An Agreement

1517 Words
Pagi ini aku merasa terdampar di planet asing. Kasur tipis yang biasa aku tiduri kini berubah empuk dan begitu luas. Ini seperti mimpi. Sayangnya, ini bukan mimpi indah. Aku merasa seperti tengah ditawan. Rasanya baru kemarin aku bangun pagi, memasak, dan menyiapkan sarapan sendiri. Kini ketika kubuka mata, seorang perempuan berseragam membawakan baju ganti dan peralatan mandi. Ia memintaku mandi, berganti baju, lalu turun ke bawah untuk sarapan bersama Ashton. Sesaat aku merenung. Apa yang sebenarnya terjadi pada kehidupanku? Sewaktu kecil aku memang memimpikan hidup seperti ini, layaknya seorang princess yang selalu dilayani setiap kali menginginkan sesuatu. Di acara perpisahan sekolah, orang tuaku datang bersama, mencium pipiku, dan mengatakan mereka bangga akan prestasiku. Aku tahu, itu hanya mimpi yang tak pernah terwujud. Bahkan, sewaktu SMA, aku tak datang ke acara prom night, karena tak ada yang mau menjadi pasanganku. Sekarang, semua terasa berbeda. Untuk sesaat aku bertanya, apa ini benar-benar nyata? Namun, ada yang mengganjal dan aku takut Ashton telah merencanakan sesuatu di luar bayanganku. Kemarin memang momen pertama pertemuan kami, tapi aku bisa merasakan gemuruh ambisi yang begitu membara di bola matanya. Sepertinya ia adalah tipikal orang yang akan melakukan apa saja untuk mencapai tujuannya. Aku mandi di dalam bathroom yang luas, lebih luas dibandingkan kamarku dulu. Bahkan aku bisa memilih berbagai sabun dengan wangi yang berbeda-beda, deretan botol shampoo yang juga berbeda-beda. Kenapa aku tidak ikuti permainan ini? Bukankah selama ini aku merindukan tantangan dan jenuh dengan hidupku yang monoton? Seusai mandi, aku memutuskan untuk mengenakan pakaian yang aku bawa dari rumah. Pakaian yang disediakan asisten tadi rasanya kurang cocok untukku. Ini seperti gaun sederhana yang biasa dikenakan gadis-gadis kaya saat bersantai di rumah. Dan aku tahu, harganya tidak murah. Seorang laki-laki yang aku sebut bodyguard mengantarku ke ruang makan. Di sana sudah ada Ashton yang duduk dengan kemejanya yang tampak rapi. Ia melirikku dengan wajah dinginnya. Selalu ada ekspresi yang tak terbaca setiap kali ia menatapku menelisik. Kulirik kembali pakaian yang aku kenakan. Aku sudah mendapat jawaban akan makna dari netranya yang terus terpaku ke arahku, tatapan yang mengintimidasi. "Kenapa tidak mengenakan gaun yang sudah disediakan?" Ashton langsung saja bertanya begitu aku menghempaskan tubuhku di kursi. "Aku tidak nyaman. Aku juga membawa pakaian dari rumah." Aku berusaha tenang, meski aku tahu, pria itu tak suka akan jawabanku. Aku mengenakan pakaian kasual yang memang biasa aku kenakan. T-shirt yang dipadu dengan celana jeans. "Asisten akan memberikan kamu baju-baju yang memang pantas dan baju-baju lamamu akan disingkirkan. Aku tidak suka perlawanan, jadi turuti permintaanku." Aku mendelik. Gaya bicaranya selalu angkuh. Atau memang orang kaya selalu bersikap seperti ini? Seenaknya mengatur orang lain dan memaksakan kehendaknya? "Apa kau selalu bersikap seperti ini? Apa kau selalu mengatur orang lain sesukamu?" kutatap dia tajam. Raut wajahnya selalu datar dan terkadang aku bingung mengartikan tatapannya yang selalu tepat menancap di bola mataku. "Banyak perempuan yang menginginkan ada di posisimu. Duduk bersama denganku, menikmati sarapan, dan segala keperluannya akan aku sediakan. Seharusnya kau bersyukur semalam aku tidak membiarkanmu tidur di gudang atau di jalanan." Aku tercekat. Pria ini terbiasa mengatur apa saja yang dia inginkan. Mungkin dia memang terlahir untuk menjadi seorang yang dominan. "Sekarang makanlah, setelah itu kita bicara." Ashton menyeruput s**u, mungkin s**u tawar. Entah .... Kuperhatikan menu sarapan yang terlalu banyak untuk dua orang. Menu sarapan yang tak jauh beda dengan orang Amerika kebanyakan. Scrambled egg, omelet, pancake, toast, oatmeal, smoothies .... Aku memilih pancake. Sebenarnya aku tak berselera, tapi aku harus punya cukup energi jika ingin bertahan dan kabur dari tempat ini suatu saat nanti. Ketika kami tengah menikmati sarapan, seorang anak laki-laki melangkah mendekat ke arah Ashton. Ia tersenyum cerah dan duduk di pangkuan Ashton. Wajah dingin Ashton berganti menjadi begitu ramah dengan senyum yang mengembang sempurna. "Daddy, semalam aku membaca ensiklopedia tentang astronomi. Apa black hole itu benar-benar ada? Seandainya bumi masuk black hole, apa yang akan terjadi, Dad?" Aku terdiam sejenak, menyaksikan keakraban ayah dan anak. Jadi, Ashton sudah memiliki anak? Kenapa media selalu menggembor-gemborkan bahwa Ashton adalah pengusaha lajang yang digilai perempuan? "Banyak penelitian yang mengatakan black hole memang ada, bahkan tahun 2015, para ahli astronomi menemukan black hole terbesar yang pernah ada. Kau harus ingat satu hal, black hole ini masih menjadi misteri. Banyak orang takut membayangkan black hole bisa menghisap benda-benda di sekitarnya, tapi ini sebenarnya karena black hole memiliki gravitasi yang sangat besar, sampai-sampai cahaya juga tak bisa lolos. Dari teori yang ada, jika benda langit masuk ke black hole, dia tak akan pernah lagi bisa keluar, ada teori lain yang mengatakan semua yang masuk ke black hole akan terurai seperti spaghetti dan terjadi distorsi waktu." Ashton menjelaskan dengan gamblang dan sesekali melirikku yang diam-diam menyimak kata-katanya. Aku akui wawasannya luas. Aku juga menyukai astronomi. Namun, aku tak mengerti apa makna tatapan Ashton yang dibarengi senyum tipis nan sinis. "Wow, terurai seperti spaghetti? Distorsi waktu? Sepertinya aku harus mencari tahu apa itu distorsi waktu. Daddy, aku akan kembali ke kamarku, aku kembali setelah sepuluh ... tidak ... tidak .... Aku akan kembali setelah lima belas menit lagi." Secepat kilat anak itu turun dari pangkuan Ashton dan berlari. "Max ... seharusnya kau sarapan dulu bersama Daddy." Ashton menggeleng sementara pandangannya masih menyasar pada anak laki-laki yang menjauh itu. "Hebat sekali, aku rasa kau ini ayah yang baik. Selain ayah yang baik, rupanya kau juga pandai menutupi identitasmu. Semua orang berpikir jika kau ini pria lajang kaya yang digadang-gadang akan menggeser posisi David Taylor." Ashton kembali memasang tampang dinginnya. Kadang aku salah tingkah ketika dia menatapku penuh selidik. "Max adalah keponakanku. Orang tuanya meninggal karena kecelakaan pesawat. Sejak itu aku merawatnya dan aku memintanya untuk memanggilku "Daddy"." Aku tergugu dan tak tahu harus membalas apa. Hanya satu kata singkat yang kuucap. "Sorry ...." "Habiskan makananmu. Setelah itu kita bicara," tandasnya tanpa menatapku lagi. ****** Ashton membawaku ke suatu ruangan. Aku menduga ini adalah ruang kerja Ashton. Pemilihan furnitur dan dekorasi ruangan selalu bernuansa klasik dengan sedikit sentuhan modern di bagian atap. Ruangan ini begitu rapi dengan meja, kursi, lemari buku, dan satu sofa yang membentang. Aku mematung sementara Ashton setengah bersandar di meja dengan kedua tangannya yang bersedekap. "Kemarin aku katakan bahwa aku tidak akan mempekerjakanmu sebagai tukang masak. Aku hanya memintamu satu hal." Kupicingkan mataku. "Satu hal apa?" "Berpura-puralah menjadi tunanganku dan suatu saat aku akan mengatur konferensi pers untuk mengenalkanmu serta membuka identitasmu sebagai anak dari David Taylor," pungkasnya dengan senyum yang masih kuartikan sebagai seringai licik. "Aku tidak bisa! Aku tidak akan pernah mau membuka identitasku. Aku tidak mau mencari masalah." Ashton berjalan mendekat. Jarak kami begitu dekat. Ia tersenyum dan melayangkan tatapan yang menghunjam. Aku sedikit takut, takut jika dia akan menyakitiku. "Kau tidak bisa lari. Seperti benda langit yang masuk ke dalam black hole dan tidak bisa keluar, maka kupastikan, kau akan bernasib sama." "Kau tidak bisa memaksaku! Kau melanggar kesepakatan. Bukankah aku ditawari pekerjaan sebagai tukang masak? Kenapa akhirnya jadi begini?" nada bicaraku meninggi. Aku merasa ditipu. "Aku sudah memberikan sejumlah uang yang bernilai fantastis pada ibumu. Ibumu menyetujui kesepakatan ini. Ibumu juga sudah mengatakan bahwa kau akan menyetujui kesepakatan ini. Ini adalah satu cara agar David Taylor mengakuimu. Kau tidak bisa lari. Jika kau memutuskan mundur, aku yakin seumur hidup gaji dari pekerjaanmu di toko bunga tidak akan sanggup membayar apa yang sudah aku keluarkan untuk ibumu." Ashton tersenyum sinis dengan manik beningnya yang masih bermuara pada wajahku. Aku terpukul. Bukankah ini sama saja ibuku menjualku? "Kau melakukan ini untuk menghancurkan reputasi David Taylor? Kenapa cara bermainmu licik sekali?" Ashton masih menatapku lekat. Tiba-tiba dia mendorong tubuhku hingga menghimpit dinding. Ashton mencengkeram tanganku. Aku terperanjat. Dia begitu kasar. "Apa pun akan aku lakukan agar Si Tua Bangka itu membayar apa yang sudah ia lakukan." Sorot matanya diselimuti amarah dan dendam. "Kenapa kau menjadikan aku senjata? Aku bahkan tak pernah bertemu dengannya. Aku tak pernah merasa memiliki seorang ayah." Aku beranikan diri untuk menatapnya lebih tajam. "Seandainya dia punya putri yang lain, mungkin aku akan mendekati putrinya yang lain. Kamu satu-satunya putri yang dia miliki. Saudara seayahmu laki-laki semua. Aku rasa pasca pengakuan akan identitasmu, ini akan menjadi berita yang sangat besar." Ashton Reagan Williams seorang yang sangat licik. Hari ini dia bisa menindasku seenaknya. Suatu saat aku akan mengalahkannya. Ada satu hal yang sangat aku takutkan. "Kau tidak akan menyentuhku, 'kan? Aku hanya berpura-pura menjadi tunanganmu, tapi aku tidak akan mengizinkanmu untuk menyentuhku." Ashton tertawa kecil. Tawa yang membuatku muak. Ia mendekatkan wajahnya. Dadaku semakin berdebar. Aku takut dia justru akan melakukan sesuatu yang aku peringatkan dari awal. Ashton memiringkan wajahnya membuatku semakin gugup. Dia mendekatkan bibirnya ke telingaku. "Aku tidak bernafsu melihat gadis sepertimu. Jangan pernah berpikir ke arah sana!" Ashton menjauhkan kembali wajahnya dan menatapku dingin. "Atau kau memang menginginkan ke arah sana? Kau sudah mulai tertarik padaku?" Aku semakin kesal. Ingin kutinju mulutnya agar tak bicara sembarangan. Namun, aku hanya membisu dengan segunung amarah dan kekecewaan yang tertuju pada ibuku. Kenapa Ibu melakukan ini? Ashton melepaskan cengkeramannya. Ia tersenyum, lagi-lagi senyum licik. "Nikmati waktumu di sini!" Ashton tersenyum kembali, senyum yang mengisyaratkan kemenangannya. Aku masih membeku dengan sejuta tanya. Kejutan apa lagi yang akan dia berikan? ******
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD