Bab 1

1944 Words
"Yang Mulia, Jenderal Kuo Lai meminta ijin untuk menghadap." Gerakan tangan raja penguasa kerajaan Baiying yang tengah memberi stampel kerajaan itu terhenti, ia menatap pelayan yang membungkuk hormat padanya sekilas. Kemudian kembali fokus pada apa yang ia kerjakan. "Biarkan masuk." "Baik Yang Mulia." Pelayan itu mengangguk patuh, lalu berjalan mundur meninggalkan sang raja yang telah kembali menekuni kertas-kertas laporan yang harus di selesaikannya. "Hamba menghadap pada Yang Mulia, Semoga yang mulia panjang umur." Lai memberi hormat, ia membungkukan badan. Raja Baiying muda yang bernama Diwei itu menatap jenderal kepercayaannya, "Berita apa yang kau dapat, bukankah kemarin lusa kau ku perintahkan untuk pergi ke kota Feichun dan menghancurkan para penghianat itu?" Lai menegakkan tubuhnya, ia menatap jelaga hitam milik Diwei, "Ini di luar perkiraan hamba Yang Mulia, pemimpin dari pemberontakan ini sangatlah licik." "Berita apa yang kau bawa?" Diwei meletakkan stampel kerajaan, ia berdiri dari duduknya dan berjalan kearah Lai. "Sebaiknya anda membaca sendiri Yang Mulia, Baojia sudah menulis semuanya di sini." Lai menyodorkan sebuah gulungan berwarna hitam pada Diwei dan segera di ambil oleh pria muda itu. Diwei membuka gulungan hitam yang di berikan oleh Lai, dan rahangnya mengeras saat mengetahui isi dari gulungan tersebut. Kedua tangannya mencengkeram sisi kertas tersebut. "Tak aku sangka jika tua bangka itu bisa melakukan konspirasi seperti ini." Geram Diwei, mata hitam milik raja Baiying itu berkilat marah. "Ini akan menjadi sesuatu yang lebih buruk jika kita tidak menghadapinya dengan rencana dan strategi yang bagus Yang Mulia. Nyawa dari para penduduk kota Feichun dan sekitarnya menjadi terancam." Jelas Kuo Lai, pria berwajah pucat itu menatap serius rajanya. "Kita tidak bisa main serang saja Lai, nyawa rakyat adalah prioritas utama kita. Kita tidak boleh melukai dan membunuh rakyat yang tidak bersalah." Diwei berucap datar, "Perintahkan pasukanmu untuk mundur, aku sendiri yang akan turun tangan. Tak perlu membawa pasukan, cukup kita berempat saja. Panggil saudaramu, aku butuh otak cerdasnya." Perintahnya mutlak. "Baik Yang Mulia, hamba mohon undur diri." Lai membungkuk patuh, ia berjalan mundur lalu berbalik meninggalkan ruang kerja rajanya. ~•***•~ Annchi menyusuri jalanan desa yang tampak ramai, gadis muda berusia 19 tahun itu menenteng keranjang bambu yang berisi beberapa buah. Sesekali ia mengangguk seraya tersenyum tipis saat ada penduduk yang menyapa dirinya. "Mari ku bantu, nek." Ucap Annchi saat melihat seorang wanita tua yang tengah kesusahan membawa barang-barangnya. Lengan putihnya terulur, mengambil alih kain coklat yang di bawa oleh wanita tua itu. Wanita tua itu tersenyum, merasa kagum akan kebaikan hati dari gadis cantik di hadapannya, "Terima kasih." Annchi mengangguk, "Nenek mau kemana?" Tanyanya dengan suara yang lembut. "Nenek mau pulang," wanita itu berkata tak kalah lembut. Nenek dengan tubuh sedikit bungkuk itu sedikit mendongak untuk menatap wajah ayu Annchi. "Baiklah, ayo saya antar." Annchi berkata riang, ia tersenyum lebar hingga lesung di pipi kirinya terlihat. "Sekali lagi, nenek berterima kasih nak. Andai saja semua orang punya hati sepertimu." Ucap wanita tua itu sedikit terkekeh. Annchi hanya menanggapi ucapan terakhir dari wanita tua yang di bantunya itu dengan senyuman manis. Ia mulai berjalan pelan mengikuti langkah kecil nenek itu. Mereka terus berjalan, menyusuri rumah demi rumah sederhana milik para penduduk desa. Jalanan yang ramai dengan suara senda gurau milik para penduduk tampak membawa suasana damai tersendiri. Desa yang terletak di kaki bukit Chuzu, sebuah bukit kecil dengan hutan yang lumayan lebat itu tampak damai dengan semua penduduk yang akur dan tanpa perselisihan apapun. Semua menganggap sama satu sama lain. Tak ada yang mereka bedakan. Termasuk kasta sekalipun. Semua saling menghormati dan menyegani. "Sudah sampai, nak." Annchi kembali mengangguk, ia ikut masuk kedalam rumah yang terbuat dari anyaman bambu itu. Meletakkan kain coklat yang di bawanya di meja rendah yang tersedia, ia berjalan mendekati wanita tua yang tengah menggantungkan tudung bambu yang di pakainya di paku yang ada di samping pintu rumah itu. "Saya permisi nek, semoga hari nenek menyenangkan." Annchi berpamitan, ia membungkuk sopan pada nenek yang di bantunya. Nenek itu tertawa pelan, lalu mendekat ke arah Annchi dan menepuk bahu gadis itu, "Kekuatan cinta akan mengalahkan semua ketidak adilan. Teruslah menghadapi dan janganlah menghindari. Ikuti kata hatimu, dan teruslah untuk maju. Sang dewi cinta akan segera datang. Sang dewa penguasa jagat raya akan segera tiba. Persiapkan diri, sudah saatnya sang dewi menunjukkan diri. Nasib sang penguasa ada di tangan suci." ~•***•~ "Aku tak mengerti, kenapa aku harus ikut ambil alih dalam situasi seperti ini? Huuaahhh.." Kuo Lei, saudara kembar Kuo Lai itu mengap malas saat kembaranya mengatakan apa yang di sampaikan raja sekaligus sahabat mereka. Pria dengan kucir bak ekor kuda itu bersandar malas pada batang pohon pinus di halaman belakang istana. Kuo Lai menyempitkan mata, kedua sudut bibirnya tertarik ke atas membentuk sebuah lengkungan kurva yang sedap untuk di pandang. Ia terkekeh kecil, sebuah kekehan yang terdengar datar, "Jangan banyak mengeluh Lei, atau kepalamu akan menjadi taruhannya." Ia berkata tenang dengan senyum lebar yang masih setia ada di wajahnya. Kuo Lei berdecak, pria itu lantas berjalan meninggalkan Lai yang masih setia dengan senyumamnya. "Aku akan bersiap-siap, aku akan menghadap pada Yang Mulia setelah ini. Kau duluan saja." Ucapnya sambil berlalu, yang hanya di jawab dengan sepatah kata 'Ya' dari Lai. ~•***•~ "Yang Mulia Diwei memasuki ruangan." Suara teriakan dari luar kediaman milik wanita bersurai coklat itu membuat sang wanita sedikit terkejut, ia segera berdiri dan menunduk takjim menyambut kehadiran raja yang mendadak di kediamannya. "Dimana Daochun?" Chalimi, wanita yang menunduk hormat itu mendongak dan menatap raja sekaligus adik iparnya. Ia tersenyum lembut, membuat mata lebarnya sedikit menyipit, "Pangeran ada di gazebo samping pavilliun ini Yang Mulia. Sedang berbincang dengan Ibu Suri." Diwei mengangguk sekilas, lalu melangkahkan kaki tegasnya ke tempat dimana yang Chalimi katakan. "Kakak." Panggilnya pada seorang pria bersurai hitam panjang yang tengah berbincang pada wanita dengan hanfu mewah berwarna putih tulang. "Yang Mulia," Daochun berdiri, ia memberi hormat pada raja kerajaan Baiying. "Ada yang ingin aku bicarakan denganmu." Jawab Diwei setelah sedikit lama terdiam, kemudian ia menatap seseorang yang mirip dengannya. "Maaf Ibunda, apa Ibunda tidak keberatan untuk meninggalkan kami berdua?" Wanita yang menjadi ibu Suri sekaligus ibu kandung dari Yang Mulia Diwei Jiaolong itu tersenyum lembut, ia berdiri pelan lalu mengangguk. "Jangan terlalu lama berbicara di luar, angin malam tidak baik untuk kesehatan." Tuturnya dengan lembut, kemudian wanita yang pernah menjadi ibu ratu kerajaan Baiying itu meninggalkan kedua putra mendiang suaminya. "Ada apa Yang Mulia?" Tanya Daochun setelah melihat ibu kandung dari adiknya itu menghilang di balik dinding paviliun kediamannya. "Jangan memanggilku seperti itu kakak, kita hanya berdua sekarang, tidak ada orang lain." Diwei menyibakkan jubah kebesarannya, lalu mendudukkan dirinya di gazebo tempat ibunya tadi duduk. Daochun terkekeh pelan, ia ikut mendudukkan dirinya di samping adik sekaligus rajanya, "Baiklah, jadi.. apa terjadi sesuatu? Tidak seperti biasanya kau repot-repot datang ke kediamanku?" ia menatap lurus wajah adiknya yang terlihat seperti mendiang ayahnya dulu, Yang Mulia Zhendi. "Aku akan pergi untuk beberapa waktu, aku serahkan masalah yang ada di kerajaan ini padamu selama aku tidak ada." Jelas Diwei dengan suara dalamnya. "Apa ada sesuatu yang buruk sehingga mengharuskanmu keluar dari lingkungan istana ini, Diwei?" Daochun mulai berbicara serius, pria dengan garis tipis di pipi kiri tampannya itu menatap serius adiknya. "Bangsawan Liuliang melakukan konspirasi untuk menggulingkan kedudukanku, Mereka bekerja sama dengan bangsawan Fumasuan dan bangsawan Jingbu. Mereka juga mendapatkan dukungan dari pihak musuh, lebih tepatnya kerajaan Linglong, Raja Gongsu." Daochun menghela nafas, "Kenapa bangsawan terpandang seperti Liuliang bisa melakukan kudeta seperti itu, sebenarnya apa yang terjadi?" Diwei menatap tenang wajah Daochun, Putra pertama dari mendiang raja Zhendi dengan mendiang selir Fuer. "Itu karena aku menolak menerima Huangtu, putri dari Liuliang Shizu sebagai permaisuriku. Kemungkinan ia sakit hati akan hal itu." Jelas Diwei, raja berusia 27 tahun itu mendengkus geli akan apa yang di pikirkannya. Daochun mengangkat sebelah alisnya, "Lalu, apa alasanmu saat itu menolak putri cantik seperti Huangtu, seharusnya kau menerimanya Yang Mulia. Aku dengar putri dari bangsawan Liuliang itu sangat cerdik dan pandai." "Kau tak mengerti kak, seharusnya kau mengoreksi kata cerdik dan pandaimu itu." Sinis Diwei, pria itu mendecih pelan, "Keluarga inti dari bangsawan Liuliang itu hanyalah orang-orang licik yang penuh dengan drama. Mereka akan melakukan apa saja demi keinginan mereka. Mereka hanyalah orang-orang yang haus akan kekuasaan." Daochun menyeringai mendengar penuturan dari adiknya itu, "Ternyata kau cerdas juga." Kekehnya setengah bercanda. "Jadi, apa menurutmu apa yang ku pikirkan saat ini sama seperti yang kau pikirkan?" Diwei tersenyum tipis, "Shizu sebenarnya mengincar tahtaku, bukankah dengan aku yang menerima putrinya sebagai permaisuriku akan memudahkannya untuk menjatuhkanku dari dalam?" "Ya, kau benar. Tapi, bagaimana kau bisa mengetahui semuanya?" Tanya Daochun tak mengerti. "Saat Shizu memintaku untuk menerima putrinya sebagai permaisuriku, aku tidak menerima dan menolaknya secara langsung. Aku memerintahkan Baojia untuk memata-matai dan mencari tahu bagaimana putri Huangtu itu. Dan kenyataan telak telah memerintahkanku untuk menolak dirinya. Dan lihatlah sekarang, ia akhirnya memulai siasatnya. Aku sudah menduga hal ini akan terjadi, namun aku tidak tahu jika masalahnya tidak seringan yang aku kira." "Apa maksudmu?" "Shizu menyandera kurang lebihnya 1053 penduduk yang menentang dirinya, di sekitar Kota Feichun, dan ia akan memperluas jajahannya sampai ke bukit Chuzu. Aku dengar, disana ada seorang pembuat senjata terkenal yang tinggal di sekitar perbukitan itu. Dan ia berencana menyuruh orang itu untuk membuatkan sebuah senjata untuknya." Diwei menjeda, ia mengambil nafas dalam sebelum melanjutkan ucapannya. "Para wanita dan gadis di berikan pada para bawahannya untuk di perkosa, lalu mereka di jual di rumah bordil. Para pria mereka paksa untuk bekerja di bawahnya. Pria itu bahkan meminta dukungan dari musuh kerajaan kita. Kota Feichun tengah kacau saat ini. Sebenarnya aku bisa saja membawa satu batalion penuh pasukan untuk menyerangnya. Namun, jika aku melakukan itu. Semua rakyat yang tidak berdosa menjadi korbannya. Dan kau tahu juga, jika kerajaan kita lebih memprioritaskan keselamatan rakyat." Daochun mengangguk, "Kau benar, rakyat adalah prioritas utama kita. Itu yang di ajarkan oleh para leluhur kita." ia melemaskan sedikit bahunya. "Lalu apa yang akan kau rencanakan?" "Aku akan merundingkannya dengan Lei dan Lai, yang perlu kau lakukan hanyalah menggantikanku untuk sementara waktu." Pinta Diwei. "Hm, aku akan menjaga kerajaan ini untuk sementara waktu saat kau pergi." Daochun tersenyim tipis, ia menatap lembut adiknya yang menatapnya datar. Susana menghening setelah itu, hanya ada desauan angin malam yang terdengar dan suara hewan malam. Diwei mendongakkan kepala, menatap ribuan bintang yang gemerlap di atas sana. Mata hitam sekelam malam itu menatap banyak arti. "Seharusnya kau yang menjadi raja, bukan aku." Ucap Diwei setelah lama terdiam. Daochun lagi-lagi tersenyum, ia berdiri lalu menepuk bahu Diwei, "Kita sudah membicarakan ini 3 tahun yang lalu." Ucapnya sebelum memberi hormat pada Diwei dan berjalan meninggalkannya sendirian. ~•***•~ Putri Huangtu tersenyum tipis saat anak panah milik kakaknya, Huangshi mengenai tepat titik merah yang ada di tengah-tengah sasaran. Putri bangsawan Liuliang yang memimpin kota Feichun itu bertepuk tangan kecil. Ia lalu melangkahkan kakinya mendekati kakaknya. "Itu hebat kakak." Ucapnya penuh kekaguman. Huangshi tersenyum, putra pertama dari Liuliang Shizu itu memberikan busur panah yang dipakainya ke pelayan yang sudah berjaga di sebelahnya tadi. "Itu tidak seberapa, adik." Huangshi mengajak adiknya untuk duduk di gazebo yang ada di tempat latihannya itu, "Ada apa? Kenapa kau datang kesini?" Tanyanya setelah mereka mendudukkan diri. Huangtu menggeleng, "Aku hanya terlalu bosan untuk selalu berada didalam kamar kakak. Ayah melarangku untuk keluar." "Itu demi kebaikanmu, keadaan diluar sedang tidak baik. Terjadi kekacauan di mana-mana." Jelas Huangshi, pria dengan iris mata coklat itu menatap lembut adiknya. "Apa menurutmu Ayah akan baik-baik saja. Kau sendiri tahukan, kerajaan Baiying itu sangatlah kuat." Huangshui kembali mengulum senyum, "Kau tak perlu khawatir, ayah pasti bisa mengalahkan kerajaan sombong itu. Lagipula kita juga mendapatkan dukungan dari Yang Mulia raja Gongsu. Raja dari kerajaan Linglong itu pasti membantu kita menghancurkan kerajaan Baiying itu." Huangtu mengangguk, "Ku harap apa yang kau katakan itu benar kakak."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD