatap Darren dari dalam lobi dan mendesah panjang sekali lagi. Amera berjaga-jaga kalau ada wartawan yang diam-diam mengendap mengikutinya sampai ke depan pintu apartemen. Seperti kemarin, dia memeluk Darren karena melihat titik kecil kamera dari balik semak-semak. Dan saat Darren membalas pelukannya, Amera yakin Darren juga melihat wartawan itu menyebar ke seluruh agensi sebagai penguntit yang menyeramkan. Jadi, Amera memutuskan untuk menghampiri Darren yang tengah melamun. Mengetuk pintu kaca mobil pria itu, dan membuka pintunya. "Kenapa kau tidak masuk?" Darren berkata dengan dahi mengernyit. "Pulanglah, keberadaanmu sedikit menggangguku," usir Amera halus. Dia mengangkat bahunya dan bersandar pada bantalan sofa di kursi penumpang milik Darren. "Mobilmu boleh juga." Darren merespon dengan dengusan. "Aku harus kembali," dia menyalakan mesin mobil. "Kau ikut aku atau masuk ke dalam?" Amera tersenyum manis. "Tentu saja aku akan turun, Tuan Kato," Amera turun dari mobil setelah menutup pintunya agak keras. Melambai saat mobil melaju menjauhinya. Amera memutar tubuhnya, mendengar ada suara jepretan kamera tidak jauh dari tempatnya berdiri saat ini. Tangannya terkepal di dalam kantung hoodie miliknya, Amera memejamkan matanya, menarik napas panjang lalu membuangnya kasar. *** "Uh, oh, apa ini?" Andara menunjukkan layar ponselnya pada Yuki yang sibuk mengunyah spagetinya. Dia tersenyum saat Hana ikut membuka ponselnya dan mencari tahu apa yang terjadi. " Amera berkencan lagi di dalam mobil? Tengah malam?" Hana tak percaya. Andara mengangguk dengan senyum. Dia melirik Hana. "Coba lihat jam berapa berita itu rilis. Ini masih berita panas," Andara terkikik saat dia mengambil ponselnya lagi dan berseru senang. "Sialan, Amera sudah mulai berani bertemu di tengah malam." "Ini terlalu cepat," gumam Hana. Dia menatap layar ponselnya dalam-dalam. "Aku rasa mereka bertemu karena ada suatu hal." Andara mencebik. Dia menyenggol bahu Hana cukup keras. "Hei, mana kita tahu apa yang Amera lakukan dengan pria tampan itu? Kalau kau bertanya, Amera tidak akan menjawab jujur." "Kau benar," Yuki mengusap sudut Bibirnya yang terkena saus spageti dengan tisu. "Tapi aku yakin, Amera tidak memiliki perasaan apa pun pada pria itu." Di ruang latihan hanya ada mereka bertiga. Andara, Yuki dan Hana. Anggota lainnya sepertinya datang terlambat dan Tara sibuk bersama Kensho. Entah apa yang manajernya lakukan, Tara sudah datang pagi-pagi sekali dan dia hanya menyapa Andara yang kebetulan datang di pintu masuk setelah itu kembali pergi. Andara terkekeh pelan. Dia terkejut ketika ponselnya bergetar dan nama Aska tertera di layar. "Oh, Aska?" Andara kembali tertawa. "Sayang, ayolah, kenapa suaramu serak begitu? Berhenti menggodaku!" Yuki memutar matanya. Dia pergi ke tempat sampah untuk membuang sampah bekas makannya dan Hana mendengarkan lagu melalui earpodsnya. *** Amera mendesah. Dia melirik jam di tangannya, pukul tujuh. Dia menekan bel pintu sekali lagi dan sama seperti sebelumnya, respon si empunya tidak ada. "Ish," Amera mulai kesal. Dia mengetuk pintu itu dan tidak terbuka. Amera berbalik, hendak kembali ke pintu lift ketika dia mendengar suara kunci pintu dan pintu itu terbuka. "Apa?" Amera menghampiri Darren dengan sebungkus makanan di tangannya. "Sarapan untukmu." Darren mengusap matanya berulang kali. Khas seorang bangun tidur. Amera mungkin mengganggu tidurnya mengingat ini hari minggu dan pria itu tidak kerja, mungkin? "Apa?" Ulangnya sekali lagi. Amera mengintip kamar apartemen Darren, dia berdeham sebentar dan kemudian menatap pria itu. "Sarapan," balas Amera tajam. Dia mendorong bungkus plastik itu ke arah Darren dan Darren menerimanya dengan kerutan di dahi. Jangan tanya darimana Amera mendapatkan alamat apartemen Darren. Ya,Tara. Darimana Tara tahu? Sepupu pirangnya, Kaza. Sangat mudah menjawabnya. Darren terdiam. Dia menatap bungkus plastik itu lalu kembali pada Amera. "Mau apa kau datang?" Alis Amera bertaut. "Lukamu ... kau baik-baik saja?" Darren mendengus. Dia mengusap sekali lagi wajahnya dan mendesah panjang. "Kau datang hanya untuk bertanya bagaimana lukaku?" Amera lama tidak menjawab sebelum akhirnya anggukan kecil darinya terlihat. "Semalam kau hampir babak belur, aku hanya ingin tahu." "Hanya itu?" Amera mengangguk lagi. "Kau tidak menyuruhku masuk?" Darren mengernyitkan dahinya. Dia mendorong pintu kamar apartemennya dan menatap Amera. "Oh, kalau begitu aku pulang saja," Amera mengangkat bahunya dan berbalik pergi menuju lift. "Masuklah." Langkah Amera terhenti. Dia menoleh dengan alis terangkat, kemudian masuk ke dalam apartemen Darren setelah pria itu menghela napasnya dan menutup pintu. "Jadi, ini apartemenmu?" Amera memutari tubuhnya. "Lumayan." Darren menaruh bungkus plastik itu ke atas meja bar dan dia membuka kulkas. Melemparkan soda kaleng ke arah Amera yang langsung ditangkap wanita itu. "Terima kasih." Amera duduk di sofa putih panjang yang empuk. Dia menatap langit-langit kamar Darren yang berwarna abu-abu dan tampak nyaman. Darren ikut duduk di seberangnya. "Ngomong-ngomong, kau tidak obati lukamu?" Darren mengusap pipinya yang meninggalkan luka lebam. Beruntung hari ini tidak bekerja, dia tidak harus menutupi lukanya. "Semalam aku tidur, tidak sempat," jawabnya. "Mana kotak obatmu?" Amera menoleh ke arah laci di bawah televisi. "Biar kuobati." Amera menatapnya dengan kerutan di dahi. Dia berdiri tidak lama kemudian, lalu beranjak pergi ke laci di mana kotak obat itu ditaruh. Amera membawa kotak obat itu ke atas meja dan Darren melempar bokongnya ke sofa di samping Amera. Dia melirik Amera yang mengusapkan kapas bersih pada cairan antiseptik. "Lebammu harus hilang atau orang-orang akan berpikiran aneh," Amera menekan kapas itu ke pipi Darren. Pria itu menatapnya datar. "Kau datang untuk ini? Agar orang-orang tidak curiga padaku?" Amera hanya mengangkat bahu acuh. "Sudah, diam," Amera menarik tangan pria itu dan mendesis karena pria itu meringis. Dia menatap luka di pipi dan sudut Bibir Darren. Mengoleskan salep yang berbeda pada lukanya dan mencuci tangannya dengan tisu basah. Amera melirik jam digitalnya. Dia harus pergi untuk latihan sebelum Yuki menyemprotnya karena terlambat dan formasi mereka berubah. Atau Tara yang akan mengomelinya sepanjang hari karena tidak tepat waktu. "Oke, aku harus pergi," Amera membenarkan letak tas selempangnya dan berdiri. Dia melirik Darren yang masih duduk diam di sofanya. "Sampai nanti." Amera membuka pintu kamar Darren, belum menutupnya dan pria itu ada di ambang pintu, hampir membuat jantungnya lepas karena terkejut. Amera mengernyit tidak mengerti sampai Darren menunduk, menghadiahi ciuman singkat di Bibirnya lalu menutup pintu. Satu detik, dua detik, tiga detik. Oh, sial. Wajahnya terasa panas. "Apa-apaan itu?" Amera berteriak setelah menggedor pintu kamar Darren keras. Dia menghentakkan kakinya kasar dan segera berlari masuk ke dalam lift sebelum penghuni kamar lain keluar dan dia tertangkap basah di sini.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD