Bab 2

2056 Words
'Trangg' 'Sett' 'Trangg' Suara dentingan benda tajam yang saling bergesekan terdengar. Suara sayatan dan juga lesatan anak panah pun tak lepas dari pendengaran. Suara riuh, teriakan dari orang-orang yang terkena hunusan pedang atau anak panah pun ikut bersahutan. Kobaran api ada dimana-mana. Membumihanguskan semua yang di lalapnya. "Cepat habisi semua yang melawan, jangan beri mereka ampunan!!" Suara teriakan dari sang pemimpin menggelegar. Seorang dengan jubah berwarna merah tua dan memakai baju perang itu duduk angkuh di kuda berwarna coklat miliknya. Sebuah pedang bergagang hitam bertengger rapi di pinggangnya. Bahkan senyum bengis pun terulas di bibir milik orang tersebut. "Hahhaah,, bagus. Hancurkan semuanya. Bawa mereka para wanita dan gadis-gadis muda. Mereka juga pembawa kemakmuran untukku..hahhah.." Sebuah tawa kepuasan mengalun dari bibirnya. Mata coklat itu menatap puas semua yang ada di hadapannya. Seolah itu adalah sesuatu yang menakjubkan untuk di lihat. Tak di hiraukannya lolongan pilu para korban kebengisannya. Tak diacuhkannya jerit tangis dari orang yang tak berdosa terhadapnya. Pria itu, dengan tawa kejinya membiarkan orang-orang tak bersalah menjadi korban kebiadapannya. 'Set' Kuda tunggangan milik orang itu mengikik panik saat ada lesatan anak panah yang tertancap sempurna tepat di depan kudanya. Dengan segera sang penunggang tersebut menarik tali kekangnya untuk menjinakkan kuda yang tengah bergerak gelisah. "Tak seharusnya kau melakukan ini tuan, Shizu." Seseorang datang,  dengan memakai cadar merah dan mata menatap tajam Shizu yang tampak masih terkejut dengan ulahnya. Sebelah tangan milik orang tersebut menggenggam busur panah yang terbuat dari kayu Oak. Di punggungnya terdapat beberapa anak panah yang terpasang apik di wadah khusus untuk anak panah. Di pinggangnya juga terdapat sebuah pedang berwarna putih dengan ukiran khusus yang cantik. Tangan milik orang itu dililit dengan kain putih yang berfungsi seperti sarung tangan. Sosok tersebut duduk dengan tangguh di kuda putih cantik miliknya. "Siapa kau? berani sekali mengganggu urusanku!" Shizu menggertak, wajah yang tidak bisa dikatakan muda itu mengeras. Pria berusia 52 tahun itu menatap marah seseorang bercadar merah di hadapannya. "Siapa aku? Kau tak perlu tahu. Yang jelas, aku tidak akan membiarkanmu semena-mena pada semua penduduk disini!" Shizu tertawa, "Apa urusanmu hah! Mereka dibawah kekuasaanku. Jadi, aku berhak melakukan apa saja pada mereka." "Kau salah!" Orang itu menyela tawa bengis Shizu, "Mereka berada di bawah kuasa Kerajaan Baiying. Termasuk dirimu, kau hanya pemimpin provinsi kota ini yang di perintahkan langsung oleh raja. Kau bukanlah pemimpin yang sebenarnya, Shizu. Kau hanya kaki tangan raja Kerajaan Baiying!" "Kaki tangan?" Shizu mendengkus remeh, "Tidak lagi, tuan. Aku bukanlah b***k dari kerajaan itu. Tapi aku akan menjadi raja dari kerajaan itu." utarnya kembali tertawa. "Bagaimana nasib rakyat kerajaan ini jika mempunyai raja sepertimu?" Ucapan mencemooh megalun dari bibir orang bercadar itu, "Yang ada kerajaan ini akan hancur dalam sekejap jika raja kerajaan Baiying mempunyai sikap sepertimu." Rahang Shizu mengeras, tatapan mata coklatnya berkilat marah. "Jangan banyak omong kosong tuan. sebaiknya kau pergi, atau orang-orangku membunuhmu!" ia menggertak, mengeluarkan pedang miliknya. "Aku tidak takut." Shizu memgangkat pedangnya, "Bunuh dia!" Teriaknya yang langsung dilaksanakan oleh bawahannya. Semua prajuritnya yang ada di sekitarnya langsung berpindah untuk menyerang orang bercadar itu. 'Set' 'Sett' 'Seett' Lesatan anak panah dari arah belakang orang bercadar itu membuat Shizu kembali terkejut. Semua prajuritnya yang hendak menyerang orang bercadar itu terkena lesatan panah tersebut. "Jangan kira aku tak membawa pasukanku tuan Shizu." Shizu mengalihkan tatapannya yang semula menatap para prajuritnya kini menatap orang bercadar itu. "b*****h!!" Umpatnya dengan gigi yang bergemelatuk. "Chijing Jian, aku sudah membawa seluruh penduduk yang aku jumpai ke tempat yang aman. Semua sudah berada di tempat persembunyian." Orang bercadar itu melirik seseorang yang baru saja datang dari arah belakangnya, ia mengangguk sekilas, "kerja bagus Gu, sekarang usir mereka dari sini!" Ucapnya sebelum pergi meninggalkan Shizu dan para prajuritnya. "Baik, kalian.. serang!!" Gu memberi aba-aba. Ia mengangkat pedangnya dan menyerang Shizu. Shizu tidak tinggal diam, ia ikut berbalik menyerang. Dan hingga akhrinya, peperangan kecil pun tak terhindarkan. ~•***•~ Diwei memacu kuda coklat kemerahannya santai, raja dari Kerajaan Baiying itu tampak tenang menyusuri hutan bukit Chuzu, kedua jenderal kepercayaannya mengikutinya di belakang dengan kuda mereka masing-masing. Jenderal Lai tampak menikmati pemandangan rimba hutan itu, sedangkan jenderal Lei beberapa kali menguap bosan. "Huaaahh,, tidakkah kita beristirahat sebentar. Mataku sudah tidak bisa di ajak kerjasama lagi." Lei mengusap matanya yang sudah hampir tidak bisa di buka. Lai terkekeh datar, pria pucat itu menoleh menatap saudaranya yang ada di sampingnya. "Kau selalu saja seperti itu Lei. Matamu adalah kelemahanmu. Aku heran kenapa orang seperti dirimu bisa memiliki otak yang bagus." Ucapnya dengan senyuman yang khas. "Andai saja kau musuhku dan bukannya saudaraku sudah kupastikan kepalamu terpisah dari tubuhmu Lai." Lei menatap datar kembarannya yang masih tersenyum. "Sudahlah kalian, jangan mulai lagi!" Diwei berkata datar, raja muda itu menegur kedua jenderal kepercayaannya yang selalu saja berdebat bila ada kesempatan. Lei mendengkus, sedangkan Lai melebarkan senyumannya saat mendengar teguran bernada datar dari raja mereka. Keadaan kembali hening, dan hanya ada suara binatang hutan yang sesekali terdengar. "Kita berhenti disini dan menunggu Baojia datang." Diwei kembali bersuara, pria itu turun dari kudanya dan menalikan tali kekang kuda di pohon yang ada di sampingnya. Lai dan Lei ikut turun dari kuda mereka. Setelah menalikan tali kekang kuda, mereka berjalan menghampiri Diwei yang melepas jubah hitamnya. "Aku akan berkeliling sebentar, kalian tetaplah disini dan menunggu Baojia datang. Aku akan segera kembali." Ucap Diwei seraya berlalu. "Baik yang Mulia." Lai dan Lei mengangguk hormat, lalu mereka mendudukkan diri, dan sibuk dengan urusan masing-masing. Lei mencari tempat nyaman untuk tidur dan Lai mulai menggambar. Mereka saudara kembar namun kesenangan mereka sangat bertolak belakang. ~•***•~ "Hamba memberi hormat pada Ibu Suri, semoga ibu Suri sehat selalu." Xiyou yang tengah menikmati teh hijau hangatnya menatap salah satu selir putranya, ia mengangguk dan mempersilahkan Jishuqi untuk duduk di sampingnya. "Ada apa?" Xiyou meletakkan cangkir tehnya dan menatap Jishuqi sepenuhnya. "Apakah yang Mulia pergi keluar istana, Ibu Suri?" Tanya Jishuqi dengan kepala tertunduk. "Benar, beliau pergi petang kemarin." Xiyou berkata tenang, ia menatap datar wajah sedih selir yang berasal dari bangsawan Mile itu. Jishuqi mencebik, mata pucat coklatnya menatap kebawah, "Kenapa yang Mulia tidak memberitahuku terlebih dahulu?" Xiyou mengangkat sebelah alisnya, "Memangnya Yang Mulia harus meminta ijinmu terlebih dahulu?" Jishuqi yang mendengar nada bicara ibu Suri menggelengkan kepalanya, "Tidak Ibu Suri. Hanya saja, sebagai istrinya bukankah aku berhak untuk diberitahu olehnya secara langsung?" "Kenapa harus dengan istrinya, bahkan ibunya saja tidak di beritahu secara langsung olehnya." Xiyou berdiri dari kursinya. "Jangan banyak tingkah selir Ji’er, Yang Mulia tidak ada waktu untuk menanggapi keluhanmu. Jadilah selir yang baik, ada saat di butuhkan dan tidak merepotkan saat tidak di perlukan. Ingatlah posisimu baik-baik." Ucapnya sebelum berlalu pergi. Tangan Jishuqi mengerat di balik lengan hanfu kuning pucatnya. Mata coklat pucat milik bangsawan Mile itu menatap tajam punggung ibu dari suaminya, rajanya. "Usahamu sia-sia bukan, adik?" Jishuqi menengokkan kepalanya dan menatap seseorang yang tengah tersenyum geli mengejeknya. Ia berdiri, dan menatap nyalang selir pertama sang raja, Louxuan Ka Lin. Ka Lin mengangkat hanfu ungu mudanya dan mendekati selir ketiga suaminya, "Percuma kau mencoba menarik perhatian dari Ibu Suri. Dia tidak akan tertipu dengan kebohonganmu." Jishuqi tersenyum sinis, "Setidaknya aku berusaha Kakak pertama. Tidak sepertimu yang terlalu pasrah akan keadaan." Ka Lin tersenyum,adik dari mata-mata Baojia itu menatap geli selir suaminya yang terkenal arogan itu, "Aku bukanlah tipe seorang yang munafik adik, lagipula kedudukanku saat ini sudah cukup untukku. Meskipun aku tak pernah dilirik oleh Yang Mulia sebagai istrinya, setidaknya aku di jaga dan di lindungi layaknya sebagai adik perempuannya." "Kau terlalu bodoh kakak pertama, bukannya mencoba menarik perhatian yang Mulia tapi kau malah membiarkan Yang Mulia jatuh ketangan wanita lain." Cemooh Jishuqi. "Untuk apa aku menarik perhatian dari kakak iparku sendiri?" Ka Lin kembali tersenyum lembut, "Bagiku, yang mulia sudah berbaik hati menerimaku dan juga anakku itu sudah cukup." Jishuqi mendengkus sinis, "Keberadaanmu memang seharusnya bukan untuk menjadi selir yang mulia raja, Ka Lin. Dan aku merasa bahagia saat kau mengakuinya." Setelah itu ia berjalan pergi meninggalkan selir pertama suaminya. Ka Lin terdiam, raut wajahnya berubah. Senyum kegetiran kembali terulas di bibirnya. Memang seharusnya ia bukan menjadi istri dari raja Baiying, melainkan adik iparnya. Namun sebuah kenyataan membuatnya tak bisa berbuat apa-apa. "Andaikan kau masih hidup Jiujing." Gumamnya lirih yang diselingi setetes air mata yang jatuh dari mata hitamnya. ~•***•~ Diwei menyibakkan daun-daun dan semak-semak yang menghalangi jalannya. Pria berpakaian hitam itu menatap sekitar. Mata hitam sekelam malam miliknya tersebut menatap jeli setiap sudut yang bisa di jangkaunya. "Aku bisa mendengar riak air disini. Pasti ada sungai yang terletak tidak jauh dari sini." Gumamnya. Ia kembali melangkah. Matanya mengedar kesegala arah, dan pendengarannya pun semakin ia tajamkan. Pria beriris gelap itu menuju suara riak air terjun yang terdengar tak jauh dari tempatnya berdiri. Dan benar saja, saat ia menyibak dahan pohon yang menghalangi jalannya ia melihat sebuah air terjun yang menjulang tinggi. 'Crasss..' Diwei menatap air terjun di hadapannya. Pria itu melangkah kedepan, mendekat ke arah sungai jernih di hadapannya, lalu berjongkok di pinggir sungai dan membasuh kedua tangannya. Ia mendongak ketika kedua telinganya tak sengaja menangkap sebuah suara. matanya awas melihat sekitar, merasa penasaran dengan suara yang tersebut. Ia mendengar sesuatu, sebuah kecipak air. Mata onyxnya menatap tajam sungai jernih di hadapannya. Menyusuri setiap jengkal sungai yang membentang panjang di hadapannya. Namun nihil, tak ada apapun disana. Diwei menghela nafas, lalu kembali melanjutkan apa yang tengah di lakukannya. Ia membasuh wajahnya, dan saat basuhan ketiga, ia kembali mendengar suara kecipak air itu lagi. Pria itu berdiri, matanya kembali menelisik sekitar aliran sungai jernih tersebut. Ada sebuah batu besar yang menghalangi penglihatannya. Ia mendekati batu itu, lalu menengokkan kepalanya di balik batu itu. Dan ada sesuatu disana, membuatnya penasaran untuk melihat. Diwei melangkahkan kakinya pelan agar tidak menimbulkan suara. Retina sekelam malam miliknya menatap intens sesuatu yang mengambang di permukaan air sungai yang berjarak satu setengah meter dari air terjun. Ia membuka hanfunya dan berjalan menuju kearah sesuatu yang di lihat tersebut. Tatapan Diwei terpaku pada wajah itu. Wajah cantik yang tampak menikmati cipratan air terjun. Sesuatu yang mengambang dan dilihatnya tadi ternyata adalah kepala seseorang. Seorang wanita cantik yang tengah memejamkan mata. Tubuh wanita itu tenggelam sepenuhnya di sungai, dan hanya menyisakan kepalanya yang mendongak keatas. Tak lupa pula, sebuah senyum kecil terpatri di bibir mungilnya yang sedikit terbuka. Membuat sang raja Baiying itu terpesona. Diwei kian mendekat, menatap lebih dekat seorang wanita di hadapannya. Mengamati setiap lekukan yang ada di wajah perempuan itu. Dan saat ia sangat dekat dengan wajah wanita itu, sang wanita itupun membuka matanya. Menampilkan retina yang mirip seperti macan, kuning keemasan. Sangat indah. ~•***•~ Shizu masuk kedalam kediamannya dengan tertatih-tatih. Sebuah anak panah tertancap di bahunya. Beberapa sayatan terdapat di bagian-bagian tubuh lainnya. "Ya Dewa, ayah." Huangtu yang baru saja keluar dari kamarnya segera menghampiri ayahnya yang tengah terluka. Putri bangsawan Liuliang  itu membantu ayahnya untuk duduk di kursi yang tersedia. "Yan, Mei, panggilkan tuan Hong sekarang!" Huangtu kembali berteriak, gadis berusia 21 tahun itu menatap panik ayahnya. Yan segera melakukan apa yang di perintahkan oleh nona mereka. Kedua pelayan itu tergesa-gesa menuju kediaman tabib pribadi keluarga bangsawan Liuliang. "Ayah, apa yang sebenarnya terjadi?" Tanya Huangtu cemas. "Aku di serang oleh segerombolan orang berbaju putih. Pemimpin mereka bernama Chijing Jian. Aku tidak menyangka akan terluka seperti ini. Mereka benar-benar kuat." Jelas Shizu. "Chijing Jian? Siapa dia?" "Ayah pernah mendengar dari para penduduk di sekitar desa bawah bukit Chuzu. Chijing Jian adalah pendekar bercadar merah yang memberantas para penjahat dan membantu orang-orang yang tertindas. Dan aku baru saja bertarung dengannya tadi." "Mereka datang kesini, mungkin karena kita melakukan kudeta ayah. Chijing Jian sepertinya berjalan di bawah perintah kerajaan Baiying." Pikir Huangtu. Shizu menggeleng, "Tidak, mereka tidak berada di bawah perintah kerajaan Baiying. Aku tidak pernah mendengar namanya pernah di sebut oleh para petinggi istana. Kurasa Chijing Jian hanya bayang-bayang kerajaan Baiying. Mereka membantu kerajaan Baiying tanpa sepengetahuan pemimpin kerajaan Baiying." "Ini akan menjadi masalah jika aku tidak segera menuntaskannya." Tambah Shizu. "Dimana kakakmu?" "Dia menuju bukit Chuzu untuk menelisik dan menemukan orang yang kau cari ayah. Dia pergi petang tadi." Jawab Huangtu. "Panggilkan Mu, aku akan menyuruhnya untuk mencari tahu siapa Chijing Jian itu!" Perintah Shizu yang di jawab anggukan patuh oleh putrinya. "Anda memanggil hamba nona muda?" Hong menghadap, pria sedikit beruban itu membungkuk hormat. "Tabib Hong, tolong kau obati ayahku. Aku harus pergi sebentar." Hong mengangguk, pria itu segera mengambil tempat dan mulai mengobati tuannya setelah Huangtu pergi.   
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD