In Your Hands

1666 Words
Seharian berada di kamar membuatku jenuh. Televisi tak mampu menjadi teman pengusir sepi. Tak ada ponsel dan aku tak bisa berbicara dengan siapa pun. Bukankah aku terbiasa dengan kondisi seperti sekarang? Jadi, seharusnya aku merasa baik-baik saja. Namun, aku butuh sesuatu yang bisa membuat hariku lebih sibuk, memasak atau melukis. Apa aku harus minta pria menyebalkan itu menyediakan alat lukis untukku? Kuedarkan pandanganku ke sekeliling ruang. Tidak ada yang salah dengan ruangan ini. Bahkan kamar ini terlalu mewah untukku. Hanya saja hatiku tidak berada di sini. Tidak juga berada di rumah. Aku merasa tak punya pegangan. Tak tahu langkahku akan kuayun ke mana. Aku kecewa pada ibuku. Aku kecewa untuk segala keegoisannya. Aku kecewa untuk segala sudut di dunia yang seakan tak memahamiku. Tak ada yang benar-benar menerima. Aku hanya punya sepotong hati, yang bahkan sudah rapuh sejak aku mendapat nilai jelek untuk tugas menulis. Ya, guru memintaku menulis tentang keluarga. Aku hanya mampu menulis "family? I don't even know the meaning of family". Seseorang mengetuk pintu. Aku memintanya untuk membukanya. Aku terperanjat kala melihat Ashton melangkah dengan satu kotak yang entah apa isinya. "Ini dress untuk makan malam. Aku akan mengenalkanmu pada ibuku." Ashton meletakkan kotak itu di ujung ranjang. Aku diam sekian detik. Dengan malas aku beranjak dan membuka kotak berpita pink satin itu. Satu dress yang menurutku terlalu berkilau dengan aksen bling-bling di permukaannya. Belahan d**a gaun ini juga cukup rendah. Belum lagi sepatu high heels yang tinggi haknya kemungkinan mencapai sepuluh sentimeter. "Aku tak mau mengenakan gaun ini." Kutatap Ashton tajam dengan nada bicara yang kubuat datar. Aku tak terbiasa mengenakan pakaian seksi dan high heels. Ashton bersedekap dengan tatapan yang tak berubah, selalu tajam disisipi kesinisan. Atau mungkin dia sudah kehabisan kesabarannya menghadapiku? Aku bukan gadis manis. Bukan pula gadis yang tumbuh dengan mendengar cerita dongeng Cinderella yang menemukan pangeran tampan dan mereka hidup bahagia selamanya. Otakku tak bisa mencerna arti dari pernyataan "bahagia selamanya". Hidup terlalu pelik untukku. "Dress ini dirancang desainer terkenal dan hanya ada satu-satunya. High heels ini juga dirancang oleh perancang sepatu terkenal yang dibuat dengan jumlah terbatas. Kau masih tidak mau mengenakannya?" "Kenapa harus gaun seperti ini? Ini terlalu seksi untukku, Ashton. Aku juga tidak biasa mengenakan high heels. Kau tahu? High heels itu terlalu berisiko. Apalagi hak sepatu ini begitu runcing dan kecil. Ini akan menambah tekanan pada kaki bagian depan hingga tiga puluh persen. Sepatu ini adalah simbol nyata beauty is pain. Tak hanya membuat otot tendon Achilles menjadi kaku, tapi juga membatasi aliran darah pada tungkai bawah." Ashton menatapku lebih intens tanpa suara. Sebenarnya aku tipikal yang irit bicara. Entah kenapa di hadapan pria ini selalu saja ingin kuluapkan ketidaksetujuanku. Pada dasarnya aku tidak suka diatur. "Kau hanya perlu memakainya di momen-momen tertentu. Apa itu susah? Aku rasa selama tidak dipakai setiap hari tidak akan memberikan dampak buruk seperti yang kau sebutkan. Jangan berlebihan!" "Setiap orang berhak memakai pakaian yang membuat dirinya nyaman, bukan? Gaun ini terlalu seksi dan aku tidak suka nuansa bling-bling. Aku juga tidak suka high heels ini!" "Suka atau tidak kau harus memakainya. Kau harus menurut, Lily! Aku tidak suka perlawanan." Kutatap dia lebih tajam. Aku rasa dia orang yang sangat egois. "Kau selalu menekankan apa yang tidak kau suka. Pernahkah kau memikirkan apa yang orang lain tidak suka? Pernahkah kau mencoba memahami orang lain dari hal-hal sederhana?" Ashton bungkam, tapi tatapannya tak lepas ke arahku. Aku ambil gaun itu lalu kusobek. Kukerahkan tenagaku untuk merusak gaun tak jelas itu. Ashton melongo. Mulutnya menganga. Sepertinya ia tak pernah menduga aku akan nekat menyobek gaun ini. Kujatuhkan gaun yang sudah rusak itu ke lantai. Satu per satu kainnya yang sudah sobek luruh. Melihat kain demi kain berjatuhan seperti tengah merasakan suasana hatiku saat ini. Luka demi luka mencuat lagi, bukan untuk diredam, tapi kembali digores. "Gaun ini hanya ada satu-satunya dan banyak wanita sosialita menginginkannya. Aku belikan untukmu dan sekarang kau merusaknya." Ashton menekankan kata-katanya. Ada nada kekecewaan yang teramat besar. "Kenapa kau tidak bertanya dulu padaku tentang gaun yang aku inginkan?" Aku setengah mencecar. Ada setitik rasa bersalah. Namun, kesalahan terbesar ada padanya yang seenaknya saja memintaku mengenakan gaun yang tidak aku sukai. "Untuk apa bertanya? Melihat gaya berpakaianmu saja sudah bisa membuatku menilai seperti apa selera fashion-mu. Sangat buruk!" "Oh, jadi gaun seperti ini yang menurutmu bagus? Yang menonjolkan lekuk tubuh dan mengeksplor keseksian tubuh perempuan? Untuk apa? Untuk dinikmati mata-mata pria jelalatan? Aku punya standar kecantikan sendiri dan tidak bisa disamakan dengan standar orang lain." "Terkadang kita memang hidup dalam bayang-bayang standar orang lain atau standar sebagian besar orang. Dengan standarmu yang konyol itu hanya akan membuatmu aneh. Pantas saja ibumu mengatakan kalau kau tidak punya teman dan tidak pernah punya pacar. Kau tidak pernah bisa masuk ke dunia orang lain karena kau selalu terjebak di duniamu sendiri dan tidak ingin keluar." Ashton meninggikan suaranya. Tampangnya beralih menjadi lebih gahar. Kami saling diam dengan mata yang masih saling memandang. Tak kusangka ibuku menceritakan hal seperti ini padanya. Aku curiga, Ibu mungkin sudah menceritakan segala tentangku. Aku kembali teringat akan hari-hari yang dulu kulalui di Manhattan, Kansas. Aku begitu tertutup, tak punya teman, bahkan menjadi korban bullying verbal oleh teman-teman satu sekolah. Aku tak pernah mengenakan sepatu baru, selalu saja sepatu bekas. Kadang aku bertanya, ke mana saja uang yang mengalir ke rekening Ibu dari David Taylor? Bahkan untuk membeli burger saja aku kesulitan. Perubahan nasib yang aku idamkan nyatanya hanya sebuah wacana. Setelah lulus SMA, aku bekerja sebagai penjaga toko bunga. Gajiku tidak seberapa. Setidaknya aku bisa membeli beberapa keperluanku dengan uangku sendiri. "Kau sudah menghancurkan gaun ini, maka aku akan melakukan hal yang sama untuk membuatnya impas." Ashton melangkah mendekat. Tiba-tiba saja ia membentangkan kerah kemejaku dan dalam waktu singkat kancing-kancing itu terlepas. Seakan belum puas, ia kembali menyobek hingga terlihat bra yang menutup bagian pentingku. Aku bengong, kaget, marah, kesal, dan sama sekali tidak menduga jika pria terhormat itu melucuti pakaian seorang perempuan. "Apa-apaan ini?" Belum sempat aku protes, Ashton menarik paksa kemejaku hingga terlepas seluruhnya. Ia menjatuhkan kemejaku yang sudah sobek ke lantai. Aku hanya bisa bengong dan menatap nanar kemeja yang sudah tak berbentuk. Aku baru saja berganti kemeja dua jam yang lalu dan ini satu-satunya pakaianku yang bisa kuselamatkan sebelum asistennya mengambil paksa baju-baju yang aku bawa. "Impas, bukan? Kau merusak gaun pemberianku dan aku merusak bajumu. Sebenarnya tak sebanding karena mungkin aku harus merusak semua yang menempel di tubuhmu untuk bisa membayar satu gaun yang sudah kau rusak." Ashton memerhatikanku dari ujung kepala hingga kaki. Dan aku tahu ke arah mana pandangannya bermuara. Refleks kututup bagian dadaku yang masih tertutup bra. Ashton tertawa kecil. "Semua yang menempel di tubuhmu juga tak akan mampu membayar harga gaun itu. Lalu harus kau tebus dengan cara apa?" Ashton bersedekap, menikmati kebekuanku. Aku seakan kehilangan kata. Rasa malu dan tak nyaman karena diperhatikan lekat olehnya membuatku tak sanggup untuk sekadar membuka suara. Ashton memangkas jarak. Ia bergerak maju. Aku mundur perlahan. Tanpa terasa tubuhku sudah menghimpit dinding. Ashton tersenyum dengan sebelah sudut bibirnya yang terangkat. Ia menyandarkan satu tangannya di dinding, tepatnya di sebelah kepalaku. Rasa-rasanya adegan seperti ini akan terus berulang. Aku selalu menjadi pihak yang tersudut. "Hidupmu selama ini monoton. Kenapa kau tidak memanfaatkan kesempatan ini? Kau akan tahu kenapa aku merencanakan semua ini. Ini bukan semata menghancurkan reputasi David Taylor, tapi dia memang harus membayar atas semua yang sudah ia lakukan. Dan kau bisa menikmati hidupmu yang baru." Ashton menegaskan kembali kata-katanya. Kilat cahaya di bola matanya seakan siap untuk melumpuhkanku. Embusan napasnya yang beraroma mint serasa lembut menyapu wajahku. "Kau memaksaku untuk melawan ayahku sendiri?" "Bukankah kau bilang dia tidak peduli padamu? Kau ingin pengakuan, bukan? Dan satu lagi, kau tak akan sanggup mengembalikan uang yang sudah aku berikan pada ibumu. Ditambah gaun yang kau rusak barusan. Kau berhutang banyak padaku, Lily! Jadi lebih baik kau ikuti permainan ini. Aku bisa memberikan apa saja yang kau inginkan!" Ashton tersenyum, senyum yang bermakna sama. Tak pernah tulus dan menyimpan maksud tertentu. "Pikirkan baik-baik, Lily. Aku rasa tidak susah menikmati peranmu sebagai tunanganku. Banyak wanita berharap ada di posisimu. Kau ingin petualangan baru, bukan?" Ashton tersenyum sekali lagi. Ia mendekatkan bibirnya di telingaku. Entah kenapa aku selalu berdebar ketika jarak kami kian terpangkas. Ia berbisik lirih, bisikan yang menggetarkan. "Aku akan mengajarimu bagaimana menikmati petualangan itu." Dadaku bahkan masih berdebar meski Ashton menjauhkan dirinya. "Kau seksi, Lily." Seringai genitnya membuatku kesal. Ia berbalik dengan senyum penuh arti. Aku masih mematung. Sejenak aku berpikir, mungkin benar apa yang Ashton katakan. Kenapa aku tidak mengikuti permainannya? Aku tidak mau membayar sejumlah uang sebesar yang sudah dia berikan untuk ibuku. Aku juga ingin pengakuan meski awalnya aku tak peduli. Aku juga lelah selalu dilabeli anak yang tak memiliki ayah. Dan aku bisa minta apa saja padanya. Atau aku harus berpura-pura menjadi wanita manja yang akan meminta banyak hal padanya? "Ashton ...." Ashton yang sudah mencapai gagang pintu berbalik dan menatapku heran. "Ya ...." "Kau bilang aku boleh minta apa saja?" Ashton menyipitkan matanya. Mungkin ia curiga aku akan meminta sesuatu yang tak bisa ia penuhi. "Sure, jika aku bisa memenuhi, kenapa tidak?" Aku menghela napas. "Aku ingin alat lukis, aku ingin ponsel, aku ingin buku untuk menulis apa saja. Aku butuh buku bacaan. Aku butuh melakukan aktivitas yang membunuh rasa bosan." "Itu bukan hal sulit. Hanya saja aku takut jika kau menggunakan ponsel, kau akan mencari celah untuk kabur. Jadi aku tak bisa mengabulkan itu. Jika kau ingin bicara dengan ibumu, aku akan menghubunginya dan akan aku berikan kesempatan untukmu bicara dengan ibumu." Nada bicara Ashton terdengar lebih lirih dan lembut. "Aku tidak akan kabur. Kau bisa memegang kata-kataku," balasku. "Aku akan memberi kau ponsel, tapi tidak sekarang. Aku akan meminta gaun yang lebih sopan dan aku juga akan meminta penata rias untuk meriasmu. Tunjukkan kesan positif di depan ibuku." Aku diam. Hingga Ashton keluar kamar, aku masih diam. Aku akan bertemu ibunya. Apa dia juga akan bercerita pada ibunya bahwa kami berpura-pura bertunangan? Sepertinya dia tak bercerita soal ini. ******

Great novels start here

Download by scanning the QR code to get countless free stories and daily updated books

Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD