Bab 3

1930 Words
Daochun melangkahkan kakinya menuju aula utama istana. Pria berusia 32 tahun itu menatap datar kedepan. Wajah tegas yang mirip dengan sang ayah membuat siapa saja enggan untuk mencari masalah dengan putra kesayangan mendiang raja Zhendi itu. "Yang Mulia Daochun telah tiba!" Kehadirannya di kumandangkan saat Daochun melangkah masuk ke dalam ruang pertemuan. Pria dengan pakaian kerajaan berwarna hitam itu duduk di singgasana milik adiknya. "Sampaikan laporan hari ini." utarnya penuh wibawa. Ia mempersilahkan para menteri untuk melaporkan tugas-tugas yang mereka kerjakan. "Pemasukan uang Negara masih stabil Yang Mulia, tapi ada beberapa masalah yang menurut hamba harus diselesaikan sekarang juga sebelum ini menjadi sesuatu bencana yang besar di masa mendatang." Menteri keuangan berbicara, pria itu berlutut di hadapan Daochun. "Apa masalahnya?" "Ini tentang pajak yang harus di bayar oleh rakyat Yang Mulia. Bukan karena harga pajak yang di tentukan oleh kerajaan ini tinggi, hanya saja akhir-akhir ini mereka banyak yang mengaku sudah membayar pajak. Namun di buku catatan tidak tercantum nama mereka. Hamba khawatir jika ini hanya modus mereka agar tidak rutin membayar pajak." Dahi Daochun mengernyit,"Apa kau yakin? Mungkin saja mereka sudah membayar dan anak buahmu lupa untuk mencatatnya." "Mohon ampun Yang Mulia, tapi mereka semuanya benar-benar tidak menerima setoran upeti para rakyat. Bahkan saat mereka menagih upeti, rakyat selalu mengatakan sudah membayar upeti. Bahkan terkadang dengan jumlah yang lebih tinggi dari yang di tentukan oleh kerajaan." Daochun terdiam, ia menatap menteri keuangan dengan alis terangkat sebelah,"Apa kau yakin anak buahmu tidak berbohong Hansheng?" "Hamba yakin Yang Mulia, anak buah hamba tidak mungkin berbohong."Menteri keuangan itu membungkukkan kepala. "Menurut hamba ini pasti ada pihak ketiga, yang mulia." Jifeng angkat bicara, menteri perhubungan itu berdiri dan membungkukkan badan. "Aa, aku rasa juga begitu." Daochun menangguk,"Shima, aku ingin kau menyelidiki ini." Perintahnya pada kepala kepolisian kerajaan. Shima berdiri,"Baik Yang Mulia." "Apa ada masalah lainnya?" Semua menteri dan para petinggi istana menggeleng serempak. "Apa ada berita tentang Yang Mulia Diwei?" "Belum ada yang mulia." Luye berbicara. Petinggi kerajaan yang bertugas mengumpulkan semua berita di luar lingkungan istana itu menatap putra sulung mendiang raja Zhendi."Tetapi ada berita terbaru dari pusat Kota Feichun." "Apa itu?" "Saat Shizu memporak-porandakan desa rakyat yang menentangnya, ia diserang oleh pasukan yang di pimpin oleh orang yang bercadar merah. Mereka menjuluki dan memanggilnya Chijing Jian." "Chijing Jian?" "Benar yang Mulia, dan Shizu terluka." Daochun berfikir,"Shizu bukanlah orang yang mudah untuk dikalahkan. Berapa jumlah mereka?" "Sekitar 17 orang yang mulia." Jelas Luye. "Benarkah?" Daochun tak percaya, 17 orang mengalahkan seorang Shizu adalah hal yang mustahil. Luye mengangguk,"Benar yang Mulia. Tapi mereka sangatlah hebat. Ketrampilan mereka dalam ilmu pedang dan panah hampir menyamai prajurit terlatih kita." Daochun menghela nafas,"Ada motif apa sehingga mereka menyerang Shizu?" "Hamba tidak tahu Yang Mulia, tapi menurut berita yang hamba dengar, dia memang melindungi para penduduk yang di tindas." Daochun berdiri, ia menatap Luye serius,"Cari identitas mereka, kumpulkan semua informasi tentang mereka. Selama mereka tidak membahayakan kerajaan, biarkan. Namun, jika mereka bisa menjadi ancaman kerajaan, tuntaskan." Ucapnya sebelum berlalu meninggalkan ruang pertemuan. ~•***•~ Annchi menghela, ia menaruh keranjang bambunya di atas batu besar di pinggir sungai. Ia menatap sekitar, sebuah senyuman kecil terpatri di wajah gadis itu. Ia mulai membuka hanfu sederhana yang dipakainya, lalu menaruhnya di atas keranjang bambu miliknya. Dengan langkah kecil, ia mulai berendam. Menenggelamkan tubuhnya yang hanya berbalut kain putih yang berguna untuk menutupi daerah pribadinya. Annchi sedikit terengah saat kepalanya muncul di permukaan. Mata keemasannya terpejam, lalu terbuka. Ia mendongak menatap tingginya air terjun di hadapannya. Lalu berenang dan mendekati air terjun tersebut. "Haa.. ini sungguh menyegarkan, semoga kakek tidak menghukumku.." ia terkekeh pelan, lalu ia merentangkan kedua tanganya. Berendam hanya menyisakan kepalanya. "Hari yang cerah, awan-awan itu tampak indah." Annchi menatap langit biru yang membentang luas dengan gumpalan-gumpalan awan putih yang indah. Gadis itu sedikit termenung, wajahnya untuk sesaat tampak murung. "Lupakan masalah itu, nikmati saja hidupmu." Katanya entah pada siapa. Ia kembali memejamkan mata. Tangannya ia gerakkan, sesekali menyeimbangkan tubuhnya yang terbenam dalam air jernih sungai. 'Craassss..' Suara air terjun tampak membuatnya begitu damai. Suara burung-burung hutan pun membuat dirinya tenang. Annchi menikmati itu semua. Sebelum ia mendengar sesuatu. Dahinya sedikit mengkerut. Ia membuka matanya, dan sesuatu di depannya membuatnya terbelalak. "Ya Dewa," Annchi kehilangan keseimbangan karena terkejut, ia terjengkang dan akan tenggelam. Namun sepasang telapak tangan yang lebar menahan kepala dan pinggang polosnya. Mempertahankan dirinya agar tetap berada di atas, dan tidak tenggelam. Mereka bertatapan dalam jarak yang sangat dekat. Hidung mereka hampir bersentuhan. Nafas Annchi terengah, dadanya naik turun. Ia masih bisa merasakan telapak tangan yang hangat di kepala belakangnya yang masih terendam air, juga pinggangnya yang terasa hangat akan sentuhan tangan lebar itu. Ia sedikit berfikir, akankah mereka terus seperti ini? Hatinya berdebar dengan tiba-tiba. Wajah pria dihadapannya sangatlah tampan. Bahkan mengalahkan Weizhi Dechi, putra kepala desa, Desa bukit Chuzu. Mata pria itu tajam, setajam elang. Bahkan mungkin pisau dapur milik senior Yuanwei pun tak bisa mengalahkan Ketajaman mata pria itu. Annchi mendorong tubuh pria itu saat ia sudah bisa mengendalikan dirinya. Ia segera menegakkan tubuhnya. Tinggi sungai yang hanya sebatas d**a membuat kedua bahu putihnya terlihat. Rambut panjang sepinggulnya menjuntai dan mengambang di sekitarnya. Menghiasi air jernih sungai. "Siapa kau, kenapa kau ada disini?" Tanyanya dengan tatapan kebawah, tak berani menatap kembali mata hitam milik pria itu. "Bukan pilihan yang bijak jika seorang gadis mandi di tempat yang tebuka dan hampir bertelanjang." Pria itu mengabaikan pertanyaannya. Membuat Annchi mendongak kembali untuk menatap wajah pria tampan itu. "Tidak ada larangan yang tertulis untuk seorang gadis mandi di sungai ini, disini." Annchi membalikkan badannya saat ia menyadari tatapan mata pria itu mengarah pada tubuhnya. "Memang benar, tapi akan sangat berbahaya bagimu jika kau mandi di alam terbuka seperti ini." Annchi terdiam beberapa saat, lalu ia melirik pria itu lewat bahunya,"Itu bukan urusanmu." katanya tenang. Keadaan menghening untuk beberapa saat, suara air terjun menjadi suara latar keheningan yang tercipta. "Siapa kau? kenapa kau ada disini? Aku tidak pernah melihatmu di desa." tanya Annchi setelah beberapa saat. "Aku, hanya seorang pengembara." utar pria itu datar. Annchi terdiam,"Kau bukan salah satu dari mereka yang sekarang membuat kerusuhan di kota bukan?" tanyanya dengan nada ketus. "Bukan," Annchi menghela,"Bisakah kau pergi. Aku harus segera kembali." ucapnya lagi. "Aa," Annchi kembali melirik pria itu lewat bahunya, pria itu berjalan menjauh menuju tepi sungai. Dan saat ia keluar dari sungai, Annchi kembali menatap kedepan dengan muka yang memerah. 'Tubuhnya indah sekali.' gumamnya lirih dengan mata yang terpejam erat. ~•***•~ Lei menegakkan tubuhnya saat ia mendengar derap langkah kaki kuda. Matanya terbuka, menatap awas sekitar. "Lai," "Aku tahu," Lai tersenyum mendengar Lei memanggil namanya. Ia dengan tenang memasukkan kembali alat-alat lukis yang dibawanya. 'drap,, drap,, drapp' Derap kuda itu semakin terdengar keras. Lei semakin menajamkan penglihatannya. Ia menatap seseorang berbaju orange dengan jubah putihnya. "Apa aku membuat kalian takut?" pria itu berkata, sebuah seringai tercetak di wajah rupawannya. "Jangan berkata omong kosong Baojia, kami hanya waspada." Lei berkata datar, pria itu kembali menguap. Baojia terkekeh. Ia turun dari kuda coklat muda miliknya. Lalu menghampiri dua bersaudara itu. "Si mata-mata bodoh." Lai tersenyum menyambut kedatangan Baojia. Baojia memutar kedua mata birunya,"Dimana Diwei?" tanyanya setelah sampai di hadapan kedua sahabatnya. "Panggil Yang Mulia dengan benar, bodoh!" Lei memukul kepala Baojia dengan pedang yang di bawanya,"Aku tidak tahu, Yang Mulia pergi dan tidak membiarkan kami ikut." "Baiklah, aku akan menunggunya, disini." Baojia mendudukkan dirinya di bawah pohon di seberang Lei. "Apa yang kau dapatkan dari musuh?" Lei menyandarkan kembali tubuhnya pada batang pohon. "Raja Gongsu sepertinya memang sangat berambisi untuk menggulingkan kerajaan Baiying. Mereka mengirim 30 batalion pasukan untuk membantu Shizu. Aku khawatir, puncak peperangan tidak terhindarkan." jelas Baojia lelah. Dahi Lai mengkerut,"Kita punya lebih dari 10 ribu pasukan yang tangguh, kenapa kita harus takut jika konflik peperangan terjadi?" "Kita memang mempunyai lebih banyak pasukan dari pasukan Shizu. Tapi jika kita tidak hati-hati, kita bisa saja kalah. Kau tahu, Shizu terkenal dengan kebulusan akal liciknya." Lei menatap bergantian dua orang yang sama pentingnya itu. "Tidak hanya itu, jika konflik peperangan terjadi di ibu kota Feichun akan banyak sekali korban yang tidak berdosa." tambahnya kemudian. "Keadaan istana juga belum pulih sepenuhnya Lai, terlebih setelah kematian raja Zhendi 3 tahun yang lalu. Dan juga, mereka yang menentang Diwei menjadi raja." Baojia menambahkan. Pikiran pria itu melalang buana di masalalu. "Memang seharusnya Daochun lah yang menjadi raja, meskipun istri sah raja Zhendi adalah permaisuri Xiyou" Lai kembali sibuk dengan alat lukisnya. "Tapi ini sudah keputusan Daochun untuk mundur menjadi putra mahkota, lagipula yang mengangkat Diwei jadi raja adalah dia." Lei menguap,"Sudahlah, yang terpenting kita disini melindungi Diwei dan kerajaannya. Itu janji kita bukan? Abaikan mereka yang menentang selama mereka tak membuat kekacauan." Lei mengakhiri pembicaraan, ia menutup kembali matanya. Baojia tersenyum,"Aa, kau benar." ~•***•~ Annchi masuk kedalam lingkungan rumahnya. Gadis itu berjalan tergesa. Sesekali kepalanya menengok kekiri dan kekanan. Memastikan jika tak ada satupun orang yang melihat dirinya. "Darimana saja kau?" Annchi menghentikan langkah kakinya mendadak. Ia menatap terkejut Shanshan yang tiba-tiba muncul di hadapannya. "Ada apa dengan wajahmu itu? Kenapa kau terlihat panik?" Shanshan bersedekap. Ia menatap Annchi dari atas sampai bawah. Annchi mengambil nafas dalam. Ia mencoba menenangkan dirinya dan bersikap biasa, "Tidak ada apa-apa. Aku hanya sempat di kejar oleh seseorang tadi." Ucapnya setelah bisa menetralisir rasa gugupnya. "Benarkah? Kau tidak berbohong kan?" Annchi menggelengkan kepala. "Lalu kenapa rambutmu basah?" Shanshan mengangkat sebelah alisnya. "Kau mandi di sungai lagi, kan? Lihat saja aku akan mengadukanmu pada kakek." Ancam Shanshan, ia berbalik dan meninggalkan Annchi. "Jangan. Kumohon jangan kak! " Panik Annchi, gadis itu memegang erat Shanshan. Shanshan mendengkus, ia berbalik dan mendorong kecil kepala Annchi, "Sampai kapan kau akan berperilaku seperti bocah kecil? Ingatlah umurmu sekarang. Kau sudah jadi seorang gadis, bagaimana mungkin kau mandi di tempat terbuka seperti itu? Jika ada seseorang yang melihatmu dan parahnya orang itu pria, itu akan sangat berbahaya bagimu!" "Aku hanya tidak bisa menolak pesona gemericik air yang jernih Shanshan, Salahkan mereka para air yang menggodaku." Annchi mengerucutkan bibirnya, ia mengalihkan pandangan, menghindari tatapan sahabatnya. Shanshan kembali menghela, "Sudahlah, ku harap ini yang terakhir. Dan jika kau masih mengulanginya lagi, akan aku adukan dirimu pada kakek. Sekarang bersiaplah. Nanti malam kita di undang oleh kepala keluarga Weili, mereka menyuruh kita untuk menari di acara ulang tahun anak sulungnya." "Baik," Annchi mengangguk patuh, ia lalu masuk ke dalam kamar miliknya. ~•***•~ Diwei menghampiri yang lainnya. Lalu mendudukkan dirinya di samping mata-mata kepercayaannya. Ia bersandar di batang pohon yang berada di belakangnya. "Kau dari mana Diwei? Berburu wanita cantik? Disini hutan, bukan rumah bordil." Baojia menyeringai, ia memberikan tatapan menggoda pada raja rupawan itu. "Baojia, jaga bicaramu. Kau sedang bicara dengan Yang Mulia." Tegur Lei, pria itu duduk tegak saat Diwei datang. "Kita hanya berempat dan diluar istana saat ini. Tidak perlu seformal itu Lei." Kata Diwei, pria itu menyandarkan dirinya di batang pohon. "Baik, Diwei." Ucap Lei sedikit ragu, terselip nada tidak enak saat ia memanggil raja dengan nama kecilnya. "Gelang kaki yang indah, darimana kau mendapatkannya? Itu bukan milik dari salah satu selirmu bukan?" Tanya Baojia saat tatapannya tak sengaja melihat sesuatu yang tengah dibawa oleh Diwei. Diwei mengusap gelang kaki berwarna hitam dengan corak bunga dan berliontinkan hati tersebut. Ia diam, sama sekali tak berniat untuk menjawab gurauan Baojia. Matanya fokus menatap gelang kaki itu dengan seksama dan alis yang sedikit berkerut. "Gelang kaki siapa itu Wei’er?" Sai tersenyum, matanya menyipit karena senyum lebarnya. "Bukan siapa-siapa." Diwei akhirnya menjawab, ia menggantungkan gelang kaki itu di sabuk yukata putih yang di pakainya, "Baik, apa yang kau ketahui Baojia?" Diwei beralih menatap Baojia serius. Baojia menyeringai, "Kita akan bertemu dengannya sebentar lagi, Yang Mulia." 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD