Chapter 4

3242 Words
Amera terperanjat. Menyadari Darren yang telanjang d**a dan gaun malamnya yang tersingkap hampir terlepas dari separuh tubuhnya. Dia mendorong Darren agak keras, membuat pria itu terjungkal ke belakang dengan tidak elit, Darren menggeram. Amera merapikan bajunya, tampak kacau. "Aku pikir aku baru saja terkena efek gempa yang sangat dahsyat," Amera merapikan rambutnya dan dia mulai merasa frustrasi, melirik Darren takut-takut dan pria itu masih bertelanjang d**a. Masih. "Pakai kemejamu, bodoh!" Amera masih pusing. Efek alkohol masih berputar-putar di dalam kepalanya. Dia tidak bisa fokus menatap sesuatu dengan baik dan napasnya berat. Dia yakin ini karena alkohol, bukan karena aroma Darren yang membuat hidungnya sulit bernapas. Darren menatapnya. Tajam dan dingin. Wajahnya terlihat lebih mengerikan. Sembilan puluh persen gelap dan menyeramkan. Amera kembali meliriknya, merasa waspada. "Secepat itu kau sadar dari alkohol?" Darren tak percaya, suaranya berkata demikian. Dia masih tidak mengerti mengapa Amera mengacaukan segalanya di saat dia hampir saja bisa menikmati malam yang panas bersamanya. "Aku tersadar karenamu," Amera memegang kepalanya. Memasang wajah meringis. "Kau gila? Kita bisa saja melakukan hubungan terlarang!" Alis Darren tertekuk. "Hubungan terlarang?" Dia mendengus, geli. "Kau dan aku sepasang kekasih, Amera," menekankan kata saat dia mengucap nama Amera dan memberikan senyum miring yang menawan. "Tidak ada hubungan terlarang. Kalau aku menginginkanmu, ya turuti." "Aku bukan pembantumu, bodoh!" Amera memaki, lebih tinggi dari sebelumnya. Nada suaranya terdengar membentak. "Kita kekasih kontrak. Kau dan aku," dia kembali berbaring. Berusaha mengabaikan tatapan kelam Darren yang jatuh pada d**a naik turunnya dan paha bersihnya. "Keluar." "Tidak." "Keluar." "Jangan mengusirku," Amera memejamkan matanya. Memijit kepalanya. "Baiklah, sayangku, silakan undur diri sekarang, aku butuh tidur," Amera mengedipkan matanya manja, dia mendengus saat Darren menyeringai dan berdiri, memasang kemejanya. "Aku suka saat kau memohon seperti itu," godanya. Amera memejamkan matanya lagi, berusaha tidak terpancing dengan mulut madunya. Darren mengancingkan kemejanya asal-asalan, tidak peduli dengan wajah memarnya karena dia baru saja menghajar seseorang yang berniat menghancurkan karirnya, melihat Amera yang terbaring, membuat dia b*******h. Tapi, dia tidak akan melakukannya. Tidak untuk sekarang, pikirnya. "Lain kali, ucapkan sesuatu yang manis seperti itu padaku, cantik," Darren menunduk, meniup kecil telinga kanan Amera dan dia melihat pipi gadis itu merona. "Selamat malam." Amera kembali berdiri tegak, mengambil jasnya yang tergeletak dan pergi. Meninggalkan Amera yang terduduk, menjambak rambutnya frustrasi setelah menjerit keras. *** Chia sudah tiba. Dia memakan sarapannya pagi ini lebih bersemangat. Amera meliriknya diam-diam dan tersenyum. Sepertinya kondisi ibunya sudah membaik, suasana hati Chia kembali cerah. Yuki mengusap sudut Bibirnya dan memainkan ponselnya. Dia tidak sengaja melihat Andara yang hanya memutar-mutar garpunya tanpa mau menyentuh pasta saus kejunya. "Apa yang terjadi?” Andara melirik Yuki, menaruh garpunya dan meminum air hangat dari gelas. Tara yang sibuk mengunyah daging ayam lunak ikut menatap Andara, menunggu anak buahnya berbicara. "Aska, si b******k itu," Amera mendengus. Seperti biasa, Andara selalu kacau jika ini berhubungan dengan Aska, kekasih yang Andara harapkan menjadi cinta terakhir di hidupnya. Amera bosan mendengar jika Andara sudah menjadi b***k cinta pria berwajah polos tapi sangat menyebalkan itu. "Apa yang terjadi?" Hana bertanya, dia mengunyah brokoli panggang dengan lirikan malas saat Andara mendesah panjang. "Hari yang buruk, jangan memaksanya untuk bicara," Aster menengahi mereka. Hana menggumam kecil, melanjutkan sarapannya dan Yuki bangun dari kursi. Mengambil donat dan air putih dingin. "Jangan memakan gula-gula terlalu banyak, Yuki," tegur Tara. Yuki menoleh dengan seringai, dia melempar Tara dengan soda bekas dan Tara meringis. "Aku memperingatimu!" Tara melambaikan tangannya. Tidak peduli. "Dia menyebalkan, sama seperti mantan kekasihnya," ucap Nana. Dia sibuk mengunyah bolu kukus dan menatap Yuki. "KAndara, pemimpin intel itu?" "Jangan sebut namanya," Yuki datang bagai kilat, berdiri mengerikan di belakang Nana dan sedikit menjambak cepol gadis itu. Nana mengaduh, memukul lengan Yuki. "Kenapa kalau aku menyebut namanya?" Nana meringis. "Dia masa lalumu," Nana masih tidak terima. Dia melirik Amera yang sibuk dengan pastanya. "Amera pernah bilang, kau dan KAndara berkencan diam-diam di sebuah kafe dan kalian menonton pertandingan baseball!" Yuki menatap Amera garang. Dan Amera tidak peduli, dia tetap melanjutkan sarapannya. "Ngomong-ngomong, Amera, apa Darren membawamu ke tempat tidur dan meninggalkanmu mabuk? Atau dia melakukan hal lain?" Tara berbicara, menatap Amera lekat-lekat. Amera terbatuk, dia memukul dadanya cukup keras dan Andara membantunya menuangkan air baru ke dalam gelas Amera yang kosong. Amera mendelik pada Tara, memberikan tatapan kesalnya dan Tara hanya tersenyum. "Dia hanya mengantarku," Amera menjawab singkat. "Tidak lebih?" Ayolah, anggotanya mulai menyebalkan. "Tidak ada." "Aku tidak yakin," Andara berbicara, sedikit lebih antusias dibanding sebelumnya. "Sungguh, kami tidak lakukan apa pun," Amera memandang Tara, menuduh dan mengintimidasi. "Kau lihat sendiri, bukan, Darren terluka. Dan dia tidak akan macam-macam!" "Pria itu terluka?" Amera mengangguk. "Dia terlibat perkelahian dengan koleganya, mungkin? Aku mabuk dan aku tertidur begitu dia mengantarku sampai ke kamar. Aku tidak tahu apa-apa." "Ah, kasihan sekali," Aster mengiba, dia menatap Amera kemudian kembali pada pasta saus kejunya. Amera mendesah panjang. Dia berdiri dari kursinya setelah menyeleAskakan sarapan dan pamit untuk berolahraga sebentar di kamarnya. Mereka punya jadwal untuk mengecek lokasi panggung hari ini. Melakukan beberapa pemanasan sebelum tampil maksimal di tur pembuka pertama setelah beberapa tahun tidak melakukan tur besar. Anggota lainnya memilih untuk pergi ke ruang pijat dan spa. Menikmati hari sebelum penampilan sesungguhnya di mulai. Ini penting untuk membuat otot-otot mereka kembali rileks dan santai karena sudah lama tidak berada di panggung besar seperti ini. Amera berjalan santai, menyusuri koridor di mana banyak penghuni kamar hotel duduk untuk sarapan dan menikmati hidangan yang disediakan koki untuk mereka. Berbagai macam hidangan ada, dan mereka bebas memilih mana yang mereka mau dan berapa banyak yang mereka butuhkan untuk asupan tenaga sebelum beraktivitas. Amera mendesah, merenggangkan otot tangannya dan menarik napas panjang. Dia merapikan ikatan rambut sanggulnya dan pergi menuju lift. Pintu lift terbuka. Amera masuk dan tangannya tertahan sebelum dia memencet tombol untuk membawanya naik ke lantai atas, kamarnya. Dia menatap sosok pria yang masuk dengan senyum tipisnya, menggantikan tangan Amera dengan memencet tombol lain. Pintu lift tertutup sempurna kemudian. Amera berdeham. "Selamat pagi." Alis pria itu tertekuk, dia melirik Amera dan bersandar pada dinding lift yang dingin. "Selamat pagi." "Menikmati sarapanmu?" Darren Kato meliriknya. Menatap Amera dari atas sampai bawah dan mengangguk samar. Amera tidak tahu kalau Darren bisa semenggoda ini dengan kaus putih polosnya dan celana panjang santai ketika dia keluar dari kamarnya dan turun untuk menikmati sarapan. Darren di pagi hari benar-benar memanjakan matanya, dan Amera tidak mampu menutupi ketakjubannya atas Darren yang menawan dan maskulin. "Senang melihatnya," Darren tersenyum, lebih mirip seperti sebuah seringai miring. Kepalanya miring ke sisi sebelah kiri, menatap Amera dengan tatapan liar. "Tatapanmu, membuatku berpikiran lain." "Apa?" Amera berbisik, merasa bodoh karena lift mereka sudah berbunyi sejak tadi dan dia melamun, memikirkan banyak hal yang bisa dia lakukan dengan Darren Kato dan tubuh kokohnya. "Semoga pertunjukannya sukses." Belum sempat Amera menoleh, pintu lift sudah tertutup. Amera menghela napas, tidak tahu kemana Darren akan pergi karena seingatnya, kamarnya tidak jauh darinya. Atau dia lupa? Ah, sudahlah. *** "Ini menyenangkan ketika kau melihat penggemarmu lagi." Aster mengusap keringat di pelipis dan dagunya dengan handuk kecil. Tara sedang berbicara dengan beberapa staff terkait keperluan artis dan beberapa hal yang dibutuhkan agar pertunjukkan berjalan lancar. Yuki menatap kursi penonton yang terbentang jauh di depan sana. Senyumnya melebar. Dia merasa seperti kembali hidup karena bisa menampilkan yang terbaik setelah bertahun-tahun memilih untuk istirahat dari tur yang melelahkan. "Sebenarnya, aku sedikit gugup," Amera menoleh setelah menaruh botol air dinginnya di atas meja dan menatap Chia. Dia memegang mic dengan tangan gemetar dan wajahnya berkeringat. Bibirnya terlihat pucat. "Jangan cemas, semua baik-baik saja," Amera menepuk bahu Chia, bermaksud menenangkannya saat Hana mengetes suara indahnya dengan mic yang ia pegang. "Kemari, Chia, kita harus berlatih. Tur dimulai tiga jam dari sekarang." Chia mendekat pada Hana. Mereka berlatih vokal bersama. Amera menatap panggung dengan tangan berkacak pinggang, merasa bangga karena dia sudah kembali. Menyapa penggemarnya dengan lagu yang lebih bagus bersama anggota timnya. Andara berlatih menari. Beberapa kali dia terlihat hampir terjatuh atau terjungkal karena terlalu bersemangat. Amera terkekeh, menghampiri Andara dan mereka menari bersama. Tara turun dari panggung. Dia sangat sibuk mengecek seluruh kelengkapan panggung untuk meminimalisir kecelakaan yang terjadi jika sesuatu di luar dugaan muncul. Lampu-lampu tampak berkedip indah, beberapa kembang api kecil dari sisi panggung juga sempurna. Kolaborasi warna-warna yang menjadi ciri khas mereka terlihat apik dan dan tertata. Tara tersenyum puas. "Ayo, ayo, cepat, kalian harus merubah formasi. Kalian harus melakukan tarian pembuka sebelum konser dimulai." *** Mereka sukses menggelar tur pertama pembuka bertajuk Skyfall in Wonderland Tour. Amera tersenyum ketika dia duduk, mengusap keringat dengan handuk lembut dan menyapa para staff dengan ramah ketika mereka menegurnya saat bertemu. Para promotor mengucapkan terima kasih dengan datang ke ruangan mereka. Memberikan senyum puas karena mereka telah berhasil memberikan penampilan yang terbaik selama tiga jam penuh dan penonton kembali dengan puas. "Tolong, jadikan negara kami masuk dalam daftar tur kalian selanjutnya," salah satu promotor berbicara santai, dengan sopan mengangkat kaleng sodanya dan Tara tertawa pelan. "Akan kupertimbangkan bersama anggota lainnya," Tara mengangguk setelah promotor pamit undur diri. Membereskan beberapa sisa tur yang seleAska setelah mereka menerima pemasukan yang sudah disepakati sebelumnya. Yuki menghempaskan punggungnya ke atas sofa. Memperhatikan ponselnya dan memasukkannya ke dalam tas dan terkejut saat Hana melempar bokongnya di samping Yuki, memeluk kaki rampingnya. "Aku lelah, tapi ini menyenangkan." Aster mengangguk. Dia merapikan pakaian gantinya dan memasukkan ke dalam koper. Membantu staff merapikan ruangan. "Hongkong adalah negara selanjutnya, kuharap kita bisa terus menampilkan pertunjukan yang sempurna." "Kau benar!" Dan hari itu diakhiri dengan mereka yang bercanda bersama sampai tiba di hotel untuk beristirahat sebelum besok siang kembali ke Jepang. *** Amera menatap televisi plasmanya. Tertawa geli dan terkadang terkikik ketika komedi berbahasa inggris itu mengocok perutnya dengan lawakan konyol mereka. Kentang goreng di piring sudah hampir habis. Amera menyedot jus jeruk dari gelas hingga habis dan berniat mengambil botol jus jeruk kemasan di dalam kulkas. Pintunya terketuk, Amera mengangkat alisnya, menerka-nerka siapa yang datang ke kamarnya sebelum jam makan malam tiba. Dia menaruh botol kemasan itu di atas meja dan beranjak pergi membuka pintu. "Oh?" Amera tidak bisa menutup mulutnya yang terbuka. Melihat sosok Arata berbalut kemeja putih yang membalut tubuh kokohnya dan tersenyum tipis pada Amera. "Selamat malam, Amera, apa aku mengganggu waktu istirahatmu?" Amera tersentak, dia merasakan wajahnya memanas dan tangannya berkeringat dingin. Dengan senyum manis dia menggeleng kecil, membukakan pintu lebih lebar agar mata Arata bisa mengintip ke dalam. "Seperti yang kau lihat, hanya menikmati televisi dan sepiring kentang goreng kering." Arata tersenyum. Dia menatap Amera sekali lagi. "Makan malam tiba, aku ingin mengajakmu makan malam," suara Arata sedikit ragu. "Kalau boleh?" Mata Amera melebar. Dia berdeham dua kali dan tertawa canggung. Merasakan debaran di d**a. "Ah, begitu," dia tidak tahu harus menjawab apa selain kalimat bodoh yang terkesan canggung. "Tidak apa. Sebentar." Amera menutup pintu kamarnya. Arata menunggu di depan pintu dengan tangan di rambutnya, lalu mengacaknya pelan. "Oke, aku siap," Amera tersenyum ketika dia menutup pintu kamarnya dan memasukkan kata sandi agar kamarnya tetap aman. Dia hanya memakai jaket tipis yang membalut kaus bergambar beruangnya. Amera berjalan bersisian dengan Arata menuju lift. "Aku terlihat kacau," Amera terkekeh pelan. Menatap Arata dengan alis terangkat dan tatapan geli. "Kau cukup rapi dan aku memakai pakaian tidur." "Tidak," Arata menggeleng dengan senyum samar. "Ini hanya makan malam. Masih di bawah atap hotel yang sama. Santailah." Pintu lift terbuka. Dia berjalan memasuki restauran yang cukup ramai karena ini jam makan malam. Amera mengambil piring ketika mencari makanan untuk ia makan malam ini. Amera melongok ke penjuru ruangan dan tidak melihat anggota grupnya berada di sini. "Kemari," Arata membawa Amera di kursi yang cukup jauh dari meja yang menaruh banyak makanan matang. Sedikit berada di ujung agar mereka mendapat privasi. "Ceritakan kenapa kau bisa ada di sini," bisik Amera. Arata mengangkat kepalanya. Menatap Amera dan menaruh pisaunya. "Aku punya urusan. Klienku memiliki masalah dengan salah satu pejabat di Singapura. Aku harus datang untuk mensurvei masalah itu dan mencari kelemahannya." Amera menggangguk. Tidak ingin bertanya lebih jauh lagi karena ini di luar kemampuannya. "Oke, semoga sukses." "Terima kasih." "Dan," Amera memutar garpunya di atas daging asap. "Kau tahu kamarku?" Arata tersenyum tipis mendengar pertanyaan Amera yang pasti akan dia dapatkan karena mengetuk pintu gadis itu tiba-tiba. Mengejutkannya. "Aku tidak sengaja melihatmu masuk ke dalam lift dan menebak-nebak di mana kau tidur," jawab Arata tenang. "Aku bertanya pada manajermu." "Oh," hanya itu yang bisa Amera berikan sebagai respon. Dia terlalu terkejut. Ponsel Arata bergetar di atas meja. Amera melirik siapa nama yang mengganggu makan malam mereka. Dengan berpura-pura tenang, Amera kembali fokus pada piringnya dan mengabaikan Arata yang memilih diam, tidak melakukan apa-apa untuk menghentikan panggilan sialan itu. "Aku pikir akan jadi masalah jika kau mengabaikan telepon begitu saja?" Amera memutar garpunya, memandang Arata dengan tatapan menuduh. "Orang ini sangat menyebalkan," Arata membalas dengan anggukan bahu acuh. Amera merasa dia lebih dekat dengan Arata. Dan makan malam dadakan ini benar-benar membuat perutnya mual terasa diputar dan dikocok terlalu cepat. Amera tidak menyangka. Hubungan mereka tidak pernah sedekat ini. Mereka pernah bertemu di kedai kopi bandara. Saling menyapa dan dia menyukai bagaimana Arata bersikap sopan padanya. Menunjukkan pria itu berkelas. Amera menyukai pria yang memiliki tata krama baik. "Aku berharap bisa melihatmu tampil di atas panggung secara langsung suatu saat nanti," Arata berucap setelah menghabiskan makanannya. Amera merendah, tidak bisa mengunyah potongan daging asapnya dengan baik. "Ah, aku bisa memberikanmu bangku khusus kalau kau berminat," Amera bermaksud bercanda. Tetapi kepala Arata mengangguk mantap. "Tidak buruk," Arata menatap Amera. "Jika waktuku kosong." "Bukan masalah," Amera tersenyum tipis. "Aku biasa memberikannya jika salah satu anggota keluarga atau temanku berniat melihat panggung dari jarak dekat. Anggotaku juga melakukan hal yang sama." "Ini bukan tindakan ilegal, kan?" Amera tertawa pelan. "Bukan, tentu saja." Arata terdiam. Dia memainkan ponselnya sembari menunggu Amera menghabiskan makan malamnya. Uh, Amera ingin sekali mengambil satu porsi pasta atau sate kulit untuknya. Terlihat lezat karena makanan itu baru saja matang. "Maaf," Amera mengangkat kepalanya mendengar Arata berbisik. "Klienku datang untuk berbicara. Aku harus pergi," Arata berdiri. Amera menatapnya diam. "Tidak apa jika kau kutinggal?" Amera tertawa pelan. "Ya, pergilah. Anggotaku akan turun makan malam sebentar lagi," Amera mengangkat bahunya, santai. Arata mengangguk setelah pamit dan pergi. Amera menghela napasnya, memakan terakhir potongan daging asapnya dan berniat mengambil sate kulit dan sosis bakar bumbu kecap. Suara piring sedikit terbanting membuat Amera membeku. Dia mengangkat kepalanya, terkejut melihat Darren Kato menarik kursi di mana Arata sebelumnya duduk di sana, tidak menatap Amera dan memilih merapikan piring bekas makan Arata ke meja samping yang kosong. "Menikmati makan malammu?" Amera mendengus. "Selamat malam. Aku senang mendengar sapaan manismu malam ini," bisik Amera sarkatis. Darren mengernyit. Menatap Amera dengan tatapan mencemooh yang dibalas dengusan gadis itu. Kemudian, dia mengangkat bahu. Amera terkejut karena Darren membawa dua piring yang berisikan makan malam untuk pria itu dan sepiring sate kulit, udang, dan sosis. Amera menatap piring itu lama, berpikir keras haruskah dia mencuri salah satunya dari Darren atau tidak. "Jangan lihat-lihat," sela Darren. Dia mendelik ke arah Amera. "Itu milikku." "Bisakah aku meminta satu sate kulit itu?" Amera tidak peduli dengan omongan kasar Darren. "Aku malas berdiri dan mengambil piring baru." "Tidak." "Kenapa kau kejam padaku?" Darren tidak peduli. Dia melanjutkan makannya. Amera cemberut. Dia bersandar pada kursi dan melipat tangan di depan d**a. Menatap Darren yang sibuk dengan potongan daging lunak ayam yang dipanggang matang dengan tatapan sebal. "Pilih salah satu," Darren mengangkat kepalanya. Menatap Amera yang sumringah. "Hanya satu." "Dua, ya?" "Satu." Amera terkikik. "Satu setengah?" Darren tidak mengerti. Alisnya terangkat. "Apa maksudmu?" "Aku akan mengambil sate kulit dan sosis, karena satu setengah yang kupinta, akan kugigit sosis ini hanya separuh bagian saja. Sisanya untukmu," jelas Amera. Darren menatapnya. Mengaitkan jemarinya di atas meja dan menumpu dagunya. "Itu terlihat menggelikan tetapi mungkin bagi sebagian wanita terlihat lucu dan romantis. Aku beri kau dua." Amera tertawa. Dengan gesit dia mengambil satu sate kulit dan satu sosis bakar ke atas piringnya. Memakan sate kulit itu dengan lahap, mengabaikan tatapan Darren di depannya. Mata Darren melirik salah seorang pria yang duduk bersama dua pria lainnya. Mereka terlihat fokus dan sibuk dengan obrolan masing-masing. Salah satu dari mereka, yang berambut botak terus menatapnya dengan seringai penuh pertanda menang. Darren melirik ke bawah, mendapati ada kamera yang menyala mengarah ke mereka. Sialan, wartawan. Darren mendesah panjang. Dia sangat yakin hotel ini cukup menguras dompet untuk kalangan tertentu yang memiliki ongkos sedikit untuk berlibur. Hotel ini cukup mahal, terbaik di kelasnya.  Yah, perusahaan percetakan majalah dan koran gosip juga memiliki uang yang banyak. Bodohnya dia melupakan fakta itu. Amera sibuk dengan sosis bakarnya. Darren menatapnya, lalu kembali pada kamera yang berkedip merah. Pertanda kamera itu sedang merekam mereka. Tangan Darren terulur menyentuh Bibir Amera yang basah. Amera membeku selama beberapa detik, mencoba berpikir dengan keras apa yang Darren lakukan padanya. Darren kembali menarik tangannya. Dia tidak bisa menjelaskannya pada Amera dan memilih untuk tetap diam. Amera mengunyah sosisnya hati-hati, masih menatap Darren. "Kau tidak mencoba untuk merayuku, kan?" Darren menggeleng. "Tidak." Amera menaruh tusukan sosis di atas piringnya dan terdiam. Dia mengusap Bibirnya dengan tisu dan mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruangan. Bertanya-tanya apa yang terjadi dan membuat gelagat Darren terlihat mencurigakan. Darren berdiri dari kursinya. Amera yang terkejut iku berdiri dari kursinya setelah merapikan piring dan bekas makannya. Darren berlalu begitu saja, meninggalkan Amera yang terdiam menatap punggungnya, lalu berlari mengejar langkahnya. "Apa kau ikut pertarungan kelas berat lagi?" Amera bertanya ketika mereka berjalan berdampingan melewati koridor. "Aku sedang tidak berminat," jawab Amera datar. "Tapi kemarin ..." Amera menggantungkan kalimatnya. Darren menghentikan langkahnya, menunggu Amera bicara. "Kau terluka." "Bukan urusanmu," desisnya. Amera terdiam. Dia membiarkan Darren kembali berjalan meninggalkan dirinya. Darren menunggu lift dalam diam. Dan Amera sudah ada di sampingnya, menunggu lift terbuka untuk mereka. "Ini bisa jadi bumerang untukmu," tiba-tiba suara Darren mengejutkannya. Amera menoleh dengan napas tertahan karena terkejut. "Apa?" Pintu lift terbuka. Amera menatap Darren yang tetap diam dan tidak maju ke dalam. "Kau terlihat akrab dengan Arata?" Darren memberikannya seringai miring yang menggoda walau tatapan matanya tidak berkata sama. Matanya memberi arti yang berbahaya dan Amera merasa napasnya berat. "Yah, seperti yang kau lihat," Amera membalas santai. Dia menahan pintu lift tetap terbuka, mereka bertatapan cukup lama. "Jangan terlalu terkejut dengan apa yang kau temui besok pagi." Setelah mengucapkan kalimat itu, pintu lift yang terbuka segera menutup karena Darren memencet tombol dari luar pintu lift. Memutuskan pandangan mereka secara sepihak. Amera menatap pintu lift yang tertutup dengan dahi berkerut dalam. Dia tidak mengerti apa yang Darren bicarakan. Dan semoga hal buruk apa pun yang pria itu maksud, tidak terjadi padanya. Kalau pun dia memiliki skandal atau tertangkap sedang melakukan tindakan kriminal, agensinya akan melakukan tindakan agar berita itu tidak tersebar ke publik dengan cepat dan dia diberitahu tentang kesalahannya. "Apa akan terjadi sesuatu padaku?" Amera menekan kembali tombol lift dan lift bergerak turun ke lantai bawah. Amera keluar dari dalam dengan bingung. Dia terkejut ketika bertemu Hana dan Chia yang baru saja ke luar menikmati udara segar dan membeli takoyaki. "Amera?" Sapa Chia. Dia terlihat bingung. "Kenapa wajahmu seperti itu?" Hana menatap Amera dan mengangguk. "Apa yang terjadi?" Amera menggeleng. "Kau melihat Darren?" "Oh, laki-laki itu," Hana tidak terkejut. Dia menunjuk pintu samping hotel dengan dagunya. "Aku melihatnya terburu-buru saat kembali dari penjual takoyaki. Belum sempat aku menyapanya, dia sudah pergi. Sepertinya ada seseorang yang sedang dia kejar," Hana mengangkat bahunya. "Aku tidak yakin." Amera mengangguk dan berlari ke luar pintu. Chia dan Hana menatapnya dengan kernyitan di dahi. "Apa mereka bertengkar?" Hana menggeleng. "Tidak tahu," dia menarik tangan Chia untuk masuk ke dalam lift dan pergi menuju kamar mereka.  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD