Chapter 3

4013 Words
Suasana restauran yang lenggang cukup membuat Amera dan yang lainnya merasa nyaman. Mereka menyewa tempat VIP untuk menikmati makan malam tanpa gangguan penggemar atau wartawan yang diam-diam memotret mereka di saat menikmati waktu luang. Yuki sibuk memotong lidah sapi untuk dipanggang. Aster mengaduk bumbu. Hana dan Chia pergi mengambil sayuran dan jamur untuk memasak sup setelah empat panci berisi bumbu berbeda sudah tersedia di atas meja mereka. Andara sibuk memanggang udang dan kerang. Nana mengaduk minuman dan Amera memakan daging panggangnya. "Di mana Tara?" Aster mengangkat kepalanya. Dia mengoleskan kecap asin ke lidah sapi yang siap dibakar. "Sakit kepalanya kambuh. Dia langsung pulang," jawab Aster pada Nana. Hana dan Chia datang. Mereka membawa berbagai jenis aneka sayuran dan makanan untuk ditambahkan ke bumbu supnya. "Kaldu sapi, kaldu ayam, tomyum, dan spicy," Hana duduk diikuti Chia. "Aku memesan lima sosis ayam dan kulit di tempat robatayaki." Amera mengangguk. Dia mencomot kerang yang seleAska dibakar dan memasukkannya ke dalam bumbu. "Apa kau memasukkan udang dan bakso ikan tuna?" Amera bertanya pada Hana yang mengangguk setelah memasukkan sayuran dan aneka ikan ke dalam panci yang belum mendidih. Andara melirik Amera setelah menyesap sodanya. "Bagaimana kabar pria itu?" Amera terdiam sesaat. Tatapan anak-anak lain mengarah padanya. Dia menggeleng dengan senyum tanpa dosa. "Apa? Kami baik-baik saja." "Kau bertukar nomor telepon?" Amera menggeleng. "Jika ada yang ingin dibicarakan, sebaiknya bertemu. Tidak sejauh itu," jawab Amera singkat. Dia melirik daging panggangnya di atas pemanggang. "Sudahlah, kenapa kalian menatapku seperti itu?" Hana menggeleng. Dia mengaduk supnya. "Tidak ada," dia melirik Andara "Apa Darren sama berbahayanya seperti Aska?" Andara melotot tak suka pada Hana dan Amera terkekeh. Andara tidak suka kalau ada orang lain membahas tentang masa lalu kekasihnya yang kelam. Aska terkenal karena berganti pasangan. Saat kabar kencan itu mencuat, Aska mendapat ancaman pembunuhan dari penggemar Andara kalau sampai pria itu menyakiti idolanya. "Dia sudah berubah," gerutu Andara. Amera makin terkekeh. "Jangan bahas masa lalunya!" Hana mengangkat tangannya. Menyerah. Dia menyikut Chia yang tertawa seraya memakan lidah sapi panggang yang sudah matang. "Dengar, Aska sudah berubah. Andara terlihat bahagia sekarang." "Diam," gumam Andara. "Sudah, sudah," Yuki menaruh lidah sapi yang sudah matang ke atas piring besar dan memasukkan daging domba juga ayam yang telah Amera bumbui kecap asin ke atas pemanggang. "Ayolah, Andara terlihat menderita di awal dia bersama pria itu," Nana bicara sembari mengunyah sate sosisnya. "Kurasa, ancaman Yuki pada pria itu berguna juga kita yang selalu berlaku kasar pada pria itu. Andara tidak lagi menderita." Hana terkekeh dan Amera menggelengkan kepalanya. Andara menggenggam garpunya dengan wajah merah padam. "Diam kalian." Nana makin terkekeh. "Baik, baik, aku diam." Andara memutar matanya. Dia memakan udang dan kerangnya dengan wajah cemberut. Ponsel Amera tiba-tiba berbunyi. Tanda pesan masuk dari seseorang. Dia melihat anggotanya sibuk dengan makanan dan obrolan masing-masing, jadi dia mengeluarkan ponselnya dan melihat siapa yang mengirimkannya pesan. 'Kau di mana?' Alis Amera tertekuk. 'Di rumah.' Belum sempat Amera menusuk udang panggangnya, pesan balasan masuk. 'Pembohong yang buruk. Kau di mana?' Alis Amera makin tertekuk sebal. Siapa yang mengirimkannya pesan? Tanpa nama. Hanya nomor saja. Yuki melihat kerutan di wajah Amera yang kesal. Dia menaruh gelas minumnya dan menatap Amera. "Amera, kau baik-baik saja?" Amera mengangkat kepalanya, mendapati atensi para anggotanya kini terarah padanya. "Uhm, ada pesan masuk yang aneh," balasnya. Amera melirik ponselnya. "Dari nomor yang tidak dikenal." Andara yang duduk di sampingnya melirik ponselnya. Dia tersenyum miring melihat isi pesan itu. "Darren Kato," ucap Andara santai. Dia memainkan sumpitnya ketika dia memakan sayuran dari panci sup yang panas. "Jelas sekali. Tanyakan saja darimana dia mendapatkan nomormu." Amera cemberut. Dia menghela napas dan mengangkat ponselnya sejajar dengan wajahnya. Tidak ada lagi yang bisa dia tutupi. 'Darimana kau dapat nomorku?' 'Kenapa lama membalasnya?' 'Aku akan memblokir nomormu. Selamat malam.' Amera mematikan ponselnya. Menjadikannya mati total setelah dia memasukkannya ke dalam tas mungilnya dan kembali sibuk bersama yang lain. Aster mengeluarkan kamera keluaran terbaru miliknya. Dia memasang kamera itu di depan meja dan menyetelnya dengan waktu sampai dia benar-benar siap dan mereka berfoto bersama. *** Aster melepas sabuk pengamannya. Dia melirik Hana yang memijit kepalanya dan Amera yang menarik rem tangan mobilnya. Aster pulang bersama Amera dan Hana karena rumah mereka satu arah. Mereka akan pulang ke rumah, tidak ke apartemen seperti biasa. "Kau kembali ke rumah atau apartemen?" Amera melirik Aster setelah dia mendorong kursi mobilnya lebih rendah. "Apartemen. Ada orang tuaku di rumah. Aku butuh istirahat." "Uhm, oke. Sejak kapan orang tuamu datang?" "Tadi pagi," Amera memijit kepalanya. "Mereka akan berkuasa di dalam rumah. Aku tidak akan merusak momen itu," Amera menepuk paha Hana yang tertidur pulas. "Bodoh, kau mau tetap di sini atau pulang ke rumahmu?" Hana mengusap matanya. Dia mengerang setelah meluruskan punggungnya. Dia menatap ke luar jendela dan tersenyum. "Oke, aku pulang," Hana mengalungkan tasnya. Dia meliha Aster bersiap-siap turun. "Rumahmu masih sepuluh menit lagi dari sini, berbahaya kalau kau ikut turun dan berjalan." Aster menggeleng. Dia merasa tidak enak dengan Amera. " Amera akan mengantarmu," Hana mendorong Aster untuk tetap diam. "Benar, kan, Amera?" Amera mengangguk. "Kupikir, Aster akan tidur bersamamu malam ini. Jadi aku biarkan dia bersiap-siap." Hana menggeleng. Dia membuka pintu mobil Amera dan mencubit pipi Amera. "Terima kasih, teman. Sampai bertemu besok!" Dan pintu mobil tertutup. Amera enghela napasnya. Dia memajukan sedikit kursi kemudi dan mulai memutar setirnya. " Amera, tentang Darren ..." Amera sampai di depan rumah mungil Aster. Ayah Aster seorang arsitek. Dia pintar membangun rumah yang nyaman untuk putri sulungnya. Amera senang berkunjung kemari untuk beristirahat karena rumah Aster yang nyaman dan dipenuhi tumbuhan hijau menyegarkan mata. "Kenapa?" "Jangan terlalu dekat dengannya. Walau kencan ini pura-pura, tapi tetap saja, aku takut terjadi sesuatu antara kalian berdua." Amera menoleh dengan alis terangkat. "Apa maksudmu?" "Seperti tidur bersama, mungkin?" Amera tertawa pelan. "Oh, ayolah, apa itu akan terjadi?" "Mungkin saja," Aster menatap kosong pada dashboard mobil. "Aku cukup mengenal sosoknya." Alis Amera bertaut. Dia tidak tahu fakta ini. Aster pintar menyimpan sesuatu dan Amera melupakan fakta ini. "Apa?" "Kaza," lirihnya. Amera semakin tidak mengerti. "Dia ... mantan kekasihku." "Apa?" Amera terbatuk. Dia mengusap wajahnya berulang kali. "Kau bercanda? Sejak kapan?" "Di awal-awal kita debut," balas Aster. Dia memalingkan wajahnya. "Aku tidak memberitahu anggota lainnya karena takut mengganggu karir yang sedang kita bangun." "Apa Tara tahu?" Aster menggeleng pelan. "Berapa lama?" "Empat tahun, mungkin?" Aster tersenyum lirih. "Aku sempat putus dengannya. Lalu, kembali bersama. Setelah itu, kami benar-benar seleAska." Amera menatap Aster. "Apa kau masih berhubungan dengan mantanmu?" Aster menggeleng pelan. Dia mengalungkan tas kecilnya dan menatap Amera. "Lain kali, kita harus berbicara berdua. Sekarang sudah larut, aku cemas padamu karena pulang larut. Apartemenmu cukup jauh dari rumah," Aster membuka pintu mobil. "Terima kasih, Amera." Amera mengangguk setelah dia melihat Aster masuk ke dalam rumahnya. Dia menghela napas panjang, kemudian membuangnya kasar sebelum memacu mobil mewahnya menembus jalan kompleks yang sepi dan pergi. *** Amera menatap pantulan dirinya sekali lagi di cermin. Dia akan pergi untuk berlari pagi sebentar sebelum mandi dan bergegas untuk latihan sebelum tur mereka dimulai. Amera meminum air dingin di dalam kulkas. Dan mengambil earpod yang ia selipkan di dalam saku jaketnya. Amera menarik napas, membuangnya dan membuka pintu apartemennya. "Astaga!" Amera mundur dua langkah ke belakang. Memegang dahinya yang terbentur sesuatu yang keras. Dia mengusap seraya mendesis, mendongakkan kepalanya dan terkejut melihat Darren Kato di depan matanya. "Sialan, apa-apaan kau?" Darren mengangkat sebungkus plastik di depan wajahnya. Membuat Amera mendengus ketika pria itu membenturkan boks makanan ke dahinya dan masuk begitu saja. Tanpa izin dan permisi tentunya. Amera menggeram, batal sudah acara lari paginya. "Aku ingin berolahraga, pulanglah," usir Amera sebal. Darren tampak acuh. Dia duduk di sofa dan bersandar. Menghirup aroma bunga lavender di dalam ruang tengah Amera. "Ini menyenangkan," gumam Darren. Dia memejamkan matanya. Tidak memedulikan Amera yang berkacak pinggang dengan wajah kesal padanya. "Ayolah," Amera mulai berujar lirih. Dia melihat Darren mengintip dari celah matanya yang terbuka dan menghela napas. "Aku ingin melihatmu." Pria sialan. Amera hanya mengangkat alisnya tidak mengerti. Darren berdiri di depannya. Tubuh pria itu lebih tinggi darinya. Dan Amera hanya sebatas bahunya. "Semalam aku tahu kau sedang bersama anggotamu dan berbohong kalau kau ada di rumah," Darren memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celananya. "Aku belikan sarapan. Hitung-hitung kita impas." Darren berjalan melalui Amera yang membeku. Dia melirik Amera yang menggelengkan kepalanya dan berlari kecil menyusulnya. Amera menarik tangannya, menatap wajahnya lekat-lekat. "Oke, lukamu sudah membaik," dia melepas tangan Darren dan terdiam. "Pulanglah." "Aku memang tamu yang tidak diinginkan, aku tahu diri," setelah mengucapkan kalimat itu, Darren berjalan keluar pintu dan membanting pintu itu sedikit keras. Membuat Amera terlonjak dan dia memegang dadanya, berusaha sabar. Amera menoleh, menatap bungkusan makanan yang Darren belikan untuknya. Dia mendekat, melihat sarapan apa yang Darren belikan untuknya. Itu hanya seporsi dimsum isi kepiting dan cumi-cumi. Pangsit rebus dan goreng. Juga sup kental jagung manis yang masih panas. Amera menghela napasnya, tiba-tiba merasa lapar dan dia membanting earpod miliknya kasar ke atas sofa. Mulai duduk di kursi bar, dan memakan sarapannya dalam diam. *** "Terima kasih, sayang!" Amera menoleh melihat Andara yang melambaikan tangannya pada seseorang di dalam mobil. Amera mengintip sedikit setelah mendongakkan kepalanya, dia melihat sosok Aska yang kini tidak lagi terlihat karena pria itu segera pergi dari pintu depan agensi. "Apa?" Andara menghampirinya dengan wajah cemberut. "Kau kenapa pagi-pagi begitu?" Amera meledeknya. "Karena aku memergokimu bersama kekasihmu?" Andara makin cemberut. "Diam." Amera tertawa. "Lain kali kau memang perlu mengajak Aska untuk makan malam bersama anggota lain," Amera dan Andara berjalan bersama memasuki lobi gedung agensi. "Yah, kau dan dia sudah berjalan selama satu tahun lebih. Aku rasa lebih baik kau benar-benar mengenalkannya pada kami." "Kau gila?" Andara mendesis. Dia menekan tombol lift dan Amera hanya menyeringai menang. "Yuki akan membunuhnya. Kau lupa apa yang dilakukan Yuki waktu lalu? Aska mana mungkin mau bertemu dengannya." Amera terkikik geli. "Yang dilakukan Yuki untuk kebaikanmu juga," Amera masuk ke dalam lift dan bersandar. Dia melirik Andara. "Lihatlah, dia berubah. Dia tidak lagi menjadi Aska b******k yang kukenal." Andara mengulum senyumnya. "Hmm, kau benar. Aku berkali-kali berterima kasih pada Yuki. Dia bilang kapan saja selama aku membutuhkannya." Amera hanya diam. Andara meliriknya sekilas. "Kau juga bisa bercerita dengannya kalau Darren menyakitimu." Amera terdiam sesaat. "Kurasa, itu tidak perlu," jawabnya pelan. Andara menoleh ke arahnya. Bertanya kenapa Amera terlihat santai dan tiba-tiba wanita itu tertawa. "Aku bisa menghajar pria itu dengan tanganku sendiri." Pintu lift terbuka. Amera ke luar lebih dulu dan Andara tertawa renyah di belakangnya. Menggandeng tangan Amera masuk ke dalam ruang latihan. "Selamat pagi, duniaaa!" Andara menyapa dengan histeris dan Chia memutar matanya saat dia menghampiri Amera dan memberikannya segelas lemon dingin. "Minumlah, Amera." "Aww, terima kasih manis," Amera mengedipkan matanya dan Chia tersenyum. Dia menghampiri Andara, memberikan segelas lemon dingin untuk wanita itu. "Untuk dirimu." "Terima kasih, sayang," godanya. Dia mengangkat lemon dinginnya dan menatap Chia. "Kau terlihat punya pagi yang buruk, Chia?" Chia menggeleng dan dia duduk di sofa. Yuki yang bersiap-siap melirik Andara yang kini menaruh tasnya di loker. "Ibunya sakit, dia ingin absen hari ini. Tetapi, Kensho melarangnya." "Pria m***m itu," umpat Andara. Dia mendekati Chia dan memeluk bahunya. "Apa asma ibumu kambuh?" Chia mengangguk. "Sejak semalam. Dia ada di rumah sakit bersama ayah. Aku ingin melihatnya." "Kau mengizinkannya pergi?" Amera bertanya pada Yuki yang melihatnya dari cermin besar di depan. "Tentu saja, bodoh," Yuki menoleh. Dia menatap Chia. "Bagaimana aku bisa menahannya tetap di sini saat ibunya membutuhkannya?" Amera mengangguk kecil. Dia menaruh tas selempangnya ke dalam loker dan mendekati Chia. Aster dan Hana masuk ke dalam ruangan. Diikuti Nana dan Tara yang menyusul di belakang.  "Kau boleh pulang, Chia," Tara mengambil tas milik Chia dan memakaikannya pada gadis itu. "Jangan menangis. Aku sudah meminta izin pada Kensho. Kau tidak perlu cemas." "Maafkan aku," ucap Chia menahan isakannya. "Ayolah," Amera mendekat ke arahnya. Memeluk Chia setelah merapikan rambut gadis itu dan tersenyum. "Kami tidak apa-apa. Aku harap ibumu cepat sehat." "Kami menunggumu," ucap Aster setelah dia tersenyum dan memberikan kunci mobil Chia. "Hati-hati saat kau mengemudi." Chia mengangguk. Dia mengucapkan salam dan berlalu pergi setelah menutup pintu. Tara menatap anak buahnya setelah kepergian Chia. Melihat mereka bersiap-siap latihan. "Ayo, cepat. Tur kalian dimulai dua hari dari sekarang." *** "Paman!" Darren menoleh ke belakang punggungnya, mendapati malaikat kecilnya berlari dengan senyum cerah. Memeluk kakinya dengan gemas. "Hani," pekik Kaza girang. Hani berlari ke arah pria berambut pirang itu. Memeluknya dan Kaza balas menggendongnya dengan sayang. Andari datang di belakangnya. Dia menatap Darren dengan sinis lalu kembali pada Kaza. "Hani ingin salad sayur, Kaza." "Benarkah?" Kaza menatap Hani dan gadis mungil itu mengangguk. "Baiklah, ayo, biar Paman antar ke kantin." Darren menatap keduanya dengan wajah datar. Dia melirik Andari dan berjalan acuh mengabaikan kakak iparnya itu. "Hei, Darren," Andari mengikutinya seperti anak anjing dan Darren masih tidak peduli. Sampai wanita itu masuk ke dalam lift dan berdiri di samping Darren. Darren meliriknya, dan tidak lagi peduli. Pintu lift terbuka. Darren pergi setelah sekretarisnya, Megane, menyapanya ramah juga Andari yang tersenyum pada Megane. Darren masuk ke dalam ruangan diikuti Andari. "Berhenti mengikutiku, kakak ipar," sungut Darren sebal. "Kau seperti anak anjing. Kau tahu?" "Diam kau!" Bentak Andari tidak terima. "Aku punya masalah di sini." "Kau punya seseorang yang bisa kau ajak bicara," jawab Darren singkat. Dia duduk di kursinya, menatap Andari. "Kemana suamimu?" "Kakakmu ada urusan," balas Andari. "Yuta adalah pria berpikiran positif. Tidakkah dia pernah berpikir aku dan kau bermain di belakangnya?" Andari menyeringai. "Heh, aku tidak berselera dengan pria sombong macam sepertimu." Darren tersenyum miring. Berbahaya. "Jangan macam-macam, aku jauh lebih hebat dari suamimu kalau kau ingin tahu." Andari memutar matanya. Dia duduk di hapadan Darren. "Aku punya masalah. Yuta membantuku, tetapi lawanku kali ini tidak mudah." "Apa yang terjadi?" "Kau mengenal Tuan Kara? Dia berniat menghancurkanku dengan berita palsu. Aku memang pernah membohonginya karena dia berniat menipuku, aku tidak tahu kalau itu dijadikan alasan untuk menjebakku." Darren mengangkat alisnya. "Lalu?" "Dia menyewa pengacara muda itu, Arata." Darren tidak asing dengan namanya. "Lalu?" "Kami sidang minggu depan. Menurutmu, bagaimana?" "Apa laporannya sudah sampai ke polisi?" Andari mengangguk. Wajahnya terlihat gelisah. "Aku sudah menceritakan segalanya pada Yuta dan dia dengan senang hati membelaku. Hanya saja kau tahu? Arata bukan pengacara sembarangan, Darren." "Aku akan coba hubungi kenalanku yang lain untuk mencari celah," Darren mencoba menenangkan Andari yang bingung. Tidak biasanya wanita itu terlihat kacau. Yuta pasti akan berusaha untuk membela istrinya. Darren yakin. "Sejujurnya, aku tidak begitu mengenal Arata," ucap Darren tenang. "Tetapi, Yuta pasti tahu dengan baik siapa pria itu dan kini kalian berhadapan dengannya." "Jika aku membayar kerugian itu bukan masalah," lirih Andari. "Aku tidak mau dia menghancurkan karir dan reputasi yang sudah kubangun sejauh ini." Pintu terbuka lebar. Darren melirik siapa yang kini masuk ke dalam ruangannya. Dia menghela napas ketika Hani berlari dan meminta ibunya untuk duduk di pangkuannya. Kaza ikut duduk di samping Andari, menatap wanita itu dengan dahi mengernyit. "Terjadi sesuatu?" Andari mengusap rambut hitam putrinya dengan sayang. " Darren bisa menceritakannya padamu," Andari menatap Yuki lalu pada Darren. "Aku minta tolong pada kalian." "Kita pulang, ya?" Andari menggendong Hani yang mengangguk di pelukannya. Hani melambaikan tangannya pada Kaza dan Darren. Lalu, pergi bersama ibunya ke luar ruangan. "Apa yang terjadi?" Darren menceritakan segalanya. *** Amera mendorong trolinya masuk ke dalam kedai kopi. Tidak terlalu banyak memang. Tapi bahan-bahan untuk camilan malamnya sudah siap. Dia tidak bisa tidur tanpa camilan malamnya. Walaupun Tara akan marah dan memakinya karena Amera bisa saja bertambah gendut, Amera tidak peduli. Dia mencintai dirinya sendiri. Dia duduk di salah satu kursi yang kosong. Menunggu sampai kopinya seleAska. Matanya melirik bosan ke seisi ruangan kedai bandara yang sepi. "Menunggu seseorang?" Amera menoleh. Dia terkejut melihat sosok Arata menarik kursi di depannya yang kosong dengan senyum samar. Amera berdeham, dia memegang pipinya yang terasa panas. "Uhm, tidak, aku menunggu kopiku." Arata mengangguk singkat. Pria itu memakai pakaian santai. Dengan baju panjang hitam dan celana jins. Ditambah mantel biru tua dan rambutnya acak-acakkan. Bagaimana bisa Amera melewatkan pesona pria ini? " Amera, bagaimana kabarmu?" "Aku baik," Amera tersenyum. Mencoba rileks. "Kau?" "Seperti yang kau lihat," Arata menjawab santai. Sesuatu yang Amera sukai dari pria itu. "Sudah lama sekali kita tidak bertemu," Arata melirik Amera. "Tapi aku sering melihatmu di televisi." "Oh, sebegitu terkenalnya aku?" Amera tertawa pelan. Arata tidak bisa menyembunyikan senyumnya. "Kau yang terbaik," pria itu berdiri setelah kopi susunya seleAska. "Aku punya penerbangan malam. Kurasa, kau juga. Senang berbicara denganmu." Amera mengangguk dengan senyum tipis. "Senang juga melihatmu lagi." Arata berlalu pergi setelahnya. Amera memandang kepergian pria itu dengan helaan napas panjang. Kenapa terlalu singkat? Dia bisa saja berbicara dengan Arata di sini. Ah, menyebalkan. "Nona Amera?" "Ah, iya," Amera tersentak. Dia tertawa kecil menyadari kalau barista wanita itu sudah memanggil namanya berulang kali. Amera membayar kopinya dan pergi setelah mendorong trolinya. Melihat salah satu staf agensi berlari kecil menghampirinya dan membawakan barang belanjaannya ke dalam tas besar. *** "Hotel dan segala macamnya sudah seleAska. Penerbanganmu setengah jam dari sekarang." Kaza menyerahkan dokumen pada Darren. Pria itu mengambil dokumen dari tangan Kaza dan memasukkannya ke dalam tas. Darren membuka kemejanya hingga dia bertelanjang d**a dan mencari kemeja lain di dalam lemari besar di ruang kerjanya. Kaza menatapnya dengan kerutan dahi. Dia tidak ikut pergi dengan Darren karena dia mengurus semuanya di sini. Darren memiliki kepentingan lain untuk menembak proyek berskala besar di Singapura. Pria itu harus pergi selama dua hari. Dan Kaza akan mengurus segalanya dari sini. "Kau sudah mengabari Amera tentang pekerjaanmu?" Darren mengganti pakaiannya dengan kemeja putih dan melirik Kaza dari cermin besar. "Kenapa harus?" "Dia kekasihmu," lirih Kaza. "Kekasih kontrak, maksudmu?" Darren mengancingkan kemejanya asal-asalan dan mengacak rambutnya. Dia menatap pantulan dirinya sekali lagi dan menoleh pada Kaza. "Pekerjaanku sama sekali bukan urusannya." "Apa wartawan itu masih mengikuti kalian?" Darren mengambil soda dari kulkasnya dan mengangguk. "Mereka menyeramkan. Seperti the black woman yang mengintai untuk dibunuh." Kaza tertawa pelan. "Kau tahu resikonya berkencan dengan seorang selebritis." Darren menyeringai pada Kaza setelah melempar soda lain untuk pria jabrik itu. "Kau teringat dengan perempuan itu?" Wajah Kaza mengeras. "Diam, brengsek." Darren mengangkat tangannya. Pertanda menyerah. Kaza membuka penutup sodanya. Dia melirik Darren yang sibuk menatap ponselnya. Darren menghela napas. Antara dia harus menghubungi Amera atau tidak dan dia memilih untuk tidak memedulikannya. Matanya melirik Kaza yang sibuk menghabiskan sodanya. Haruskah dia bicara tentang Amera yang mengetahui hobi kasarnya? Haruskah dia bercerita kalau Amera tahu tentang sisi gelapnya? Darren memilih untuk tetap diam. "Cepat, mobil sudah menunggu." Kaza turun dari kursinya. Dia melempar kaleng soda itu ke tempat sampah dan membuka pintu. Darren mengambil tasnya dan pergi keluar menyusul Kaza yang lebih dulu pergi ke lobi. *** "Satu gelas anggur lagi, sialan!" Andara mulai mabuk. Wajahnya memerah sempurna dan mulutnya mulai meracau yang tidak jelas. Dia menegak anggurnya dan menuangkannya ke dalam gelas Amera yang terbaring lemas di atas sofa karena mabuk. "Sudah kubilang, Amera tidak bisa berteman dengan alkohol terlalu lama," gumam Yuki menatap Amera yang sudah lemas karena anggur. "Aku tidak tahu apa yang membuatnya seperti ini," ucap Aster. Dia melirik Hana yang sibuk dengan jus jeruknya dan menonton televisi di bar yang sepi ini. Chia akan datang bersama Nana menyusul mereka ke Singapura untuk pembukaan tur pertama mereka di Asia. "Darren?" Tebak Yuki. Dia melirik Tara yang meliriknya dan mengangkat bahu. "Aku tidak tahu sama sekali." "Tur kalian dimulai besok," Tara memperingati anggota Skyfall. "Chia dan Nana dalam perjalanan. Satu jam lagi mereka sampai. Aku akan menyuruh supir membawa Amera dan Andara ke hotel. Kalian istirahatlah!" Tara mengambil tasnya dan berbicara pada staf yang bertugas bersama mereka dalam tur kali ini. Mereka setuju. Hotel mereka sama. Hanya berbeda kamar saja. Amera berjalan lunglai dibantu Tara dan Andara yang dibantu Aster. Yuki membawa Hana pergi ke mobil dan kembali ke hotel.  "Aku bisa jalan sendiri," racau Amera melepas pegangan Tara ketika mereka sampai di lorong hotel yang sepi. Tara berdecak. Dia menatap Amera yang memijit kepalanya dan mendengus. Langkahnya terhenti ketika melihat Darren Kato mematung di depannya, dengan wajah yang sedikit lebam dan menatap mereka berdua dengan tatapan tajam. “Darren?” Tara terbatuk. Dia membantu Amera berdiri. Amera meringis ketika dia bersandar pada dinding lorong yang sepi. Tara memegang tangannya ketika Darren mendekat. "Kebetulan, heh?" Dia melirik Amera yang memejamkan matanya. "Di mana kamarnya?" Tara menunjuk pintu cokelat di sampingnya. "Ini kamarnya." "Dan kamarmu?" Tara menunjuk kamar di sebelah Amera. "Tingggalkan kami," titah Darren. Tara mengerutkan dahinya. Dia menatap Amera dan tidak bisa meninggalkan anggotanya sendiri dalam keadaan mabuk seperti ini. "Aku tidak bisa," balas Tara. "Biar aku yang mengurusnya. Aku harus bicara dengannya," jelas Darren. Tara menghela napasnya. Dia memegang lengan Amera dan mengangguk kecil. "Baiklah, tolong urus dia." Tara menatap Amera setelah dia membuka gagang pintu. Masih diam di sana karena Darren tidak lakukan apa pun untuk Amera. "Sialan, Tara, jangan tinggalkan aku," geram Amera. Wanita itu mulai berdiri, mengusap matanya yang memburam. Seketika, netra hijau menenangkan itu membulat tak percaya melihat sosok yang menjulang di depannya. Amera kembali memegang kepalanya dan teringat ucapan Aster. Run as fast as you can! Mata Darren yang gelap menatapnya dingin tak terbaca. Amera mulai goyah. Dia tidak bisa menopang dirinya sendiri. Dia membenturkan pelan dahinya ke dinding dan coba menatap Darren sekali lagi. Alisnya tertekuk melihat luka lebam samar di pipi pria itu. "Jangan katakan kau ..." Darren menarik tangannya sebelum Amera bisa melanjutkan ucapannya. Amera menahan napasnya ketika Darren menutup pintu kamar hotelnya. "Pergi ke kanarmu sendiri!" Amera berteriak ketika dia duduk di tepi ranjang dan Darren mengikutinya. "Kenapa kau mabuk?" Amera diam. Dia menarik napas. Kepalanya terasa pusing. Benar-benar pusing. "Jawab aku!" Amera mendesaknya. "Pesta sebelum tur," jawab Amera pelan. "Kau tur di sini? Singapura?" "Pembukaan tur Asia pertama kami," Amera menatap Darren. Dia melihat lebam itu. Matanya memburam karena efek alkohol. Amera benar-benar tidak sanggup lagi. "Obati lukamu sendiri," perintah Amera menunjuk kotak obat yang tersedia di dalam kamar mandi kamar hotelnya. "Obatnya di sana." Darren diam tidak bergerak dari tempat tidurnya. Amera berdecak. Dia menyentuh pria itu tepat di lukanya, membuat Darren mendesis. Amera menahan tangannya tetap di sana, menyipitkan matanya menatap luka itu. Kenapa Darren terluka? "Kenapa?" Darren diam. "Kenapa kau terluka?" Amera merasa dirinya tidak lagi waras dan benar-benar dibawah pengaruh alkohol yang hebat. Dia mendekatkan wajahnya, mengusap luka itu dengan usapan ringan. "Bagaimana kau tahu ini aku?" Darren berbisik rendah saat Amera mendekatkan wajahnya. "Aromamu," lirihnya. Amera mendengus pelan. Merasakan aroma maskulin Darren yang begitu menusuk indra penciumannya. Membuat Amera kembali pusing. "Aromamu benar-benar menyakitkan," bisik Amera pelan ketika dia mendaratkan kecupan panas di luka itu dan Darren menahan napasnya. Dia memegang tangan Amera yang menghentikan ciumannya di sudut Bibirnya. Amera tersenyum miring, menatap Darren dengan mata sayu yang tidak fokus. "Kau tidak menyukainya?" Seharusnya, Amera tidak minum alkohol untuk pesta mereka. Seharusnya, Amera tidak mabuk. Seharusnya, seharusnya. Terlalu banyak kata seharusnya sampai dia tahu kalau dia sudah bermain-main dengan api dan dia akan terbakar nanti. Darren menarik wajahnya, mendaratkan kecupan-kecupan panas di sepanjang Bibirnya yang terkatup rapat. Amera menahan napasnya, aroma Darren menusuk hidungnya dan terasa sesak di dadanya. Amera membuka mulutnya, hendak mengucap sesuatu tetapi Darren memanfaatkannya. Memanfaatkan kelengahannya dengan menciumnya semakin dalam. Melumat Bibirnya sampai tak bersisa. Membuat Amera kebas karena ciuman tak biasa Darren. Menuntut dan ingin dipuaskan. Amera mendesah dalam ciumannya. Dia mendorong tubuh Darren dan mencari oksigen untuk dihirup sebanyak-banyaknya. Darren mengusap Bibirnya sendiri sebelum akhirnya pria itu menyeringai. Dia mengusap Bibir Amera yang basah karena ciuman mereka. Mendekatkan kembali wajahnya, dan mencium wanita itu dengan pelan dan lembut. Amera terbaring di atas ranjang dengan Darren yang mendorongnya pelan. Merangkak naik ke atasnya. Membuat aliran darah Amera berdesir cepat dan terasa panas. Dia tidak—tidak seharusnya. Amera menggeleng ketika Darren menciumnya di sepanjang pipi dan rahangnya. Darren menaikkan tangannya, menggenggam tangan Amera erat. Menyatukan sela-sela jari mereka yang bercelah. "Darren?" Darren mengabaikannya. Dia menatap dalam-dalam wajah memerah yang tersengal dan bermata sayu. Darren tahu, Amera mabuk berat dan wanita itu berusaha mencari kesadarannya sendiri. "Diam dan nikmati." Setelah mengucapkan kalimat ambigunya, Darren kembali menciumnya. Di Bibir. Tepat di Bibirnya yang panas. Amera kembali memejamkan matanya, merasakan lumatan dan ciuman itu semakin kasar dan dia mulai melayang. Terbang tinggi sekali sampai tubuhnya lemah dan dia siap jatuh.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD